Rabu, 3 September 2025

Ketua Komisi II DPR Sebut Putusan MK Hapus Pemilu Serentak Kontradiktif 

Rifqi juga menyoroti potensi persoalan konstitusional dalam menormakan model pemilu yang dipisah antara pusat dan daerah.

Tribunnews.com/ Fersianus Waku
PEMISAHAN PEMILU - Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2025). Rifqi menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029 menunjukkan inkonsistensi dengan putusan sebelumnya. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi II DPR, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda atau Rifqi, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029 menunjukkan inkonsistensi dengan putusan sebelumnya.

"Saya kira putusan Mahkamah Konstitusi itu juga kalau kita bandingkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkesan kontradiktif," kata Rifqi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Baca juga: Pemilu Serentak Dihapus, Golkar Minta MK Perhatikan Grand Design Penataan Sistem Politik

Rifqi merujuk pada Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan Pemilu. Model yang dipilih kala itu telah digunakan dalam Pemilu 2024. 

Namun, dalam putusan terbaru pada 2025, MK dinilai tidak memberikan ruang bagi DPR untuk menetapkan model Pemilu melalui revisi undang-undang, melainkan langsung menetapkan satu model tertentu.

"Tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini. Nah, karena itu sekali lagi izinkan kami melakukan pendalaman dan penelaahan," ujar Rifqi.

Lebih lanjut, Rifqi juga menyoroti potensi persoalan konstitusional dalam menormakan model pemilu yang dipisah antara pusat dan daerah, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah.

Baca juga: Sebut Putusan MK Angin Segar untuk Demokrasi, Bawaslu Akui Pemilu Serentak Jadi Beban Luar Biasa

Dia mengingatkan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebut kepala daerah dipilih secara demokratis, yang maknanya bisa ditafsirkan sebagai pemilihan langsung maupun tidak langsung.

"Sementara makna dari demokratis itu bisa direct demokrasi dan indirect demokrasi. Karena itu, DPR akan melihat lebih jauh original content atau risalah pada saat ketentuan Pasal 18 ini dibentuk dulu pada saat amandemen konstitusi yang kedua," tegasnya.

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan