Selasa, 2 September 2025

Pengamat Hukum Nilai Rancangan KUHAP dan KUHP Nasional Tak Sinkron

Rancangan Kitab Umum Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 dinilai belum selaras dengan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) Nasional.

Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
RKUHP 2025 - Seminar Nasional “Menakar Keselarasan Pengaturan Upaya Paksa dan Pemidanaan dalam RKUHAP 2025 dengan Tujuan dan Pedoman Pemidanaan KUHP Nasional” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH UNDIP) bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI), Senin (26/5/2025).  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Kitab Umum Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 dinilai belum selaras dengan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) Nasional.

Sejumlah subtansi yang tidak selaras diantaranya  ultimum remedium, pedoman pemidanaan, serta sinkronisasi dalam pelaksanaan pidana dan tindakan, ketidakterpaduan antara penyidikan dan penuntutan.

Oleh karena itu, RKUHAP 2025 dianggap tidak mampu menjamin keadilan dan hak asasi manusia dalam setiap proses hukum.

Pakar Hukum Peradilan Anak dari Universitas Binus Ahmad Sofian menyoroti bahwa meskipun dalam penjelasan RKUHAP 2025 disebutkan bahwa sistem yang dianut adalah integrated criminal justice system, tetapi pada kenyataannya hubungan antar institusi penegak hukum masih berjalan sendiri-sendiri.

Menurutnya, dominasi Polri sebagai penyidik utama dinilainya menimbulkan ketimpangan dengan PPNS dan penyidik lain yang mengganggu prinsip sistem peradilan pidana terpadu. 

“Di sisi lain, pasal-pasal yang mengatur kewenangan penyidik seperti Pasal 7 ayat (1) dan ayat (5) memberikan keleluasaan yang sangat besar untuk melakukan penghentian penyidikan, bahkan tanpa pelibatan jaksa. Ini menandakan bahwa penuntutan belum dipahami sebagai lanjutan dari proses penyidikan yang terkoordinasi secara substansial dan bukan sekadar administratif,” kata Sofian dalam Seminar Nasional “Menakar Keselarasan Pengaturan Upaya Paksa dan Pemidanaan dalam RKUHAP 2025 dengan Tujuan dan Pedoman Pemidanaan KUHP Nasional” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH UNDIP) bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI), Rabu (28/05/2025). 

Sofian melanjutkan, beberapa ketentuan RKUHAP 2025 diingatkannya juga memungkinkan penyidik Polri menghentikan penyidikan tanpa melibatkan jaksa, serta memberi ruang dominasi dalam mekanisme pemberian izin upaya paksa oleh penyidik non-Polri.  

"Ini tidak mencerminkan sistem terpadu, melainkan sistem subordinatif yang membuka ruang konflik kewenangan dan pengabaian prinsip checks and balances,” tegasnya.

Dalam seminar tersebut, Sofian melemparkan kritikan tajam pada definisi penyelidikan dan penyidikan dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 5 RKUHAP.  

"Proses penyelidikan sebagaimana dijelaskan dalam RKUHAP tampak tidak sederhana karena dalam praktiknya telah merambah ke wilayah penyidikan. Banyak tindakan dalam tahap penyelidikan yang seharusnya masuk kategori penyidikan, termasuk penerapan upaya paksa. Namun sayangnya, tidak ada mekanisme pengawasan dalam tahap ini,” ujar Sofian . 

Dalam seminar ini, diajukan usulan agar sejak tahap penyelidikan, harus sudah ada mekanisme pengawasan oleh jaksa atau hakim pemeriksa pendahuluan agar perlindungan hak-hak dasar individu dijalankan sejak dini.

Dalam forum yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson menyoroti RKUHAP 2025 belum mengakomodasi penyelesaian perkara di luar pengadilan secara utuh dan setara dengan perkembangan KUHP.  

Febby menekankan bahwa KUHP Nasional sudah mengakui keberadaan pelaku korporasi, tetapi RKUHAP 2025 belum mengatur tata cara pemeriksaan, penuntutan, dan pelaksanaan putusan terhadap badan hukum. 

Di sisi lain, mekanisme seperti Restorative Justice (RJ), Plea Bargaining, dan Deferred Prosecution Agreement (DPA) disebutnya perlu diatur secara eksplisit. 

Febby mengingatkan bahwa RJ tidak bisa diterapkan untuk semua perkara, terutama perkara tanpa korban langsung, dan harus dilakukan dalam kerangka koordinasi jaksa-penyidik sejak tahap awal. 

Halaman
123
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan