Penulisan Ulang Sejarah RI
Koalisi Sipil Gugat Fadli Zon ke PTUN, Pernyataan Soal Pemerkosaan Massal 1998 Dinilai Langgar HAM
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menggugat Menteri Kebudayaan Fadli Zon ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta
Penulis:
Danang Triatmojo
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menggugat Menteri Kebudayaan Fadli Zon ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Gugatan teregister dengan nomor perkara 303/G/2025/PTUN-JKT.
Gugatan ini menyoal pernyataan Fadli mengenai laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998.
“Hari ini kami telah melayangkan gugatan kepada Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, dengan nomor register perkara yang telah terdaftar melalui nomor perkara 303/G/2025/PTUN-JKT telah kami daftarkan di PTUN Jakarta hari ini secara langsung,” kata kuasa hukum penggugat, Jane Rosalina dalam konferensi pers yang ditayangkan akun YouTube Kontras, Kamis, (11/9/2025).
Objek gugatan adalah pernyataan Fadli yang termuat dalam Siaran Berita Kementerian Kebudayaan Nomor 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025 tertanggal 16 Mei 2025 dan dipublikasikan pada 16 Juni 2025.
Melalui siaran pers serta unggahan di akun resmi Instagram pribadi @fadlizon dan @kemenbud, Fadli menyebut laporan TGPF ‘hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid’ dan mengingatkan agar publik tidak mempermalukan bangsa sendiri.
Para penggugat terdiri dari individu dan lembaga, antara lain Marzuki Darusman (Ketua TGPF Mei 1998), Ita F. Nadia (pendamping korban perkosaan massal), Kusmiyati (orang tua korban kebakaran Mei 1998), dan Sandyawan Sumardi (Koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan).
Selain itu, ada pula Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Kalyanamitra.
Jane Rosalina, menilai pernyataan Fadli melampaui kewenangan seorang menteri dan bertentangan dengan sejumlah regulasi, yakni UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sebelum mengajukan gugatan, Koalisi telah menempuh mekanisme administratif berupa keberatan kepada Fadli Zon pada 15 Juli 2025 serta banding administratif kepada Presiden Prabowo Subianto pada 29 Juli 2025.
Namun, kedua upaya itu tidak ditanggapi.
Lebih lanjut, Koalisi meminta majelis hakim yang memeriksa perkara ini seluruhnya berjenis kelamin perempuan dan memiliki perspektif gender. Permintaan itu merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 serta UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Penunjukan majelis hakim berperspektif gender adalah kewajiban hukum, bukan sekadar pilihan. Kasus ini menyangkut kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perkosaan Mei 1998,” ungkap Jane.
Koalisi menilai, pernyataan tersebut berpotensi menghambat penyelesaian hukum atas kasus pelanggaran HAM berat Mei 1998 serta mendelegitimasi kerja TGPF.
Sebelumnya, Fadli Zon menuai kecaman karena dalam wawancara di salah satu media pada Juni 2025, menyebut isu perkosaan massal Mei 1998 sebagai ‘rumor tanpa bukti’ Pernyataan itu memicu reaksi keras dari keluarga korban dan kelompok masyarakat sipil.
“Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” kata Fadli dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
Setelah ucapannya itu banyak diperbicangkan dan diprotes oleh publik, Fadli meluruskan pernyataannya dengan menyebut tidak bermaksud menyangkal peristiwa tersebut.
Namun ia tetap menegaskan perlunya sikap hati-hati dalam menyebut angka korban tanpa bukti yang teruji secara hukum dan akademik.
“Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta," kata Fadli Zon dalam keterangannya, Selasa (17/6/2025).
Disemprot anggota DPR
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Mercy Chriesty Barends, menyemprot Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, setelah menyebut tidak ada pemerkosaan masal saat tragedi Mei 1998 dalam rapat kerja (raker) di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Mercy mengatakan pernyataan Fadli yang disampaikan dalam wawancara di IDN Times beberapa waktu lalu itu telah melukai hatinya yang juga merupakan aktivis perempuan.
"Dapat kami sampaikan statement Bapak beberapa waktu lalu cukup melukai kami semua, terutama kami sebagai aktivis perempuan," katanya dikutip dari YouTube Parlemen TV.
Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika menjadi anggota tim pencari fakta Komnas Perempuan untuk mengumpulkan laporan kekerasan seksual yang terjadi saat konflik Maluku pada tahun 1999-2001.
Dalam laporannya, tidak ada korban kekerasan seksual yang berani untuk melaporkan ke aparat penegak hukum saat itu.
Mercy menilai hal itu cukup wajar, sehingga data faktual dari negara terkait korban kekerasan seksual di era Reformasi begitu minim.
"Tidak ada satupun korban berani untuk menyampaikan kasus kekerasannya karena saat itu mengalami represi yang luar biasa. Hal yang sama juga terjadi saat kerusuhan Mei 98," tegasnya.
"Kami berproses bersamaan sampai dokumen ini (TGPF) dihasilkan, penyusunan huridoc atau human right documentation, kami susun dengan Komnas Perempuan pada saat itu," sambung Mercy.
Baca juga: Fadli Zon Kembali Bicara soal Pemerkosaan Massal 1998, Pertanyakan Bukti TSM: Harus Ada Fakta Hukum
Ia mengaku marah atas pernyataan Fadli tersebut karena tidak sesuai dengan temuannya saat masih menjadi anggota tim pencari fakta.
Selain itu, Mercy juga tidak terima dengan pernyataan dari politikus Gerindra tersebut lantaran pada saat itu, aktivis perempuan dan korban kekerasan seksual hidup dalam ancaman.
Pernyataan Fadli, kata Mercy, seakan meragukan semua temuan terkait adanya kekerasan seksual secara massal yang terjadi saat tragedi Mei 98.
"Bapak kami dalam tekanan dan ancaman. Sehingga kemudian Bapak mempertanyakan dan Bapak seperti meragukan kebenaran dan sangat menyakiti, menyakiti, menyakiti," tegasnya.
Mercy pun mendesak Fadli meminta maaf kepada publik atas pernyataannya tersebut.
"Kami sangat berharap permintaan maaf mau korbannya perorangan yang jumlahnya banyak yang Bapak tidak akui itu massal, permintaan maaf karena korban benar-benar terjadi."
"Komnas Perempuan tidak bisa mempublikasikan karena ini menyangkut harkat martabat ke publik," tuturnya.
Mercy menambahkan jika memang Fadli masih tidak percaya terkait terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 98, maka bisa memintanya ke Komnas Perempuan.
Reaksi Fadli Zon
Terkait kecaman Mercy, Fadli Zon pun menyampaikan meminta maaf.
Ia juga tetap mengecam peristiwa pemerkosaan massal 1998, dan mengaku tidak tahu ada peristiwanya di Aceh dan Maluku.
"Saya minta maaf kalau ini terkait dengan insensitivitas, dianggap insensitif," ujar Fadli dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI tersebut.
"Tapi, saya sekali lagi dalam posisi yang mengutuk dan mengecam itu juga, dan ini tidak ada hubungan dengan kasus-kasus yang lain. Karena maksud saya, di Maluku atau di Aceh saya tidak tahu kejadian," lanjutnya.
"Tapi jelas kita semua mengutuk hal-hal yang semacam itu dan mengecam segala macam kekerasan terhadap perempuan itu saya kira dalam posisi yang sama sekali tidak berbeda dalam soal hal itu," tambahnya.
Kemudian Fadli Zon menyebut, pemilihan kata atau diksi 'massal' yang ia lontarkan merupakan pendapat pribadi.
Baca juga: Politisi PDIP Desak Fadli Zon Stop Penulisan Ulang Sejarah RI: Ada 3 Kategori Denial terhadap HAM
Sehingga, ia menyebut, butuh data yang lebih akurat untuk mendata kembali peristiwa tersebut.
"Nah, cuma secara spesifik tadi, kalau ada sedikit perbedaan pendapat terkait dengan diksi itu yang menurut saya itu pendapat pribadi ya," kata Fadli.
"Yang mungkin kita bisa dokumentasikan secara lebih teliti lagi ke depan ini adalah hal-hal yang mungkin bagian dari perbedaan-perbedaan data atau pendapat yang perlu lebih akurat lagi ke depan untuk mendatanya," paparnya.
Fadli menegaskan, tidak ada maksud lain terkait istilah 'massal' yang ia sampaikan.
Ia juga menyatakan bahwa dirinya tidak bermaksud untuk mereduksi peristiwa pemerkosaan massal 1998.
Fadli menyebut, apabila para pelaku sudah terungkap, maka seharusnya diproses hukum.
"Saya kira tidak ada maksud-maksud lain dan tidak ada kepentingan sebenarnya dalam hal ini untuk mereduksi kalau itu sudah menjadi sebuah kenyataan-kenyataan," ujar Fadli.
"Apalagi ada dukungan dengan hukum dan memang orang-orang perpetator ini, orang-orang pelaku, yang semacam itu sampai sekarang pun saya kira harusnya bisa dihukum kalau misalnya memang bisa ditelusuri kelompoknya, pelakunya," jelasnya.
"Kan, masalahnya itu belum menjadi sebuah fakta hukum. Kira-kira begitu. Jadi tidak ada maksud-maksud lain dan tidak sama sekali mengucilkan atau mereduksi, apalagi menegasikannya gitu," tambahnya.
Baca juga: Eks TGPF Ungkap Fakta Pemerkosaan 1998: Mencekam, Korban Trauma, Pertemuan Kostrad Disorot
Diksi 'Massal'
Sebelumnya, dalam Rapat Kerja ini, Fadli Zon juga menegaskan bahwa diksi massal identik dengan terstruktur dan sistematis.
Ia menyebut bahwa soal kekerasan seksual massal yang ramai di media merupakan pendapat pribadinya.
"Soal penulisan sejarah itu pendapat saya pribadi soal diksi massal itu, kenapa? Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis," ucap Fadli.
Ia mengklaim tidak menegasikan kekerasan seksual pada konflik 1998. Namun, menurutnya, perbedaan pendapat dalam sebuah forum merupakan hal yang wajar.
"Saya kira perbedaan-perbedaan pendapat mungkin di dalam forum yang lain bukan saya sebagai Menteri Kebudayaan," katanya.
"Saya siap sebagai seorang sejarawan, sebagai seorang peneliti untuk mendiskusikan ini dan sangat terbuka," imbuhnya. (*)
Koalisi Masyarakat Sipil
Fadli Zon
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
PTUN
Penulisan Ulang Sejarah RI
Anies Baswedan Soal Penulisan Ulang Sejarah: Penting untuk Tidak Mengurangi dan Menambah |
---|
Respons Fadli Zon Soal DPR Bentuk Tim Supervisi Penulisan Ulang Sejarah RI: Ya Baguslah |
---|
Observo Center: Menulis Ulang Sejarah, Menguatkan Nasionalisme |
---|
Dikte Fadli Zon Soal Penulisan Ulang Sejarah RI, Ahmad Dhani: Negara Wajib Mencerdaskan Bangsa |
---|
Kala Tangisan 2 Anggota DPR Tak Cukup Buat Fadli Zon Akui Ada Pemerkosaan Massal pada Mei 1998 |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.