Jumat, 31 Oktober 2025

RUU KUHAP

Respons DPR Soal KPK Kritik Aturan Praperadilan di RKUHAP Hambat Penanganan Perkara Korupsi

Soedeson Tandra, angkat bicara terkait kritik yang menyebut bahwa pengaturan praperadilan dalam RKUHP bisa menghambat proses sidang pokok perkara.

Tangkap layar akun Youtube TV Parlemen
PEMBAHASAN RUU KUHAP - Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Selasa (22/07/2025). Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar Soedeson Tandra, angkat bicara terkait kritik yang menyebut bahwa pengaturan praperadilan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) bisa menghambat proses sidang pokok perkara tindak pidana korupsi. 

Menurut KPK, RUU KUHAP memuat pasal-pasal yang dapat meniadakan kekhususan tersebut, sehingga mengancam efektivitas kerja KPK mulai dari tahap penyelidikan hingga penuntutan.

Berikut adalah daftar 17 poin catatan kritis KPK terhadap RUU KUHAP:

1. Ancaman terhadap Asas Lex Specialis: Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".

2. Keberlanjutan Penanganan Perkara: Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.

3. Penyelidik KPK Tidak Diakomodir: RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.

4. Penyempitan Definisi Penyelidikan: RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.

5. Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal: RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.

6. Penetapan Tersangka Baru: Penetapan tersangka baru ditentukan setelah penyidik mengumpulkan dan memperoleh dua alat bukti, sedangkan KPK sudah dapat menetapkan tersangka sejak perkara naik status dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan.

7. Penghentian Pe­nyi­dikan: Penghentian pe­nyi­dikan dalam RUU KU­HAP disebut wajib melibat­kan penyidik Polri. Sementara KPK berwenang secara independen memberhenti­kan penyidikan dengan mem­beritahukan kepada Dewan Pengawas KPK.

8. Birokrasi Baru Penyerahan Berkas: RKUHAP mengindikasikan penyerahan berkas perkara harus melalui penyidik Polri, bertentangan dengan UU KPK yang mengatur pelimpahan langsung dari penyidik KPK ke penuntut umum KPK.

9. Pembatasan Wewenang Penggeledahan: RKUHAP membatasi penggeledahan hanya pada tersangka dan mewajibkan pendampingan penyidik Polri dari yurisdiksi setempat, menggerus wilayah hukum penyidik KPK yang bersifat nasional.

10. Izin Penyitaan dari Pengadilan: RKUHAP mewajibkan izin Ketua Pengadilan Negeri untuk penyitaan, bertentangan dengan praktik KPK yang hanya perlu memberitahukan kepada Dewan Pengawas.

11. Izin Penyadapan dari Pengadilan: RKUHAP mensyaratkan izin Ketua PN untuk penyadapan dan hanya boleh dilakukan saat penyidikan. Ini menghapus kewenangan KPK menyadap sejak penyelidikan tanpa izin pengadilan.

12. Pembatasan Pencegahan ke Luar Negeri: RKUHAP membatasi larangan bepergian ke luar negeri hanya untuk tersangka, padahal KPK seringkali perlu mencegah saksi atau pihak terkait lainnya.

13. Proses Praperadilan Menghambat Sidang Pokok Perkara: RKUHAP mengatur pokok perkara korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan berlangsung, bertentangan dengan asas peradilan cepat dan sederhana.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved