Revisi UU TNI
Peneliti CSIS Lihat Potensi Aksi Penolakan UU TNI Akan Semakin Besar
Nicky pun mengingatkan kepada masyarakat sipil agar memberikan perhatian pada proses perubahan undang-undang dalam beberapa minggu ke depan.
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Nicky Fahrizal melihat potensi aksi penolakan terhadap Undang-Undang (UU) TNI yang baru disahkan DPR pekan lalu akan semakin besar.
Potensi tersebut, kata dia, akan semakin besar apabila pemerintah enggan belajar dari peristiwa-peristiwa politik yang sebelumnya terjadi.
Baca juga: CSIS: Proses Pembahasan RUU TNI Tak Sesuai Standar, DPR dan Pemerintah Ugal-ugalan
Terlebih, kata dia, terdapat RUU penting yang saat ini juga tengah berproses di DPR di antaranya RUU Polri, RUU Kejaksaan, dan RUU KUHAP.
Ketiga RUU tersebut juga diketahui telah menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Baca juga: Mahasiswa UI Gugat UU TNI ke MK, Nilai Pemerintah Telah Kelewat Batas Permainkan Rakyat
Hal itu disampaikannya saat Media Briefing CSIS bertajuk Catatan Pasca-Pengesahan Revisi UU TNI: Aspek Legislasi dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan di Auditorium CSIS Tanah Abang Jakarta Pusat pada Senin (24/3/2025).
"Maka aksi ini akan konsisten dan mungkin akan makin besar apabila pemerintah tidak mau belajar, tidak mau berbenah, mau seenaknya sendiri saja. Maka masyarakat sipil akan selalu menjawab respons pemerintah yang ugal-ugalan," kata Nicky.
Nicky pun mengingatkan kepada masyarakat sipil agar memberikan perhatian pada proses perubahan undang-undang dalam beberapa minggu ke depan.
Selain perubahan undang-undang Polri, KUHAP, Kejaksaan, kata Nicky, perlu dicermati juga potensi perubahan paket undang-undang politik seperti undang-undang pemilu dan Pilkada, bahkan perubahan undang-undang dasar 1945.
"Mengapa demikian? Karena, seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa dalil kegentingan yang memaksa, atau keadaan darurat, itu sudah menjadi lembaga di dalam perumusan kebijakan hukum," kata Nicky.
Sementara itu Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandez memandang proses revisi UU TNI belum memenuhi standar baku yang telah ditentukan dalam tiga aturan yakni UU tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3), Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan peraturan Tata Tertib DPR.
Terkait hal itu, ia mencatat publik tidak mendapatkan informasi memadai baik soal draf naskah akademik yang memuat pihak pengusul, urgensi revisi, dan filosofi direvisinya UU tersebut dalam proses pembahasan di tingkat 1.
Baca juga: Serba-serbi Kritik usai RUU TNI Ketok Palu Disahkan: Legislasi Cacat, Pasal Karet, Kepongahan Negara
Selain itu, banyaknya versi Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang beredar di masyarakat juga membuat publik tidak mendapatkan informasi yang memadai.
Arya juga mencatat publik juga tidak mengetahui dengan jelas bagaimana hasil dari pembicaraan tingkat 1 khususnya soal posisi partai terkait revisi UU tersebut, pendapat mini fraksi, dan pendapat keseluruhan menyangkut kebijakan fraksi soal revisi UU TNI.
Ia juga memandang masuknya RUU TNI menjadi RUU Prolegnas melalui mekanisme kumulatif terbuka juga tidak memenuhi indikator berdasarkan tingkat kebutuhan yang telah ditentukan.
"Kalau kita lihat prosedur dan prosesnya itu memang bisa dikatakan dia belum memenuhi standar kelayakan atau standar yang baku, yang rigid soal proses pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Arya.
Revisi UU TNI
Ketua MK Tegur DPR Sebab Terlambat Menyampaikan Informasi Ahli dalam Sidang Uji Formil UU TNI |
---|
MK Minta Risalah Rapat DPR saat Bahas RUU TNI, Hakim: Kami Ingin Membaca Apa yang Diperdebatkan |
---|
Cerita Mahasiswa UI Penggugat UU TNI: Dicari Babinsa Hingga Medsos Diserang |
---|
Pakar Tegaskan Mahasiswa hingga Ibu Rumah Tangga Punya Legal Standing untuk Gugat UU TNI |
---|
Bivitri Susanti Soroti Tekanan Terhadap Mahasiswa Pemohon Uji Formil UU TNI: Kemunduruan Demokrasi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.