Krisis Sudan Memburuk, RSF Siapkan Serangan Baru, Rakyat Mengungsi dan Kelaparan
Ribuan warga Sudan kembali mengungsi saat RSF bersiap menyerang el-Obeid. PBB peringatkan kelaparan ekstrem dan dugaan kejahatan perang di Darfur.
Ringkasan Berita:
- Krisis kemanusiaan di Sudan makin parah setelah pasukan Rapid Support Forces (RSF) bersiap menyerang el-Obeid di tengah kelaparan dan pengungsian massal.
- PBB melaporkan ribuan warga melarikan diri dari Kordofan Utara dan Selatan, sementara el-Fasher dikuasai RSF.
- ICC kini menyelidiki RSF atas dugaan kejahatan perang yang menewaskan puluhan ribu orang dan membuat jutaan mengungsi.
TRIBUNNEWS.COM - Krisis kemanusiaan di Sudan terus memburuk.
Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dilaporkan mempersiapkan serangan baru ke arah timur di tengah meluasnya kelaparan dan pengungsian massal.
Menurut laporan Al Jazeera pada Senin (3/11/2025), RSF berencana menyerang kota el-Obeid, ibu kota Negara Bagian Kordofan Utara, setelah sebelumnya merebut el-Fasher, benteng terakhir pasukan pemerintah di wilayah Darfur.
Pemimpin RSF, Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, mengklaim pihaknya telah “mengumpulkan kekuatan besar untuk membebaskan el-Obeid.”
Jarak antara el-Fasher (ibu kota Negara Bagian Darfur Utara) dan el-Obeid (ibu kota Negara Bagian Kordofan Utara) di Sudan adalah sekitar 370 hingga 400 kilometer ke arah timur-tenggara bila diukur garis lurus.
Kota ini kini menjadi titik strategis baru setelah ribuan warga sipil melarikan diri dari Darfur akibat kekerasan brutal yang menewaskan ribuan orang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan dampak kemanusiaan yang semakin parah akibat serangan RSF.
Dalam laporan Minggu (2/11/2025) malam, badan dunia itu menyebut ribuan orang terpaksa mengungsi dari Bara dan Um Rawaba di Kordofan Utara.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat lebih dari 36.000 orang telah meninggalkan wilayah tersebut dalam sepekan terakhir.
Kondisi serupa juga terjadi di Kordofan Selatan, di mana ratusan orang mengungsi dari kota Abassiya dan Delami.
Situasi disebut “tegang dan sangat fluktuatif,” menurut laporan lapangan IOM.
Sejak RSF mengambil alih el-Fasher pada 26 Oktober, lebih dari 70.000 warga dilaporkan mengungsi, sementara ribuan lainnya masih terjebak di dalam kota.
Stephane Dujarric, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, menyebut telah ada laporan mengenai “pelanggaran serius,” termasuk eksekusi singkat terhadap relawan Bulan Sabit Merah.
Baca juga: WHO Kutuk Pembantaian Pasien Rumah Sakit di Sudan, 460 Nyawa Dihabisi
Sebuah video yang beredar memperlihatkan puluhan jasad berserakan di jalan-jalan el-Fasher.
PBB dan lembaga bantuan internasional telah memverifikasi kesaksian penyintas yang menyebut RSF melakukan eksekusi massal, penyiksaan, pemerkosaan, dan penculikan terhadap warga sipil.
“Kami mendengar kisah mengerikan dari mereka yang berhasil keluar dari el-Fasher.
Banyak pria ditangkap atau dibunuh oleh RSF, sementara perempuan dan anak-anak berusaha bertahan hidup di pengungsian,” ujar jurnalis Al Jazeera Hiba Morgan dari al-Dabbah, Sudan utara.
Kelaparan kini melanda dua wilayah — el-Fasher dan Kadugli di Kordofan Selatan — menurut laporan Integrated Food Security Phase Classification (IPC).
Pemantau pangan global yang didukung PBB itu memperkirakan lebih dari 6,3 juta orang kini menderita kelaparan ekstrem, sementara 375.000 lainnya telah hidup dalam kondisi kelaparan akut.
“Tanpa gencatan senjata dan akses kemanusiaan yang aman, lebih banyak warga Sudan akan meninggal akibat kelaparan dan kekurangan gizi,” tulis IPC dalam laporannya.
Di tengah krisis ini, ribuan pengungsi baru tiba di kota al-Dabbah di Negara Bagian Utara.
“Jalanan penuh mayat,” kata Yahya Abdullah, salah satu warga yang lolos dari el-Fasher, kepada Al Jazeera.
Ia kehilangan istrinya akibat serangan drone RSF dan menyaksikan anak-anak ditembaki di jalan.
Sementara itu, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag mengumumkan penyelidikan resmi atas dugaan kejahatan perang yang dilakukan RSF di el-Fasher.
Jaksa ICC menyebut kekejaman yang dilakukan pasukan tersebut sebagai bagian dari “pola kekerasan sistematis” di Darfur, yang diduga melibatkan pemerkosaan massal, penculikan, dan serangan terhadap warga sipil serta fasilitas medis.
Menurut Africanews, perang antara militer Sudan dan RSF yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini menewaskan sedikitnya 40.000 orang dan membuat 14 juta lainnya mengungsi.
Lembaga kemanusiaan memperingatkan angka korban sesungguhnya bisa jauh lebih tinggi.
PBB menyebut situasi di Sudan kini “mendekati bencana total” dengan kombinasi perang, kelaparan, dan wabah penyakit yang terus menyebar di negara terbesar ketiga di Afrika itu.
Baca juga: El Fasher Jatuh ke Tangan RSF, Ribuan Warga Sudan Selamatkan Diri di Tengah Pembantaian Brutal
Mengenal Pasukan Dukungan Cepat (RSF)
RSF (Rapid Support Forces) adalah pasukan paramiliter yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal dengan julukan “Hemedti”.
RSF awalnya dibentuk dari milisi Janjaweed, kelompok bersenjata yang beroperasi di wilayah Darfur pada awal 2000-an dan dituduh melakukan kejahatan perang serta pembersihan etnis terhadap kelompok non-Arab.
Di bawah pemerintahan diktator Omar al-Bashir, Janjaweed dilegalkan menjadi RSF pada tahun 2013 untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontakan dan menjaga keamanan perbatasan.
RSF kemudian tumbuh menjadi kekuatan militer yang sangat besar dan kaya, karena menguasai tambang emas serta jaringan ekonomi sendiri — bahkan lebih independen dari tentara reguler.
Setelah revolusi 2019 yang menggulingkan al-Bashir, RSF menjadi bagian dari pemerintahan sementara dan bersekutu dengan tentara nasional (SAF), sebelum akhirnya berselisih tajam dengan mereka pada 2023.
Mengenal Angkatan Bersenjata Sudan (SAF)
SAF (Sudanese Armed Forces) adalah militer resmi Sudan, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala negara de facto sejak kudeta 2021.
SAF merupakan institusi militer utama yang sudah ada sejak kemerdekaan Sudan pada 1956.
Tentara ini memiliki kekuasaan politik besar, terutama setelah sering menggulingkan pemerintahan sipil melalui kudeta, termasuk rezim Omar al-Bashir (1989–2019) dan pemerintahan transisi sipil (2021).
SAF berupaya mempertahankan statusnya sebagai satu-satunya kekuatan bersenjata nasional dan menolak struktur otonom RSF.
Al-Burhan menuduh RSF berusaha merebut kekuasaan dan menghancurkan negara, sementara SAF mengklaim berjuang untuk menjaga kesatuan dan kedaulatan Sudan.
Singkatnya, RSF adalah kekuatan paramiliter kaya dan otonom yang lahir dari milisi Darfur, sedangkan SAF adalah militer resmi Sudan yang memegang kendali pemerintahan nasional.
Persaingan antara keduanya — dua jenderal, dua kekuatan, dua ambisi — menjadi penyebab utama perang saudara Sudan yang dimulai pada April 2023.
Akar Konflik RSF dan SAF
Akar konflik di Sudan, khususnya antara Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), terletak pada perebutan kekuasaan, ketegangan etnis, serta kendali sumber daya yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Konflik terbaru pecah pada April 2023 setelah perselisihan antara dua jenderal kuat: Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin SAF sekaligus kepala negara de facto, dan Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, komandan RSF.
Keduanya sebelumnya merupakan sekutu dalam kudeta militer tahun 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil pasca revolusi 2019, namun kemudian berselisih terkait rencana integrasi RSF ke dalam tentara nasional.
Baca juga: Apa Itu RSF? Militan yang Lakukan Pembunuhan Sadis, Tewaskan 1.500 Warga Sudan Selama 3 Hari
RSF sendiri berakar dari milisi Janjaweed, kelompok yang dituduh melakukan genosida terhadap etnis non-Arab di Darfur pada awal 2000-an di bawah rezim Omar al-Bashir.
Milisi itu kemudian dilegalkan menjadi RSF dan diberi kekuatan ekonomi serta militer besar, menjadikannya semacam “negara dalam negara” yang sulit dikendalikan.
Selain perebutan kekuasaan, konflik ini juga dilatarbelakangi oleh persaingan etnis dan sumber daya alam.
Wilayah Darfur kaya akan emas, lahan subur, dan jalur perdagangan penting. RSF didominasi oleh etnis Arab, sementara korban utama kekerasan berasal dari kelompok non-Arab seperti Fur, Zaghawa, dan Berti, yang kini menghadapi ancaman pembersihan etnis.
Upaya transisi menuju pemerintahan sipil setelah tumbangnya al-Bashir sempat memunculkan harapan, namun kudeta tahun 2021 oleh SAF dan RSF menggagalkan proses tersebut.
Ketika negosiasi internasional berusaha mendorong pembentukan pemerintahan sipil baru, rivalitas Burhan dan Hemedti justru memicu perang terbuka yang kini melumpuhkan negara itu.
Konflik juga diperparah oleh campur tangan asing.
RSF diduga mendapat dukungan senjata dan dana dari Uni Emirat Arab melalui Chad, sementara SAF disokong oleh Mesir dan memiliki hubungan dengan Rusia, termasuk dalam pembicaraan soal pangkalan laut di Laut Merah.
Baca juga: WHO Kutuk Pembantaian Pasien Rumah Sakit di Sudan, 460 Nyawa Dihabisi
Persaingan geopolitik ini membuat perang semakin sulit dihentikan.
Secara keseluruhan, krisis Sudan bukan sekadar pertarungan dua jenderal, melainkan warisan panjang perang etnis, kesenjangan ekonomi, dan intervensi luar negeri yang membuat negara itu terus terjebak dalam siklus kekerasan sejak era al-Bashir.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.