ICW Sebut RUU Perampasan Aset Krusial untuk Kembalikan Uang Negara dari Koruptor
Wana Alamsyah menyebut sepanjang 2019–2023, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp234,8 triliun
Penulis:
Fahmi Ramadhan
Editor:
Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai RUU Perampasan Aset sangat mendesak dibahas karena dinilai mampu meningkatkan pengembalian kerugian negara dari kasus korupsi yang selama ini masih sangat minim.
RUU Perampasan Aset adalah Rancangan Undang-Undang yang bertujuan untuk memberikan dasar hukum bagi negara dalam merampas aset yang berasal dari tindak pidana, bahkan dalam kondisi tanpa harus menunggu putusan pidana terhadap pelaku.
Baca juga: Keputusan Baleg DPR soal Evaluasi Prolegnas Prioritas 2025, Ada RUU Perampasan Aset & RUU Kepolisian
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW Wana Alamsyah menyebut sepanjang 2019–2023, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp234,8 triliun namun hanya Rp32,8 triliun atau 13,9 persen yang berhasil dirampas kembali.
ICW adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berdiri sejak tahun 1998 di tengah semangat reformasi.
Tujuan utamanya adalah memberantas korupsi dan memberdayakan masyarakat agar aktif mengawasi jalannya pemerintahan.
Adapun hal itu diungkapkan Wana dalam acara diskusi Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) bertajuk Tarik Ulur Nasib RUU Perampasan Aset" di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (19/9/2025) sore.
“RUU Perampasan Aset penting karena menjadi instrumen hukum baru yang bisa menutup celah pengembalian aset korupsi yang selama ini sulit dijangkau,” kata Wana.
Ia menambahkan, norma yang diatur dalam rancangan RUU seperti asset forfeiture dan unexplained wealth penting agar negara memiliki dasar hukum lebih kuat untuk mengejar harta yang tidak wajar dari pejabat publik.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum UNS Pujiyono Suwadi menyebut, secara internasional, praktik perampasan aset sudah lazim dilakukan dengan dua model, yakni conviction based yang mensyaratkan putusan pidana dan non-conviction based.
Dari dua model itu, Pujiono menilai, Indonesia perlu mengadopsi mekanisme non-conviction based agar bisa mengejar aset yang disembunyikan koruptor, mengingat praktik selama ini banyak harta negara tidak kembali meski ada putusan pengadilan.
Baca juga: Komisi III DPR Nilai RUU Perampasan Aset Harus Diselaraskan dengan KUHAP
RUU ini pun kata dia juga selaras dengan komitmen Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) 2003 yang mendorong negara anggota mengatur norma illicit enrichment atau kekayaan tidak wajar pejabat publik.
Ia juga mencontohkan, Singapura dan Australia berhasil meningkatkan indeks persepsi korupsi berkat penerapan perampasan aset non-conviction based.
“Namun Indonesia perlu menyesuaikan dengan budaya hukumnya agar aturan tidak menjadi dead regulation,” ujar Pujiono yang juga Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) tersebut.
Koruptor adalah seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi, yaitu penyalahgunaan kekuasaan, jabatan, atau kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian rakyat.
Fraksi PAN DPR RI Bahas Tuntutan 17+8 Bersama Organisasi Perempuan dan Elemen Mahasiswa |
![]() |
---|
Gelar Rakernas Kedua, GEMA Mathla’ul Anwar Desak DPR Sahkan RUU Perampasan Aset |
![]() |
---|
RUU Perampasan Aset Ditarget Rampung 2025, Mahfud MD: Tak Ada yang Menakutkan, yang Takut Koruptor |
![]() |
---|
RUU Perampasan Aset dan KUHAP Bakal Digarap Paralel, Komisi III DPR: Demi Cegah Abuse of Power |
![]() |
---|
PSI Banten Dukung RUU Perampasan Aset, Singgung Sudah Ada di Dalam DNA Partai |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.