Jumat, 12 September 2025

Rodrigo Duterte Ditangkap

Sikap Anti-AS Rodrigo Duterte dan Polemik Keabsahan Penangkapan oleh ICC

Yang menjadi pertanyaan banyak orang apakah ICC murni bertindak untuk kepentingan dunia ataukah hanya kepanjangan tangan Amerika saja ?

|
HandOut/IST
POLEMIK PENANGKAPAN - Kolase foto logo Pengadilan Kriminal Internasional dan sosok Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte. Penangkapan Duterte menuai polemik karena ICC dinilai ke luar dari Yuridiksinya. 

“Sepanjang saya menjabat, ataupun setelah menjabat, saya tidak akan pergi ke Amerika, ” tegas Duterte kepada wartawan setempat, seperti dilansir AFP.

“Saya telah melihat Amerika dan sungguh menjijikkan. Ada banyak pelanggaran HAM,” sebutnya, merujuk pada kiprah tentara AS di Timur Tengah.

Duterte juga mengecam Amerika Serikat yang terus mengeksploitasi ketergantungan Manila untuk memaksa negara itu tetap tunduk pada rancangan Washington sendiri alih-alih mengamankan kepentingan Filipina.

Pakar: Bisakah ICC Terapkan Penangkapan Duterte ke Putin dan Netanyahu?

Mengutip Antara, Prof Eddy Pratomo SH MA, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan Guru Besar Hukum Internasional UNDIP, menjelaskan, memang saat ini ada pertanyaan terkait aspek hukum bagaimana ICC bisa menjangkau Duterte pada saat yang bersangkutan tidak menjabat lagi sebagai kepala negara dan Filipina sudah tidak menjadi pihak pada Statuta Roma.

Menurutnya, ICC menerapkan prinsip retroaktif dengan memberlakukan Statuta Roma selama periode tahun 2011-2019 pada waktu Filipina masih menjadi pihak pada statuta tersebut. 

Prinsip ini merupakan teori hukum internasional baru yang mengandalkan prinsip retroaktif.

"Filipina telah menjadi anggota ICC sejak 1 November 2011 tetapi kemudian pada tahun 2018 pada saat Duterte berkuasa negara tersebut menarik diri dari Statuta Roma yang mulai berlaku pada 17 Maret 2019. Meskipun demikian, ICC tetap bersikukuh dan berpandangan bahwa ICC memiliki yurisdiksi terhadap Filipina saat negara itu masih menjadi negara pihak dari November 2011 hingga Maret 2019 dan kasus yang didakwakan kepada Duterte adalah pada periode pada saat Filipina masih menjadi pihak pada Statuta Roma," kata penjelasan Prof Eddy dikutip dari Antara.

Dalam kasus Duterte sesuai prinsip universal dalam hukum, tambahnya, yang bersangkutan tetap perlu mendapatkan hak untuk membela diri serta didampingi penasehat hukum dan diproses sesuai dengan due process of law.

"Namun terdapat hal yang lebih penting lagi dan merupakantantangan berat bagi ICC, yaitu apakah kasus yang terjadi pada Duterte dapat secara adil dan fair bisa juga diterapkan terhadap pemimpin dunia lain yang diduga juga telah melakukan pelanggaran pidana internasional seperti pemimpin Israel Benyamin Netanyahu dan Presiden Rusia Vladimir Putin," kata Prof Eddy.

Dia menambahkan, menjadi pelajaran bagi negara lain, termasuk Indonesia, adalah bahwa RI sejak awal telah mempertimbangkan secara bijak terkait dengan politik hukum Indonesia bahwa RI tidak akan mengakui yurisdiksi ICC karena dalam sistem hukum nasional sudah memiliki Pengadilan HAM Adhocuntuk mengadili kejahatan HAM berat di Indonesia.

"Dengan demikian Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kewenangan hukum/yurisdiksi nasional, yaitu National Exhaustive Legal Proceeding tersebut," katanya.

 

(oln/afp/antara/*)

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan