Senin, 11 Agustus 2025

RUU Perampasan Aset

Urgensi RUU Perampasan Aset: Membangun Sistem Pemulihan Aset yang Efisien dan Adil

Menurutnya, aset hasil kejahatan ekonomi harus dapat dirampas secara cepat, lintas yurisdiksi, dan tidak semata bergantung pada putusan pidana.

HO/IST
TOPIK PERAMPASAN ASET - Suasana perkuliahan dipimpin anggota Komisi III DPR RI sekaligus dosen tetap Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (Unhan) Bambang Soesatyo. Dia menuturkan kalau perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang (TPPU) merupakan elemen krusial dalam strategi pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia. 

Hasiolan EP/Tribunnews.com

TRIBUNNEWSCOM, JAKARTA – Dalam sesi kuliah mata kuliah Pembaharuan Hukum Nasional di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Bambang Soesatyo Anggota Komisi III DPR RI sekaligus dosen tetap di Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya, dan Universitas Pertahanan—menyoroti urgensi reformasi hukum dalam kerangka perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang (TPPU).

Menurutnya, aset hasil kejahatan ekonomi harus dapat dirampas secara cepat, lintas yurisdiksi, dan tidak semata bergantung pada putusan pidana.

Baca juga: Hakim Tanya Mekanisme Perampasan Aset Halal Bercampur Aset Hasil Gratifikasi di Kasus Zarof Ricar

Bamsoet merujuk pada data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2024 yang menunjukkan bahwa kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 45,7 triliun, namun jumlah aset yang berhasil dipulihkan hanya sekitar Rp 2,5 triliun sepanjang 2020–2024.

Angka ini menggambarkan disparitas besar antara kerugian dan pemulihan, serta menegaskan lemahnya efektivitas sistem hukum yang ada.

"Salah satu penyebabnya adalah dominasi pendekatan conviction-based forfeiture, yaitu perampasan aset hanya setelah pelaku terbukti bersalah di pengadilan," katanya dikutip, Minggu (18/5/2025). 

Sistem ini dinilai lambat dan tidak responsif, terutama ketika pelaku melarikan diri, meninggal dunia, atau menyembunyikan aset di luar negeri.

Masalah, kata Bamsoet, tidak hanya terletak pada peraturan perundang-undangan, melainkan juga pada terbatasnya teknologi pelacakan aset dan minimnya sinergi antar-lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian.

Kurangnya sistem informasi terintegrasi menyebabkan lemahnya kemampuan negara dalam mendeteksi dan membekukan aset sejak dini.

Data dari FATF bahkan menunjukkan bahwa secara global, hanya kurang dari 1 persen aset hasil kejahatan yang berhasil disita. 

Di Indonesia, angka ini bisa jadi lebih rendah karena keterbatasan infrastruktur digital dan belum adanya unit khusus pemulihan aset yang kuat dan mandiri.
Urgensi Penerapan NCB Forfeiture dan Pembentukan Pengadilan Khusus

Sebagai solusi, Bamsoet mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang memperkenalkan sistem non-conviction based asset forfeiture (NCB). Dalam model ini, aset dapat dirampas melalui mekanisme perdata jika terbukti berasal dari aktivitas ilegal, tanpa menunggu proses pidana selesai.

Baca juga: Menteri Hukum: Apabila RUU Perampasan Aset Jadi Inisiatif DPR, Pembahasannya akan Lebih Cepat

Ia juga menekankan pentingnya, pembuktian terbalik secara terbatas dan proporsional, pembentukan pengadilan khusus untuk perkara perampasan aset, dan peningkatan kompetensi teknis aparat penegak hukum.

Dijelaskan, beberapa negara seperti Amerika Serikat, Swiss, Singapura, dan Australia telah menerapkan sistem serupa dan menunjukkan efektivitas tinggi dalam memulihkan kerugian negara.

Bamsoet juga menegaskan kalau penerapan sistem NCB di Indonesia harus tetap menjaga prinsip praduga tak bersalah dan perlindungan hak milik warga negara, agar tidak bertentangan dengan konstitusi. 

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan