Jumat, 22 Agustus 2025

Kasus Suap Ekspor CPO

Kasus Vonis Lepas CPO, Hakim Djuyamto Tak Ajukan Eksepsi Atas Dakwaan Terima Suap Rp 9,5 Miliar

Hakim nonaktif Djuyamto tak mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara suap vonis lepas perkara korupsi CPO.

Tribunnews.com/ Rahmat W Nugraha
SUAP VONIS LEPAS - Sidang dakwaan kasus dugaan suap pengurusan perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) vonis lepas korporasi terdakwa hakim non aktif Djuyamto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/8/2025). Hakim Djuyamto tak ajukan eksepsi terkait dakwaan jaksa. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim nonaktif Djuyamto tak mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara suap vonis lepas perkara korupsi pengurusan izin ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan minyak goreng (Migor).

Dalam kasus tersebut hakim Djuyamto didakwa menerima suap Rp 9,5 miliar.

"Saudara terdakwa Djuyamto, apakah saudara sudah mengerti dengan surat dakwaan yang telah dibacakan oleh penuntut umum?" tanya Ketua Majelis Hakim Effendi di persidangan PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).

Kemudian terdakwa Djuyamto mengatakan dirinya sudah mengerti.

"Sudah mengerti, Yang Mulia," jawab Djuyamto.

Baca juga: Kasus Vonis Lepas CPO, Hakim Djuyamto Cs Didakwa Terima Suap Rp 21,9 Miliar

Majelis hakim lalu menanyakan atas surat dakwaan penuntut umum. Apakah akan mengajukan eksepsi.

"Apakah akan mengajukan keberatan? Silahkan," tanya hakim Effendi.

Kuasa hukum Djuyamto di persidangan menerangkan pihaknya tak mengajukan eksepsi atau bantahan atas dakwaan penuntut umum.

"Kami dari penasihat hukum Pak Djuyamto tidak akan mengajukan keberatan. Majelis langsung dalam pokok perkara," kata kuasa hukum.

Baca juga: Kejagung Limpahkan Kasus Vonis Ontslag CPO ke Pengadilan, Hakim Djuyamto dkk Segera Disidang

Atas hal itu majelis hakim memutuskan sidang lanjutan digelar pada 27 Agustus mendatang.

"InsyaAllah kita akan buka kembali pada hari Rabu. Tanggal 27 ya," jelas Hakim Effendi.

Dalam dakwaan terungkap tiga hakim yang memberikan putusan lepas pada perkara korupsi pengurusan izin ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan minyak goreng (Migor) didakwa menerima suap dan gratifikasi Rp 21,9 miliar.

Tiga majelis hakim tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.

Tak hanya ketiga hakim, mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan pun turut menerima uang suap.

Kelimanya total menerima 2.500.000 dolar Amerika atau setara Rp 40 miliar.

Uang tersebut diterima dalam dua tahap dari pengacara terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Jaksa pun merinci uang yang diterima para hakim pada tahap pertama. Rinciaannya sebagai berikut:

  1. Arif Nuryanta menerima uang berupa pecahan USD senilai Rp 3.300.000.000.
  2. Wahyu Gunawan menerima uang berupa pecahan USD senilai Rp 800.000.000. 
  3. Djuyamto menerima uang berupa pecahan USD dan SGD senilai Rp 1.700.000.000.
  4. Agam Syarief menerima uang berupa pecahan USD dan SGD senilai Rp 1.100.000.000.
  5. Ali Muhtarom berupa pecahan USD senilai Rp 1.100.000.000.

Selanjutnya pada tahap kedua, kelima terdakwa kembali menerima uang suap dengan rincian sebagai berikut:

  1. Arif Nuryanta menerima suap berupa uang pecahan USD senilai Rp 12.400.000.000
  2. Wahyu menerima uang berupa pecahan USD senilai Rp 1.600.000.000.
  3. Djuyamto menerima uang berupa pecahan USD senilai Rp 7.800.000.000
  4. Agam Syarief menerima uang berupa pecahan USD senilai Rp 5.100.000.000
  5. Ali Muhtarom menerima uang berupa pecahan USD senilai Rp 5.100.000.000.

Dari dua tahap penerimaan suap tersebut, hakim Djuyamto total menerima uang Rp 9,5 miliar.

Selanjutnya hakim Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom masing-masing menerima suap Rp 6,2 miliar.

Uang yang diterima Djuyamto Cs disebut jaksa sebagai penerimaan gratifikasi karena selaku Ketua Majelis Hakim perkara migor tersebut.

"Terdakwa korporasi Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group, selanjutnya disebut perkara korupsi korporasi migor supaya menjatuhkan putusan lepas," kata jaksa saat membaca surat dakwaan terdakwa Djuyamto.

Atas perbuatannya tersebut, jaksa mendakwa ketiga terdakwa Djuyamto, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Perkara suap berawal tiga korporasi besar PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group dituntut membayar uang pengganti total Rp 17,7 triliun dalam kasus persetujuan ekspor CPO atau minyak goreng.

Adapun rinciannya, PT Wilmar Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619 atau (Rp 11,8 triliun), Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti Rp 937.558.181.691,26 atau (Rp 937,5 miliar), dan Musim Mas Group dituntut membayar uang pengganti Rp 4.890.938.943.794,1 atau (Rp 4,8 triliun).

Uang pengganti harus dibayar tiga korporasi lantaran dalam kasus korupsi CPO negara mengalami kerugian sebesar Rp 17,7 triliun.

Tapi bukannya divonis bersalah, majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin justru memutus 3 terdakwa korporasi dengan vonis lepas atau ontslag pada Maret 2025 lalu.

Tak puas dengan putusan ini, Kejagung langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Sejalan dengan upaya hukum itu, Kejagung juga melakukan rangkaian penyelidikan setelah adanya vonis lepas yang diputus ketiga hakim tersebut. 

Hasilnya Kejagung menangkap tiga majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut dan menetapkannya sebagai tersangka kasus suap vonis lepas.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan