Harapan Kuliah Gratis untuk Sang Anak Pupus, Buruh Pabrik Menangis MK Tolak Gugatan UU Sisdiknas
Air mata Rahma tak terbendung saat keluar dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Air mata Rahma tak terbendung saat keluar dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Perjuangannya untuk memperjuangkan pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga buruh kandas setelah MK menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Rahma, seorang buruh pabrik garmen di Jakarta, datang ke MK dengan harapan besar.
Ia ingin anaknya yang telah lulus SMA bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, keterbatasan ekonomi memaksanya merelakan sang anak ikut bekerja.
“Anak saya dua. Yang satu harusnya kuliah, tapi karena saya tidak mampu, dia ikut cari kerja. Itu sangat miris,” ujar Rahma dengan suara lirih, mengenakan seragam merah serikat buruh.
Anak keduanya masih duduk di bangku sekolah dasar, namun juga belum mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai karena bersekolah di swasta.
Meski upah buruh di Jakarta lebih tinggi dibanding daerah lain, Rahma mengaku penghasilannya masih jauh dari cukup untuk membiayai pendidikan tinggi anaknya.
Ia bahkan menerima upah kategori buruh lajang, padahal ia adalah ibu tunggal yang menanggung dua anak.
Baca juga: Ketua MK Suhartoyo ‘No Comment’ soal Revisi UU Mahkamah Konstitusi
“Saya ingin anak saya bisa sekolah sampai SMA, bahkan kuliah. Bukan cuma untuk anak saya, tapi untuk semua anak buruh di Indonesia. Kami juga punya mimpi,” ucapnya penuh harap.
Rahma mengajukan permohonan judicial review UU Sisdiknas bersama Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) dan empat mahasiswa lainnya.
Mereka menggugat Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas yang dinilai tidak menjamin pendanaan pendidikan di jenjang menengah dan tinggi.
Namun, dalam sidang putusan perkara Nomor 111/PUU-XXIII/2025, MK menolak seluruh permohonan tersebut.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo.
Hakim konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa tidak adanya jaminan hukum atas pendanaan pendidikan tinggi tidak serta-merta melanggar hak konstitusional warga negara.
Menurutnya, Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas justru menegaskan kewajiban negara dalam menyediakan pendidikan dasar gratis.
MK juga menilai bahwa pemohon keliru dalam menafsirkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil.
“Kemampuan mengikuti pendidikan tinggi tidak semata-mata bergantung pada kewajiban negara menyediakan biaya,” ujar Arief.
Meski menolak gugatan, MK tetap menekankan pentingnya proporsionalitas dalam pembiayaan pendidikan.
Pemerintah diminta mengutamakan anggaran berdasarkan jumlah peserta didik di jalur pendidikan umum, serta memperhatikan jalur pendidikan kedinasan.
Dalam sidang pendahuluan, pemohon memaparkan bahwa tingginya biaya pendidikan telah menyebabkan lebih dari 350 ribu mahasiswa berhenti kuliah pada 2023, mayoritas dari perguruan tinggi swasta.
Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) disebut sebagai salah satu hambatan utama.
Rata-rata biaya kuliah di Indonesia mencapai Rp19 juta per tahun pada tahun ajaran 2023/2024, dan telah meningkat sekitar 50 persen dalam satu dekade terakhir.
Meski kecewa, Rahma menegaskan bahwa perjuangannya belum selesai.
"Hari ini meski kecewa tapi tetap semampunya semangat untuk berjuang," pungkasnya.
Hakim Arief Hidayat Pensiun pada 2026, Ketua MK Tegaskan Sudah Kirim Surat ke DPR |
![]() |
---|
22 Tahun MK Berdiri, Suhartoyo: Mahkamah Konstitusi Telah Melewati Berbagai Ujian Konstitusi |
![]() |
---|
Ketua MK Akui Susah Peroleh Kepercayaan Publik di Tengah Zaman yang Bergerak Cepat dan KomplekS |
![]() |
---|
Hasto Kristiyanto Tetap Lanjut Gugat UU Tipikor di MK Meski Sudah Dapat Amnesti dari Prabowo |
![]() |
---|
Bawaslu Telusuri Dugaan Ketidaknetralan ASN dan Polri dalam PSU Pilkada Papua |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.