Konflik Palestina Vs Israel
Apa Tugas Pasukan Stabilisasi Internasional di Gaza setelah Disahkan oleh PBB?
Dewan Keamanan PBB secara resmi telah mengesahkan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) yang akan bekerja di Gaza. Apa saja tugas ISF di Gaza?
Ringkasan Berita:
- Dewan Keamanan PBB secara resmi telah mengesahkan pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF).
- Mandat utama ISF adalah melaksanakan demiliterisasi wilayah Gaza serta membangun kerangka pemerintahan transisi.
- Lantas, apa saja yang akan dilakukan ISF setelah secara resmi dibentuk oleh DK PBB?
TRIBUNNEWS.COM - Dewan Keamanan PBB telah memberikan suara mayoritas untuk menyetujui rencana perdamaian yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Senin (17/11/2025) waktu setempat.
Keputusan ini secara resmi mengesahkan pengerahan pasukan internasional di wilayah tersebut.
Resolusi ini menandai otorisasi dimulainya fase kedua dari rencana 20 poin yang diajukan oleh Presiden AS, termasuk pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF).
Mandat utama ISF adalah melaksanakan demiliterisasi wilayah Gaza serta membangun kerangka pemerintahan transisi.
Dikutip dari BBC, pemungutan suara di DK PBB menunjukkan dukungan kuat, di mana resolusi tersebut didukung oleh 13 negara anggota.
Di antara negara-negara pendukung termasuk Inggris, Prancis, dan Somalia.
Tidak ada negara anggota yang memberikan suara menentang proposal tersebut.
Namun, dua anggota tetap DK PBB, yaitu Rusia dan China, memilih untuk abstain dari pemungutan suara.
Lantas, apa saja tugas ISF selama di Gaza?
Nantinya, ISF memiliki tugas untuk melakukan demiliterisasi wilayah Gaza, termasuk melucuti senjata dan membongkar infrastruktur militer kelompok non-negara.
Pasukan ini diharapkan dapat mengamankan kawasan, mendukung demiliterisasi, dan menjamin keselamatan warga sipil Palestina.
Baca juga: PBB Setujui Resolusi AS untuk Kirim Pasukan Internasional ke Gaza, Ini Daftar Negara yang Terlibat
Selain itu, resolusi ini juga mengundang negara-negara anggota untuk berpartisipasi dalam Dewan Perdamaian (BoP).
Dewan yang sementara akan dipimpin oleh Presiden Trump ini berfungsi sebagai badan transisi, bertanggung jawab untuk memandu upaya rekonstruksi dan menghidupkan kembali ekonomi di Gaza hingga akhir tahun 2027.
Langkah ini menyusul penerimaan fase awal kerangka 20 poin Trump oleh Israel dan Hamas bulan lalu, yang mencakup gencatan senjata dalam konflik dua tahun mereka serta kesepakatan pembebasan sandera Israel.
Hamas Menolak, PA Menyambut Baik
Meskipun mendapat dukungan mayoritas, resolusi ini menuai penolakan keras dari Hamas.
Dikutip dari CNA, kelompok militan tersebut menyatakan tidak akan melucuti senjata dan menyebut tindakan mereka terhadap Israel sebagai "perlawanan yang sah".
"Resolusi tersebut memaksakan mekanisme perwalian internasional di Jalur Gaza, yang ditolak oleh rakyat kami dan faksi-faksi mereka," demikian pernyataan Hamas.
Mereka juga mengkritik mandat ISF untuk melucuti senjata kelompok bersenjata, yang menurut Hamas "melucuti netralitasnya, dan mengubahnya menjadi pihak yang berkonflik demi kepentingan pendudukan".
Di sisi lain, Otoritas Palestina (PA) menyambut baik keputusan DK PBB tersebut dan menegaskan kesiapan mereka untuk membantu pelaksanaannya.
Dukungan PA ini disebut oleh sejumlah pejabat diplomatik sebagai faktor penting yang mencegah veto dari Rusia dalam negosiasi.
Pembagian Zona di Gaza
Dokumen perencanaan militer AS yang baru terungkap menunjukkan Washington merencanakan pembagian Jalur Gaza secara jangka panjang.
Nantinya, Gaza akan terbagi menjadi dua zona yang dikendalikan secara militer, yakni "zona hijau" yang akan direkonstruksi dan "zona merah" yang akan dibiarkan dalam reruntuhan.
Rencana kontroversial ini, yang dilihat oleh surat kabar The Guardian, memunculkan keraguan serius mengenai komitmen AS terhadap penyelesaian politik abadi yang menjanjikan pemerintahan Palestina di seluruh wilayah Gaza, seperti yang pernah dijanjikan oleh Trump.
Baca juga: Hamas Tolak Rencana Presiden Trump untuk Gaza yang Disetujui DK PBB
Menurut dokumen tersebut dan sumber yang mengetahui rencana AS, pembagian wilayah akan dilakukan berdasarkan "garis kuning" yang saat ini dikontrol oleh Israel di bagian timur Gaza.
Seorang pejabat AS yang berbicara tanpa menyebut nama mengakui kompleksitas rencana tersebut.
"Idealnya Anda ingin menyatukan semuanya, bukan? Tapi itu hanya sebuah cita-cita," ujar pejabat itu, dikutip dari The Guardian.
"Ini akan memakan waktu. Ini tidak akan mudah," lanjutnya.
Inti dari rencana AS adalah pembentukan ISF, yang didukung oleh resolusi Dewan Keamanan PBB.
Pasukan asing, yang diharapkan mencapai kekuatan penuh 20.000 personel, pada awalnya akan ditempatkan bersama tentara Israel di timur Gaza.
Rancangan rencana operasional AS (CONOPS) secara spesifik menyatakan bahwa pasukan ISF hanya akan bertugas di "zona hijau".
Namun, rencana ini menghadapi kesulitan besar dalam mencari kontribusi pasukan.
Dokumen awal militer AS sempat mencantumkan rincian pasukan Eropa, termasuk hingga 1.500 prajurit infanteri dari Inggris dan 1.000 tentara Prancis, sebagai inti dari ISF.
Namun, sumber diplomatik menggambarkan rencana tersebut sebagai "delusional", mengingat keengganan sebagian besar pemimpin Eropa untuk mempertaruhkan nyawa tentara mereka di Gaza setelah misi panjang di Irak dan Afghanistan.
Sejauh ini, hanya Italia yang menawarkan potensi kontribusi pasukan.
AS juga berharap Yordania dapat menyumbang hingga 3.000 petugas polisi, meskipun Raja Abdullah secara eksplisit menolak mengirim pasukan karena kedekatan politik negaranya dengan Gaza, yang dikhawatirkan dapat memicu ketegangan domestik.
(Tribunnews.com/Whiesa)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/tribunnews/foto/bank/originals/kehancuran-total-di-Jalur-Gaza-akibat-bombardemen-Israel.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.