Gangguan Penglihatan pada Anak Bisa Picu Masalah Emosional, Ini Penjelasan Dokter Mata
Penelitian terbaru menunjukkan, masalah ini bisa berpengaruh jauh lebih dalam: hingga memengaruhi kondisi emosional anak.
Ia juga mengingatkan pentingnya membatasi screen time sesuai rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yakni maksimal 1–2 jam per hari untuk hiburan, tergantung usia anak.
Inovasi Digital Jadi Alat Deteksi Dini
Menjawab tantangan akses pemeriksaan mata dan kesehatan jiwa anak, dr. Kianti bersama tim Health Collaborative Center (HCC), Laulima Eye Health Initiative, dan Indonesian Health Development Center (IHDC) mengembangkan inovasi skrining digital bernama CERMATA—adaptasi lokal dari platform WHOeyes.
Cermata menjadi platform digital pertama yang menggabungkan pemeriksaan kesehatan mata dan kesehatan jiwa anak secara terpadu dan inklusif.
Melalui uji coba pada lebih dari 1.200 anak SD di Jakarta, pendekatan ini terbukti efektif meningkatkan cakupan skrining dan deteksi dini gangguan penglihatan maupun emosional.
“Dengan Cermata, guru dapat melakukan skrining di sekolah, dan hasilnya bisa diverifikasi orang tua di rumah. Jadi semua pihak terlibat aktif,” jelas dr. Kianti.
Data awal menunjukkan: 40 persen anak memiliki gangguan penglihatan; 70 persen menunjukkan indikasi gangguan emosional; 50 persen mengalami masalah perilaku dan 27 persen memiliki tanda hiperaktivitas.
Menurut Prof. Nila Moeloek yang menjadi penasihat utama program ini, Cermata adalah gerakan kolaboratif yang melibatkan guru, orang tua, dan tenaga kesehatan.
“Cermata bukan hanya alat skrining, tapi gerakan bersama untuk memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat—secara visual dan emosional,” tutupnya. (Eko Sutriyanto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.