Pengamat Hukum Nilai Rancangan KUHAP dan KUHP Nasional Tak Sinkron
Rancangan Kitab Umum Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 dinilai belum selaras dengan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) Nasional.
"Plea bargaining dan DPA sangat berguna untuk menyelesaikan perkara secara efisien dan adil, tetapi hingga kini belum mendapat legitimasi dalam RKUHAP. Kasus-kasus besar seperti Rolls Royce menunjukkan bahwa dengan DPA, negara bisa menghindari kerugian besar, menjaga stabilitas ekonomi, sekaligus tetap menegakkan keadilan,” paparnya.
Lebih jauh, Febby menyoroti bahwa penggunaan Perma dan Perja sebagai satu-satunya dasar dalam penanganan perkara korporasi atau penyelesaian alternatif tanpa adanya dasar KUHAP membuka ruang disparitas dan ketidakpastian hukum.
"Jika RKUHAP tetap menutup mata terhadap dinamika ini, maka sistem hukum acara pidana Indonesia akan semakin tertinggal dari standar internasional dan praktik peradilan modern di negara-negara lain,” lanjutnya.
Ketua Umum ASPERHUPIKI Fachrizal Afandi memberi sorotan terhadap ultimum remedium dikemukakan Fachrizal.
Dia menyampaikan bahwa prinsip ultimum remedium bukan hanya berlaku dalam konteks pemidanaan, tetapi juga dalam pelaksanaan upaya paksa seperti penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Penahanan sebagai bentuk upaya paksa merupakan pembatasan kemerdekaan yang sangat serius dan harus tunduk pada prinsip necessity dan proportionality.
“Sayangnya, dalam praktik, penahanan masih menjadi langkah otomatis begitu seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan dalam beberapa riset ditemukan bahwa hakim cenderung menjatuhkan pidana penjara sesuai dengan lamanya masa penahanan, meskipun alat bukti sangat lemah," kata dia.
"Ini menunjukkan bahwa penahanan prapersidangan sering kali berfungsi sebagai bentuk pemidanaan dini (pre-trial punishment), yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlindungan HAM,” ucapnya.
KUHP Nasional, kata Fachrizal, telah membuka ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana tanpa pemidanaan (rechtelijk pardon), sebagai bentuk koreksi terhadap overkriminalisasi dan penghukuman yang tidak proporsional.
Namun jika pada tahap penyidikan dan penuntutan aparat penegak hukum tetap mengedepankan penahanan sebagai prosedur rutin, maka nilai-nilai dalam KUHP hanya akan menjadi slogan tanpa makna substantif.
Fachrizal menggarisbawahi bahwa tanpa perubahan menyeluruh dalam KUHAP, termasuk dalam mengatur penahanan dan upaya paksa lainnya, pembaruan hukum pidana Indonesia akan pincang.
“KUHAP juga seharusnya tunduk pada prinsip yang sama, di mana pembatasan kebebasan seperti penahanan harus dibuktikan sebagai tindakan terakhir, bukan justru menjadi langkah pertama yang otomatis dilakukan dalam setiap perkara,” urainya.
Seminar ASPERHUPIKI beserta Fakultas Hukum Undip yang turut dihadiri Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Retno Saraswati ini menghasilkan enam rekomendasi terkait pembahasan RKUHAP 2025.
Rekomendasi pertama, RKUHAP 2025 harus secara nyata merefleksikan nilai-nilai baru KUHP Nasional, terutama prinsip ultimum remedium dan pedoman pemidanaan berbasis keadilan dan proporsionalitas.
Rekomendasi kedua yaitu penahanan harus tunduk pada prinsip kehati-hatian, dengan standar pembuktian yang kuat dan pengawasan ketat dari hakim sejak tahap awal (pre-factum), sebagaimana dituntut oleh standar HAM internasional.
VIDEO WAWANCARA EKSLUSIF Dinamika Politik Mengancam RUU KUHAP: Ketua Komisi III Tak Lagi Optimis |
![]() |
---|
RUU KUHAP Diharapkan Mampu Menjawab Persoalan Ego Sektoral Penegak Hukum |
![]() |
---|
Soal Revisi KUHAP, Habiburokhman: Apapun Pilihan Pak Prabowo, Kita akan Ikut |
![]() |
---|
Soal Target Penyelesaian Revisi KUHAP, Ketua Komisi III DPR: Masih Gaib |
![]() |
---|
Habiburokhman Tak akan Kecewa Jika RKUHAP Gagal Disahkan: Di Politik Itu Bukan Soal Baper-baperan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.