Kamis, 4 September 2025

MK Tolak Syarat Capres Harus Sarjana, HNW: Ijazah Tak Diatur UUD

MK Bolehkan capres tanpa gelar sarjana, HNW ingatkan bahaya ijazah palsu

|
Penulis: Chaerul Umam
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
HIDAYAT NUR WAHID - Wakil Ketua MPR sekaligus Anggota Komisi VIII DPR Hidayat Nur Wahid saat wawancara khusus dengan Tribun Network di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2025). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTAMahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak gugatan yang meminta calon presiden dan wakil presiden wajib minimal berpendidikan sarjana (S1). Putusan ini menuai respons dari Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW), yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) memang tidak mengatur batasan pendidikan formal untuk calon pemimpin tertinggi negara.

“Memang kalau merujuk ke dalam Undang-Undang Dasar, tidak ada syarat ijazah, baik strata terendah maupun tertinggi. Jadi kalau kemudian ada yang mensyaratkan minimal tertentu, wajar MK menolak karena konstitusi tidak membatasi,” ujar HNW saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (18/7/2025).

HNW: Jangan Sampai Putusan MK Disalahartikan

Meski mengapresiasi konsistensi MK terhadap konstitusi, Hidayat Nur Wahid mengingatkan bahwa putusan ini tidak boleh membuka celah hukum yang membingungkan. Ia khawatir, tanpa rambu yang jelas, publik justru menafsirkan bahwa seseorang tanpa ijazah atau bahkan dengan ijazah palsu tetap bisa mencalonkan diri.

"Kalau ditolak minimal S1, penting juga MK tidak membuka ruang open legal policy. Jangan sampai nanti muncul tafsir: tanpa ijazah pun boleh, atau bahkan ijazah palsu pun dianggap sah," tegasnya.

Ia menambahkan, hampir semua pekerjaan di Indonesia mensyaratkan kualifikasi pendidikan tertentu, bahkan untuk menjadi guru TK. Maka wajar jika masyarakat menginginkan kejelasan syarat serupa untuk posisi strategis seperti presiden dan wakil presiden.

Baca juga: MK Tolak Permohonan Gugat Rangkap Jabatan Wamen karena Pemohon Telah Meninggal Dunia

MK Diminta Beri Rambu ke DPR

HNW juga menekankan pentingnya putusan MK sebagai panduan hukum bagi pembuat kebijakan, khususnya DPR, agar saat menyusun revisi undang-undang tidak melanggar konstitusi.

"MK memang bukan pembuat undang-undang, tapi penting memberi rambu agar DPR tidak bikin aturan yang nanti justru bertentangan dengan UUD," ujarnya.

MK Tegaskan Tidak Ada Kewajiban Ijazah S1

SYARAT PENDIDIKAN CAPRES - Hanter Oriko Siregar, pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan Umum, hadiri sidang pengucapan putusan MK, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (17/7/2025). Pemohon menggugat Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tentang syarat pendidikan Capres-Cawapres minimal ijazah strata satu (S1).
SYARAT PENDIDIKAN CAPRES - Hanter Oriko Siregar, pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan Umum, hadiri sidang pengucapan putusan MK, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (17/7/2025). Pemohon menggugat Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tentang syarat pendidikan Capres-Cawapres minimal ijazah strata satu (S1). (mkri.id)

MK menolak gugatan yang meminta ijazah strata satu (S1) dijadikan syarat wajib bagi calon presiden dan wakil presiden. Putusan Nomor 87/PUU‑XXIII/2025 ini dibacakan dalam sidang terbuka pada Kamis, 11 Juli 2024, di Gedung MK, Jakarta, dengan Ketua MK Suhartoyo memimpin jalannya persidangan.

Permohonan tersebut diajukan oleh tiga warga negara, yakni Jefri Tandjung (dosen), Abdullah Mansuri (Ketua Umum IKAPPI), dan Marselinus Andi Widianto (pengacara HAM). Mereka menggugat Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena dianggap tidak memberikan standar minimal pendidikan yang layak bagi capres dan cawapres.

Para pemohon berargumen bahwa dalam era modern yang kompleks, kemampuan memimpin negara semestinya ditopang oleh pendidikan tinggi formal. Mereka menilai, tidak adanya batas minimal ijazah formal untuk jabatan tertinggi di republik ini berpotensi melemahkan kualitas kepemimpinan nasional.

“Kami bukan bermaksud mendiskriminasi, tapi ini tentang menjaga standar kelayakan dan kapasitas pemimpin,” kata Jefri Tandjung dalam keterangannya usai sidang pendahuluan.

Baca juga: MK Perintahkan Jeda Pemilu-Pilkada, Apkasi: Masa Jabatan Kepala Daerah Harus Diperpanjang!

Namun, dalam amar putusan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, MK menegaskan bahwa pendidikan formal bukan satu-satunya indikator kemampuan seseorang untuk memimpin negara.

“Fakta sejarah membuktikan banyak tokoh bangsa yang mampu menjadi pemimpin hebat meskipun tidak bergelar sarjana,” ujar Saldi.

Ia mencontohkan Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta yang telah membuktikan kapabilitas luar biasa, bahkan sebelum sistem pendidikan tinggi modern berkembang di Indonesia.

Majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa syarat pendidikan minimal dapat membuka ruang diskriminasi konstitusional. Menurut MK, ketentuan yang ada saat ini sudah sesuai dengan prinsip inklusivitas dan kesetaraan kesempatan dalam berdemokrasi.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan