Minggu, 7 September 2025

Aksi Ojek Online

Solusi untuk Ojol Disebut Harus Berpijak pada Realitas Ekonomi, Bukan Sekadar Wacana Politik

kebijakan yang akan berdampak besar terhadap jutaan mitra pengemudi dan pengguna layanan harus disusun berdasarkan data .

Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Surya/Habibur Rohman
DEMO OJOL GABUNGAN - Pengemudi ojek online (ojol) tergabung dalam Frontal Jawa Timur memasuki kota Surabaya melewati Jl A Yani (frontage barat), Selasa (20/5/2025). mereka menggelar aksi dengan mendatangi beberapa kantor pemerintahan serta aplikator dengan tuntutan terkait tarif, regulasi serta penurunan potongan aplikasi. (SURYA/HABIBUR ROHMAN) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) mengapresiasi aksi damai sejumlah mitra pengemudi ojek online (ojol) dan kurir digital sejumlah daerah.

Modantara menyatakan dukungan terhadap kebebasan berpendapat.

Namun, mengingatkan sektor mobilitas dan pengantaran digital merupakan elemen vital dalam kehidupan masyarakat modern dan denyut perekonomian digital nasional.

Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menegaskan kebijakan yang akan berdampak besar terhadap jutaan mitra pengemudi dan pengguna layanan harus disusun berdasarkan data dan realitas ekonomi, bukan semata-mata dorongan politik.

“Kami memahami keresahan mitra, namun solusi harus berpijak pada realitas ekonomi, bukan sekadar wacana politik. Ekosistem ini terbukti menjadi bantalan sosial saat krisis. Oleh karenanya, kebijakan yang mengaturnya harus berpijak pada data dan mempertimbangkan dampak jangka panjang," ujar Agung kepada wartawan, Selasa (20/5/2025).

Soal isu komisi tunggal 10 persen kepada seluruh platform, Agung menilai kebijakan tersebut tidak sesuai dengan dinamika industri. 

"Platform memiliki model bisnis yang beragam, berdasarkan layanan, pasar, dan strategi pemberdayaan mitra yang berbeda-beda," kata dia.

Menurut Agung, penyeragaman komisi justru dapat menghambat inovasi, mengancam layanan di daerah dengan margin rendah, serta memaksa efisiensi berlebihan yang berdampak pada kualitas pelayanan kepada konsumen.

Modantara juga menyoroti wacana reklasifikasi mitra pengemudi menjadi pegawai tetap yang dianggap dapat menimbulkan dampak besar terhadap lapangan kerja dan perekonomian nasional. 

Berdasarkan kajian Svara Institute (2023), perubahan status ini berpotensi menghapus 70 hingga 90 persen pekerjaan di sektor ini, serta menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 5,5 persen atau sekitar Rp178 triliun.

“Ketika niat melindungi justru membuat jutaan mitra kehilangan akses kerja fleksibel, kita perlu berhenti dan bertanya: siapa sebenarnya yang terlindungi?” kata Agung.

Agung menjelaskan, beberapa negara seperti Spanyol, Swiss, dan Inggris telah mengalami dampak serupa setelah menerapkan kebijakan serupa, termasuk peningkatan tarif layanan hingga 30 persen, penurunan jumlah mitra aktif, serta hengkangnya sejumlah platform dari pasar.

Terkait tuntutan penyesuaian tarif, Modantara mendukung upaya peningkatan kesejahteraan mitra namun menolak pendekatan seragam yang tidak mempertimbangkan kondisi lapangan. Daya beli konsumen, biaya operasional, serta variasi wilayah layanan harus menjadi pertimbangan utama.

"Kita harus memperhatikan biaya operasional dan taraf hidup mitra, namun tarif yang terlalu tinggi akan menurunkan minat konsumen, percuma tarif yang tinggi namun yang beli tidak ada," tutur Agung.

Agung juga menegaskan bahwa regulasi tarif pengantaran makanan dan barang berbasis aplikasi tidak dapat disamakan dengan logistik konvensional. 

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan