Hanya Butuh 30 Detik untuk Selamatkan Hidup, Cek Irama Jantung dengan 'Menari'
Tidak semua detak jantung terdengar sama. Ada irama yang berlari terlalu cepat, ada pula yang tersendat pelan tanpa disadari.
Pulse Day 2026 dipimpin oleh APHRS dengan dukungan organisasi lintas benua seperti EHRA (Eropa), HRS (Amerika), dan LAHRS (Amerika Latin), serta mitra global seperti Arrhythmia Alliance (UK) dan World Heart Federation.
Baca juga: Stres Bisa Bikin Jantung Berdetak Tidak Teratur, Waspadai Risiko Aritmia dan Serangan Jantung
Dr. Dicky menjelaskan bahwa Pulse Day bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi gerakan kolaboratif lintas negara untuk membangun budaya heart awareness di masyarakat.
“Pulse Day bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi sebuah gerakan bersama yang mengajak masyarakat di seluruh dunia untuk mengenal irama jantungnya, memeriksa denyut nadi secara rutin, dan segera berkonsultasi bila terdapat kelainan,” ujarnya.
Salah satu fokus utama kampanye ini adalah deteksi dini Atrial Fibrillation (AF)—jenis aritmia paling umum dan penyebab utama stroke yang sebenarnya bisa dicegah.
AF sering kali tidak menunjukkan gejala khas. Pasien baru menyadari ketika komplikasi sudah terjadi.
“Melalui kampanye MENARI, kami ingin mengingatkan bahwa langkah kecil seperti memeriksa nadi bisa berdampak besar, bahkan menyelamatkan hidup,” tegas dr. Dicky.
Dari Aritmia hingga Kematian Jantung Mendadak
Fenomena Sudden Cardiac Death (SCD) atau kematian jantung mendadak menjadi bukti nyata mengapa kesadaran tentang irama jantung harus terus digaungkan.
Lebih lanjut dr. Agung Fabian Chandranegara, Sp.JP(K), FIHA, Sekretaris Jenderal PERITMI (Indonesian Heart Rhythm Society/InaHRS), mengungkapkan bahwa SCD menyumbang sekitar 10–15 persen dari seluruh kematian global setiap tahun.
“Secara global, insiden SCD pada populasi umum diperkirakan mencapai 40–100 kasus per 100.000 orang per tahun. Meskipun angka kematian sempat menurun antara tahun 1999 hingga 2018, data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan sejak 2018,” jelas dr. Agung.
Sayangnya, di Indonesia, data nasional mengenai henti jantung di luar rumah sakit (Out-of-Hospital Cardiac Arrest/OHCA) masih terbatas.
Berdasarkan jaringan Pan Asian Resuscitation Outcome Study (PAROS), tingkat kelangsungan hidup setelah OHCA di Asia hanya sekitar 4–6 persen, jauh di bawah negara Barat.
Ia menekankan bahwa kunci penyelamatan nyawa adalah pendeteksian dini dan pengetahuan Bantuan Hidup Dasar (BHD).
Dr Agung mengingatkan, setiap menit tanpa tindakan CPR (resusitasi jantung paru) menurunkan peluang hidup secara signifikan.
Masyarakat perlu tahu langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan.
Mengenali tanda henti jantung, segera menghubungi nomor darurat, dan melakukan kompresi dada cepat dan kuat hingga bantuan medis datang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.