Andri Darmawan Minta Otto Hasibuan Mundur Jadi Ketua PERADI usai Gugatannya di MK Dikabulkan
Andri Darmawan mendesak agar Otto Hasibuan mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PERADI setelah gugatannya soal rangkap jabatan dikabulkan MK.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Advokat, Andri Darmawan meminta Otto Hasibuan mundur sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) setelah gugatannya terkait pejabat negara tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai pimpinan advokat dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (30/7/2025) kemarin.
Pasalnya, selain menjadi Ketua Umum PERADI, Otto kini juga menjabat sebagai Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Permasayarakatan.
Mulanya, Andri menyebut ada isu yang berkembang bahwa putusan MK terkait gugatannya itu tidak berlaku surut dan baru dilaksanakan pada tahun 2029.
Namun, dia menegaskan putusan MK harus dijalankan sejak putusan dibacakan oleh hakim konstitusi. Adapun putusan terkait gugatan Andri bernomor perkara 183/PUU-XXII/2024.
"Jadi, ada (isu) yang berkembang tadi bahwa putusan MK 183 ini tidak berlaku surut dan akan diberlakukan di tahun 2029."
"Pertama, saya ingin menyampaikan bahwa putusan MK itu berlaku sejak diucapkan dalam sidang yang digelar untuk umum," jelasnya kepada Tribunnews.com, Kamis (31/7/2025).
Baca juga: Putusan MK Soal Rangkap Jabatan Pimpinan Advokat, Pemerintah dan Peradi Diminta Ambil Sikap
Terkait putusan MK, Andri pun mendesak agar Otto segera mengundurkan diri sebagai Ketua PERADI.
Pasalnya, dalam amar, MK menyebut bahwa seorang pimpinan advokat harus dinonaktifkan sejak ditunjuk menjadi pejabat negara.
"Bagaimana dengan posisi Pak Otto Hasibuan? Karena di putusan MK kan sudah jelas ditegaskan ditambahkan frasa 'dan nonaktif apabila diangkat atau ditunjuk menjadi pejabat negara'."
"Karena Pak Otto Hasibuan sudah diangkat menjadi wamenko dan saat ini masih menjabat sebagai wamenko, berarti ia harus tunduk pada putusan MK yaitu nonaktif sejak putusan tersebut diucapkan atau dibacakan," tuturnya.
Andri menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dia pun meminta agar Otto Hasibuan menjalankan putusan MK tersebut agar menjadi contoh bagi masyarakat selaku pejabat negara.
"Terkait tindak lanjut, saya pikir Pak Otto kan seorang advokat. Advokat itu salah satu bagian penegak hukum dan tentu seharusnya menegakan hukum, apalagi posisinya saat ini sebagai wamenko."
"Kita tahu putusan MK itu final dan mengikat, sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi dan tidak ada upaya hukum lagi atas putusan MK," tegasnya.
Andri menyayangkan jika Otto Hasibuan tidak mundur sebagai Ketua Umum PERADI setelah adanya putusan MK tersebut.
Di sisi lain, dia mengungkapkan desakan agar Otto mundur sebagai Ketua Umum PERADI sudah muncul di media sosial (medsos).
"Ini saya tidak tahu (soal desakan anggota PERADI di daerah agar Otto Mundur) karena saya bukan dari PERADI."
"Tapi kalau melihat komen di medsos, banyak yang mendesak (Otto) mundur sebagai Ketua Peradi dan melaksanakan putusan MK," ujarnya.
Tribunnews.com telah menghubungi Otto Hasibuan terkait desakan Andri agar mundur sebagai Ketua PERADI setelah adanya putusan MK tersebut.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, dia belum memberikan respons.
Isi Putusan MK
MK menyatakan pimpinan organisasi advokat tidak boleh rangkap jabatan ketika mereka ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk menteri atau wakil menteri.
Selain itu, MK melarang pimpinan organisasi advokat merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik.
MK juga mengatur agar pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali alias dibatasi hanya menjabat 2 periode dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyampaikan bahwa putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa status jabatan wakil menteri ditempatkan sama dengan status yang diberikan kepada menteri.
Sehingga, larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana norma Pasal 23 UU 39/2008 juga berlaku untuk wakil menteri.
"Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri seperti yang diatur dalam norma Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri," kata Hakim Konstitusi Arsul Sani saat membaca pertimbangan hukum putusan uji materil UU Advokat di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025).
Baca juga: Penggugat Larangan Rangkap Jabatan Ketua Organisasi Advokat ke MK Ternyata Pengacara Guru Supriyani
MK kemudian menjelaskan jika pertimbangan hukum dalam kedua putusan tersebut dikaitkan dengan larangan bagi advokat sebagaimana UU 18/2003, dan larangan rangkap jabatan bagi menteri/wakil menteri dalam UU 39/2008, serta putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, hal ini sesuai larangan yang termaktub di Pasal 20 Ayat (3) UU 18/2003.
Dalam ketentuan pasal itu, advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.
Artinya, advokat yang menjalankan tugas sebagai pejabat negara dengan sendirinya kehilangan pijakan hukum untuk menjadi pimpinan organisasi advokat.
Mahkamah memiliki dasar kuat untuk menyatakan pimpinan organisasi advokat harus non-aktif jika ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk menteri atau wakil menteri.
MK menegaskan larangan tersebut dimaksudkan agar pimpinan organisasi advokat yang menjadi pejabat negara termasuk menteri atau wakil menteri, dapat terhindar dari potensi benturan kepentingan.
"Hal demikian diperlukan agar pimpinan organisasi advokat sebagai pejabat negara dimaksudkan untuk menghindari potensi benturan kepentingan (conflict of interest) apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk jika diangkat/ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri," katanya.
Baca juga: 2 Kali Diperiksa di Kasus Ijazah Palsu, Teman Jokowi Tak Takut, Ingin Ikut Buktikan Keaslian Ijazah
Berkenaan dengan itu dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
MK menyatakan norma Pasal 28 Ayat (3) UU 18/2003 tentang Advokat sebagaimana telah dimaknai dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 bertantangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:
"Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama baik secara berturut atau tidak, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik baik tingkat pusat maupun daerah, dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Mario Christian Sumampow)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.