Rabu, 10 September 2025

BPJS Kesehatan Klarifikasi Isu Dokter Hanya Dibayar Rp2 Ribu per Pasien

Kepala Humas BPJS Kesehatan membantah bahwa dokter hanya dibayar BPJS Kesehatan 2.000 untuk setiap pasien yang dilayani.

Editor: Content Writer
Istimewa
PEMBIAYAAN BPJS KESEHATAN - Ilustrasi BPJS Kesehatan. Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, membantah bahwa dokter hanya dibayar BPJS Kesehatan 2.000 untuk setiap pasien yang dilayani. 

TRIBUNNEWS.COM - Lebih dari satu dekade berjalan, Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih dihadapkan pada tantangan tentang pemahaman terhadap skema pembiayaan layanan kesehatan. Dua istilah yang kerap mencuat namun sering disalahartikan, yakni sistem kapitasi dan Indonesia Case-Based Groups (INA-CBG), padahal keduanya merupakan komponen kunci dalam mekanisme pembayaran layanan bagi peserta JKN.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, menyampaikan bahwa perbedaan antara kapitasi dan INA-CBG mencakup cara pembayaran, jenis layanan yang diberikan, serta fasilitas kesehatan yang menerima pembayaran.

“Kapitasi adalah sistem pembayaran yang dilakukan di awal secara prabayar setiap bulan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), seperti Puskesmas, klinik pratama, atau dokter praktik perorangan. Besaran pembayaran ditentukan berdasarkan jumlah peserta JKN yang terdaftar, tanpa memperhitungkan frekuensi kunjungan atau jenis layanan medis yang diberikan,” jelas Rizzky.

Artinya, walaupun peserta tidak datang berobat, fasilitas kesehatan tetap menerima pembayaran dari BPJS Kesehatan. Namun demikian, hal ini bukan berarti tanpa kewajiban, FKTP tetap dituntut untuk memberikan layanan secara optimal, termasuk layanan promotif, preventif, serta pengelolaan pasien penyakit kronis melalui Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) dan Program Rujuk Balik (PRB).

"Jadi tidak benar kalau ada yang bilang dokter cuma dibayar BPJS Kesehatan 2.000 untuk setiap pasien yang dilayani. BPJS Kesehatan membayar ke FKTP, dan besaran tarif kapitasi ini telah diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023. Sedangkan pembagian jasa medis dokter dan tenaga medis kesehatan lainnya merupakan kewenangan faskes," katanya. 

Rizzky menambahkan, sistem kapitasi saat ini telah mengalami pengembangan menjadi Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK). Melalui skema ini, fasilitas kesehatan dengan kinerja baik berhak memperoleh insentif tambahan.

"Penilaian kinerja dilakukan berdasarkan sejumlah indikator, seperti seberapa aktif FKTP menjalin kontak dengan peserta, baik saat sehat maupun sakit. Kemudian efektivitas dalam mengendalikan tingkat rujukan yang seharusnya cukup ditangani di FKTP, serta keberhasilan dalam mengelola pasien diabetes melitus dan hipertensi agar tetap terkendali," kata Rizzky.

Baca juga: BPJS Kesehatan: Tak Ada Kebijakan Pembatasan Rawat Inap 3 Hari di Rumah Sakit

FKTP yang mencapai indikator kinerja yang ditetapkan bahkan dapat memperoleh insentif hingga 110 persen dari tarif kapitasi standar. Tujuannya adalah untuk mendorong FKTP menjalankan perannya secara optimal sebagai gatekeeper layanan kesehatan, bukan sekadar tempat berobat saat sakit saja.

"Makin banyak peserta yang sehat, FKTP makin untung. Harapan kami, itu bisa memacu semangat FKTP untuk menggalakkan upaya promotif preventif," jelas Rizzky.

Berbeda dengan kapitasi, sistem INA-CBG digunakan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) seperti rumah sakit. Besaran tarifnya diatur oleh Kementerian Kesehatan berdasarkan paket tarif yang telah disesuaikan dengan diagnosis medis dan tindakan yang dilakukan. Sementara, BPJS Kesehatan berperan sebagai pihak yang melakukan verifikasi klaim sebelum dibayarkan ke pihak rumah sakit.

“Kalau INA-CBG adalah pembayaran berdasarkan layanan yang benar-benar diberikan oleh rumah sakit kepada peserta JKN. Skema ini diterapkan sesuai dengan karakteristik pelayanan di rumah sakit yang menangani kasus medis spesialistik, atau membutuhkan penanganan lebih lanjut,” tambah Rizzky.

Rizzky menambahkan, jika semua penyakit harus ditangani di rumah sakit, bukan hanya biaya yang membengkak, tapi juga bisa menyebabkan penumpukan pasien dan turunnya kualitas pelayanan di rumah sakit.

"Oleh sebab itu FKTP diposisikan sebagai garda terdepan untuk penanganan awal, sementara rumah sakit fokus pada kasus yang memang memerlukan penanganan lebih lanjut sesuai dengan indikasi medis," ujar Rizzky.

Rizzky menegaskan, rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan hanya diberikan apabila FKTP tidak mampu menangani kondisi pasien berdasarkan indikasi medis, bukan karena permintaan pribadi atau alasan biaya.

Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2024 yang mengatur bahwa layanan kesehatan perseorangan wajib dimulai dari FKTP sebelum berlanjut ke rumah sakit tingkat lanjutan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan