Konflik Palestina Vs Israel
PM Inggris Larang Demo Pro-Palestina, Ajak Warga Ingat Israel pada 7 Oktober
PM Inggris Keir Starmer melarang demonstrasi pro-Palestina, menyarankan warga simpati ke Israel pada peringatan 7 Oktober.
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer mendesak para mahasiswa untuk tidak melakukan demonstrasi pro-Palestina pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Demonstrasi itu dilakukan pada peringatan serangan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) dalam Operasi Banjir Al-Aqsa terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.
Menurutnya, aksi demonstrasi itu tidak mencerminkan jati diri Inggris yang menghormati orang lain dan menyarankan mereka mengenang korban serangan tersebut.
"Setiap anak Israel harus dapat hidup berdampingan dengan tetangga Palestina mereka dalam keamanan dan keselamatan," kata Keir Starmer saat memperingati hari jadi tersebut, Selasa (7/10/2025).
Keir Starmer mengatakan protes yang akan berlangsung di berbagai universitas menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap orang lain.
Ia menuduh demonstrasi pro-Palestina digunakan oleh beberapa orang sebagai alasan tercela untuk menyerang orang Yahudi Inggris.
“Hari ini, pada peringatan kekejaman 7 Oktober, para mahasiswa kembali merencanakan aksi protes," tulis Keir Starmer dalam surat kabar Times.
"Ini bukan jati diri kita sebagai sebuah negara. Sangat tidak mencerminkan jati diri Inggris jika kita kurang menghormati orang lain. Dan itu sebelum beberapa dari mereka memutuskan untuk kembali meneriakkan kebencian terhadap orang Yahudi," tambahnya.
Juru bicara resmi Perdana Menteri Inggris mengeluarkan pernyataan yang mendukung pernyataan Keir Starmer, dengan mengatakan kebebasan berpendapat tidak dapat dilanjutkan dalam konteks dukungan untuk Palestina pada 7 Oktober.
"Hanya karena ada kebebasan dan hak untuk berunjuk rasa, bukan berarti siapa pun boleh melanjutkan pertemuan (demontrasi) ini, mengingat konteksnya," katanya.
Sementara itu, seorang pengunjuk rasa, Anton Parocki mengatakan pernyataan Keir Starmer sebagai hal yang sungguh memalukan.
Baca juga: Hamas Peringatkan Netanyahu Tak Sabotase Negosiasi Israel di Mesir
"Sungguh memalukan. Yang menurut saya tidak peka adalah telah terjadi genosida selama dua tahun," katanya kepada BBC, Selasa.
Ia mengatakan Keir Starmer tidak bisa menyamakan Yahudi dengan Israel.
"Menyamakan (tindakan Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu dengan Yudaisme sebenarnya merupakan tindakan antisemit," ujarnya.
"Orang Yahudi tidak pro-genosida. Kita perlu lantang menyuarakan hal ini, karena genosida sedang terjadi, dan orang-orang Palestina sedang kelaparan," jelasnya.
Demontrasi pro-Palestina terjadi di berbagai universitas di Inggris pada hari Selasa.
Di London, para mahasiswa berbaris dan mengkritik kampus-kampus yang memiliki kerja sama dengan Israel.
Di Universitas Edinburgh, ratusan mahasiswa dan staf berbaris melalui kampus sambil membawa bendera dan memegang plakat.
Inggris Akui Negara Palestina
Sehari sebelum dimulainya KTT PBB yang menghidupkan kembali solusi dua negara untuk Palestina-Israel, Inggris merilis pernyataan negaranya mengakui Negara Palestina.
"Sesuai dengan manifesto kami untuk mengakui kenegaraan Palestina, momen itu kini telah tiba. Jadi hari ini, untuk menghidupakn kembali harapan perdamaian dan solusi dua negara, saya menyatakan dengan jelas, sebagai Perdana Menteri, bahwa Inggris secara resmi mengakui Negara Palestina," bunyi pernyataan Keir Starmer di laman resmi pemerintah Inggris, Minggu (21/9/2025).
Dalam pernyataan itu, Inggris mendukung solusi dua negara untuk menciptakan Israel yang aman dan terlindungi, serta Palestina yang merdeka dan layak.
Inggris juga mendesak Israel untuk mencabut pengepungan di Jalur Gaza, membuka perbatasan dan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan tanpa hambatan.
Untuk Hamas, Keir Starmer mengancam akan menjatuhkan sanksi tambahan terhadap tokoh-tokoh Hamas dalam waktu dekat.
Hamas disebutkan tidak berhak dan tidak akan punya peran dalam pemerintahan Palestina di masa depan.
Ia juga menyerukan kepada Hamas untuk membebaskan para sandera yang ditahan sejak 7 Oktober 2023.
Keir Starmer menyerukan kepada rakyat Inggris agar memperjuangkan harapan bersama untuk perdamaian dalam konflik tersebut.
Inggris 'Memfasilitasi' Pendirian Israel
Inggris sebelumnya berperan besar dalam berdirinya Israel di tanah Palestina pada tahun 1948.
Setelah Perang Dunia I berakhir, Inggris merebut sejumlah wilayah Kekaisaran Ottoman, termasuk Palestina.
Pada tahun 1917, muncul Deklarasi Balfour yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris pada 2 November 1917.
Deklarasi Balfour disampaikan melalui surat Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, kepada Lord Rothschild, seorang tokoh Yahudi terkemuka di Inggris.
Isinya, Inggris mendukung pendirian "tanah air nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina, yang artinya Inggris menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di mana penduduk asli Arab Palestina merupakan lebih dari 90 persen populasi, dijelaskan Al Jazeera.
Liga Bangsa-Bangsa (LBB/Cikal bakal PBB) menetapkan Mandat Palestina pada tahun 1920 dan memberikan mandat itu kepada Inggris pada tahun 1922 untuk membantu dan mempersiapkan kemerdekaan Palestina.
Di sisi lain, Inggris juga menjalankan perintah dalam Deklarasi Balfour, sehingga mengizinkan gelombang migrasi besar-besaran para Yahudi dari Eropa ke tanah Palestina.
Di antara imigran tersebut, beberapa membawa ideologi Zionisme yang ingin mendirikan negara Yahudi di Palestina, menyebabkan konflik berdarah dengan warga lokal Palestina yang telah menampung mereka.
Perubahan demografi yang besar dengan datangnya gelombang imigran Yahudi dari Eropa telah menekan warga lokal Palestina, yang khawatir Inggris menyita tanah mereka untuk diberikan kepada para imigran.
Konflik antara Yahudi-Zionis dan warga lokal Palestina berlangsung selama bertahun-tahun, hingga LBB mengeluarkan gagasan solusi dua negara melalui Resolusi 181 Majelis Umum pada 3 September 1947 (UN Partition Plan).
Gagasan tersebut muncul dalam upaya membagi wilayah untuk imigran Yahudi-Zionis dan warga lokal Arab di wilayah tersebut.
Palestina menolak rencana tersebut karena resolusi itu memberikan 55 persen wilayah Palestina kepada para imigran Yahudi.
Pada saat itu, Palestina memiliki 94 persen wilayah Palestina bersejarah dan mencakup 67 persen penduduknya, sementara populasi Yahudi membengkak hingga 33 persen di Palestina, namun hanya memiliki enam persen tanah.
Meski ada gagasan tersebut, sebelum berakhirnya mandat Inggris atas Palestina, militan Yahudi Zionis mendeklarasikan berdirinya Israel di Palestina pada 14 Mei 1948.
Deklarasi tersebut memicu pengusiran massal oleh para militan Yahudi Zionis yang memaksa 750.000 warga lokal Palestina meninggalkan rumah mereka, yang dikenal sebagai peristiwa Nakba (malapetaka).
Zionis merebut 78 persen wilayah Palestina yang bersejarah.
Sisanya, 22 persen, dibagi menjadi wilayah yang kini menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang dikepung.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.