Rabu, 29 Oktober 2025

‘Romantisme Lama’ Washington dan Islamabad Bisa Ganggu Hubungan AS–India

Presiden Donald Trump, yang baru saja membanggakan diri sebagai penengah perdamaian pasca-ketegangan terbaru dengan India.

Editor: Wahyu Aji
Dokumentasi website whitehouse.gov
Presiden Amerika Serikat Donald Trump bersama dengan Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif dan Kepala Angkatan Darat Marsekal Lapangan Asim Muinr di Ruang Oval Gedung Putih di Washington pada Kamis (25/9/2025). 

Meera Shankar, mantan Duta Besar India untuk AS, menilai Trump memandang India dan Pakistan dari kacamata yang sama—transaksional dan berfokus pada keuntungan ekonomi.

“Kedua negara dipandang melalui sudut pandang persaingan ekonomi, bukan sebagai mitra strategis di Indo-Pasifik. Padahal, ekonomi India bersifat melengkapi, bukan menyaingi, yang justru bisa memperkuat daya saing perusahaan-perusahaan AS,” ujar Shankar.

Sementara itu, Harsh Pant dari lembaga pemikir Observer Research Foundation (ORF) di New Delhi menilai pendekatan Washington terhadap Islamabad bisa menjadi titik balik bagi kebijakan India.

“Jika India meragukan komitmen jangka panjang Washington, hal itu akan mengubah secara fundamental cara India merespons tantangan di kawasan Indo-Pasifik,” ujar Pant, yang juga profesor hubungan internasional di King’s College London.

Sejarah yang Selalu Berulang

Setiap generasi pembuat kebijakan AS tampaknya menemukan kembali Pakistan sebagai pintu gerbang menuju tantangan keamanan Asia—dan berakhir dengan pelajaran pahit yang sama.

Dari Eisenhower hingga Reagan, dari Bush hingga Trump, pola yang sama berulang: Washington mempersenjatai Pakistan, lalu menghadapi konsekuensinya.

Amitabh Mattoo, Dekan Fakultas Studi Internasional Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, menilai fenomena ini sudah menjadi bagian dari DNA geopolitik Asia Selatan.

“Setiap kali AS kembali mendekati Pakistan, hal itu lebih karena alasan yang bersifat instrumental,” kata Mattoo kepada DW.

Ancaman bagi Kepercayaan India

Kini, Trump dan para pembantunya kembali melihat Pakistan lewat lensa ekonomi dan pragmatisme jangka pendek—akses ke mineral, penyeimbang bagi Belt and Road Initiative, dan bahkan peluang “momen Nobel” sebagai penengah perdamaian di Kashmir.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal lain: Pakistan tidak meninggalkan orbit Tiongkok, malah semakin memperdalamnya.

Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan tetap menjadi proyek unggulan Beijing, dan Gwadar berfungsi ganda sebagai pelabuhan komersial dan pangkalan militer potensial. Setiap dolar Amerika yang masuk ke Pasni berisiko memperkuat kepentingan strategis Beijing sendiri.

Yang lebih berbahaya, godaan terhadap Pakistan berpotensi mengikis kepercayaan India terhadap Washington.

Jika New Delhi mulai meragukan konsistensi AS, nilai strategis Quad, suatu aliansi yang mengimbangi Tiongkok, bisa tergerus.

Logika strategi Amerika di Asia sederhana: bersekutu dengan negara yang stabil, demokratis, dan memiliki nilai sejalan. Pakistan tidak memenuhi semua itu. Ia negara bersenjata nuklir yang masih dikendalikan militer dan bergantung pada bantuan dari IMF serta dana Teluk.

Apa yang tampak seperti 'babak baru' dalam hubungan AS-Pakistan sebenarnya hanyalah kisah lama dengan wajah baru.

Washington butuh kesabaran strategis, bukan kesepakatan impulsif. Taruhan terbaik AS di Asia Selatan tetaplah India—mitra demokratis yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan di Indo-Pasifik.

SUMBER

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved