Selasa, 12 Agustus 2025

Dianggap Multitafsir, Sidang Perdana Gugatan UU Bahasa ke MK Digelar Hari Ini

Sidang pertama pengujian undang-undang ini digelar hari ini, Selasa (12/8/2025), dan tercatat dengan nomor perkara 127/PUU-XXIII/2025.

|
Penulis: Hasanudin Aco
istimewa
SIDANG PERDANA - Para penggugat UU Bahasa di MK menghadiri sidang perdana pengujian undang-undang ini digelar hari ini, Selasa (12/8/2025), dan tercatat dengan nomor perkara 127/PUU-XXIII/2025. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasal 31 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Penggugatnya adalah Deconsitute (Democracy, Economic & Constitution Institute) dan empat orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas).

Baca juga: Hakim MK: Tugas Guru Lebih Berat Dibanding Dosen

Sidang pertama pengujian undang-undang ini digelar hari ini, Selasa (12/8/2025), dan tercatat dengan nomor perkara 127/PUU-XXIII/2025.

Deconsitute adalah lembaga independen yang fokus dalam bidang penelitian dan konsultasi seputar isu demokrasi, pemilihan umum dan tata negara.

Baca juga: Sidang MK, Pemerintah Ungkap Alasan Usia Pensiun Guru Lebih Cepat 5 Tahun Dibanding Dosen

Dikutip dari situsnya, lembaga ini didirikan oleh sejumlah akademisi, peneliti dan aktivis dengan tujuan untuk berkontribusi dalam mencari solusi terbaik atas permasalahan demokrasi, pemilihan umum dan tata negara di Indonesia.

Para pemohon dalam gugatan ke MK ini dipimpin Harimurti Adi Nugroho, selaku Direktur Eksekutif Deconsitute  dan juga kuasa hukum dari para pemohon.

Mereka menguji frasa "wajib digunakan" dalam Pasal 31 ayat (1) UU Nomor  24 Tahun 2009 karena dinilai telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan terbukti melahirkan beragam tafsir di masyarakat.

Dalam sidang pendahuluan perkara  Nomor 127/PUU-XXIII/2025 tersebut, para pemohon memaparkan dalil-dalil pokok permohonannya yang berfokus pada ambiguitas makna dari frasa "wajib digunakan" dalam kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia untuk perjanjian dengan pihak asing. 

Dalam perkara ini, terdapat lima pihak yang menjadi pemohon yakni Devi Ramadhani, Yanhar Mizam, Agung Ramadhan dan Anandhita Sandryana sebagai mahasiswa UNAS, serta Deconsitute sebagai ormas berbadan hukum.

"Sidang hari ini adalah momentum penting untuk menguji norma yang selama ini menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Ini juga penting untuk menegakkan kedaulatan bahasa negara sesuai amanat konstitusi UUD45 pasal 36 dan memperkuat nilai nasionalisme," ujar Harimurti usai sidang.

Harimurti menambahkan bahwa ketidakpastian hukum ini dapat dilihat dari data empiris yang menunjukkan adanya variasi putusan pengadilan dalam memaknai Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009.

Berdasarkan penelitian periode 2015-2021, dari 10 kasus yang dianalisis, terdapat 13 entri putusan dengan hasil yang beragam.

Sebagian menyatakan perjanjian "Batal Demi Hukum".

Sementara lainnya menyatakan "Sah dan Mengikat" atau "Pengadilan Tidak Berwenang". “Argumentasi kami kuat dan didukung oleh data empiris” kata Harimurti.

Baca juga: Asa Mahasiswa UI Jelang Putusan Uji Formil UU TNI: MK Harapan Terakhir

Dalam menutup permohonannya, para pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa "wajib digunakan" bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai kewajiban yang bersifat imperatif.

Dan juga tidak dapat dikesampingkan dengan alasan apa pun, termasuk prinsip kebebasan berkontrak atau iktikad baik.

Permintaan ini sejalan dengan mayoritas putusan pengadilan dalam memaknai kewajiban dalam Pasal 31 UU Nomor 24 Tahun 2009 yang seharusnya menjadi yurisprudensi.

 

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan