Pemilu 2024
Hakim MK Sebut Politik Uang Berpotensi Terjadi di Sistem Pemilu Apapun
untuk meminimalisir terjadinya praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilihan umum, seharusnya dilakukan tiga langkah konkret secara simultan
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, sistem pemilihan umum apapun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang.
Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Saldi Isra, dalam siang pengucapan putusan sistem Pemilu, di Gedung MK, Jakarta Pusat.
"Para pemohon juga mendalilkan dengan diselenggarakan pemilihan umum dengan sistem proporsional daftar terbuka telah memperluas terjadinya praktik politik uang atau money politics dan tindak pidana korupsi. Berkenaan dengan dalil a quo, Mahkamah berpendapat pilihan terhadap sistem pemilihan umum apapun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang," kata Saldi Isra, dalam persidangan, Kamis (15/6/2023) hari ini.
Baca juga: Satu Hakim Punya Pendapat Berbeda Saat Putusan Sistem Pemilu 2024, Ungkit Ideologis Soekarno
Ia menjelaskan, praktik politik uang yang dapat terjadi dalam penerapan sistem proporsional tertutup.
"Misalnya dalam proporsional dalam daftar tertutup praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elit partai dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut nomor urut calon jadi, agar berpeluang atas keterpilihan semakin besar. Dengan kata lain pembelian nomor urut calon DPR DPRD atau jual beli kandidasi dan nomor urut nomination buying, juga merupakan salah satu bentuk praktik politik uang yang juga potensial terjadi dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup," ungkapnya.
Kemudian, ia menjelaskan, praktik politik uang yang potensial terjadi di dalam penerapan sistem Pemilu proporsional terbuka.
"Sementara itu, dalam sistem proporsional dengan ddaftar terbuka, sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf (3.29.2) di atas juga memiliki peluang terjadinya politik uang dalam hal ini bakal calon dan calon yang memiliki sumber daya finansial besar dapat memanfaatkannya untuk memengaruhi pemilih," katanya.
Baca juga: PDIP Siap Terima Apapun Putusan MK Terkait Sistem Pemilu
Oleh karena itu, Saldi menyampaikan, untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya meminimalisir terjadinya praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilihan umum, seharusnya dilakukan tiga langkah konkret secara simultan:
1. Partai politik dan para calon anggota DPR DPRD harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk menjauhi dan bahkan sama sekali tidak menggunakan dan terjebak dalam praktik politik uang setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan umum.
2. Penegakkan hukum harus benar-benar dilaksanakan terhadap setiap pelanggaran pemilihan umum, khususnya pelanggaran yang berkenanaan dengan politik uang, tanpa membeda-bedakan latarbelakangnya baik penyelenggara maupun peserta pemilihan umum.
Khusus calon anggota DPR DPRD yang terbukti terlibat dalam praktik politik uang, harus dibatalkan sebagai calon dan diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Bahkan untuk efek jera, partai politik yg terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik yang bersangkutan.
3. Masyarakat perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politkk untuk tidak menerima dan mentolerir praktik money politics, karena jelas-jelas merusak prinsip-prinsip pemilihan umum demokratis.
Baca juga: MK Putuskan Pemilu Proporsional Terbuka, PAN: Alhamdulillah
Sementara itu, Hakim Saldi mengatakan, peningkatan kesadaran masyarakat tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan negara serta penyelenggara pemilihan umum. Namun juga tanggung jawab kolektif parpol, civil society, dan pemilih.
"Sikap ini pun sesungguhnya merupakan penegasan mahkamah bahwa praktik politik uang tidak dapat dibenarkan sama sekali," kata Saldi.
Sebagai informasi, hari ini MK membacakan putusan perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022 soal uji materi sistem Pemilu.
Pembacaan putusan ini dilakukan dengan 5 putusan lainnya. Adapun permohonan perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nano Marijono.
Para Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional terbuka pada pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Para Pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik.
Hal itu dikarenakan, dalam hal penentuan caleg terpilih oleh (Komisi Pemilihan Umum) KPU tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.
Model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo menurut Para Pemohon telah nyata menyebabkan para caleg merasa Parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen, seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.
Sidang perdana perkara tersebut digelar pada Rabu (23/11/2022) dan sidang terakhir digelar pada Selasa (23/5/2023) dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait.
Diketahui, dalam perkara ini MK telah menggelar sebanyak enam belas kali persidangan sejak pemeriksaan pendahuluan hingga pemeriksaan persidangan.
MK juga telah mendengar keterangan dari berbagai pihak mulai dari DPR, Presiden, serta sejumlah Pihak Terkait yang terdiri dari KPU, Fatturrahman dkk, Sarlotha Febiola dkk, Asnawi dkk, DPP Partai Garuda, Hermawi Taslim, Wibi Andrino, DPP PKS, DPP PSI, Anthony Winza Prabowo, August Hamonangan, Wiliam Aditya Sarana, Muhammad Sholeh, DPP PBB, Derek Loupatty, Perludem, Jansen Sitindaon.
MK juga mendengarkan keterangan sejumlah ahli yang diajukan Pemohon, Perludem, Derek Loupatty, Partai Garuda, dan Partai Nasdem.
Pemilu 2024
Dilaporkan Terkait Sewa Jet Pribadi Saat Pemilu 2024, KPU Disebut Langgar Lima Pasal Peraturan DKPP |
---|
Ketua KPU Klaim Sewa Jet Pribadi Saat Pemilu 2024 Tak Menyalahi Aturan dan Telah Diaudit BPK |
---|
KPU Akui Sewa Jet Pribadi Saat Pemilu 2024, Klaim Demi Efektivitas Pengawasan |
---|
Komisi II DPR RI Ungkap Pernah Ingatkan KPU Soal Penggunaan Private Jet: Tidak Pantas Itu |
---|
Komisi II DPR Minta KPU Kooperatif Terkait Dugaan Penyalahgunaan Private JetĀ |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.