Selasa, 28 Oktober 2025

Pakar Hukum Kehutanan Minta Audit Data Sawit Jadi Isu Strategis, Bukan Sekadar Administratif

Pakar soroti upaya pemerintah menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).

Penulis: Reza Deni
dok. Kementerian Kehutanan
KEBUN SAWIT ILEGAL - Kebun sawit ilegal hasil perambahan hutan negara seluas 401 hektare di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau, diratakan. Pemerintah berupaya menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) penting untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam.  

Ringkasan Berita:
  • Upaya pemerintah menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) penting untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam. 
  • Satgas PKH diketahui dibentuk untuk mengembalikan penguasaan negara atas hutan yang dikuasai secara ilegal, dengan fokus pada penertiban perambahan dan tambang ilegal. 
  • Namun, perlu kehati-hatian dan ketepatan data agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum maupun dampak negatif bagi investasi nasional.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah berupaya menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) penting untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam. 

Satgas PKH diketahui dibentuk untuk mengembalikan penguasaan negara atas hutan yang dikuasai secara ilegal, dengan fokus pada penertiban perambahan dan tambang ilegal. 

Satgas ini bekerja dengan pendekatan hukum tegas, operasi gabungan lintas lembaga, dan penekanan pada penguasaan kembali lahan, pemulihan ekologis, serta memastikan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat. 

Namun, menurut pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar, Sadino, perlu kehati-hatian dan ketepatan data agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum maupun dampak negatif bagi investasi nasional.

Doktor Hukum--dengan disertasi yang menyoroti tata kelola kawasan hutan dan legalitas penguasaan lahan-- itu mengutip data dari Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama PT Agrinas Palma Nusantara pada 23 September 2025 silam.

Dalam rapat tersebut, ada ketidaksesuaian antara klaim Satgas PKH dan kondisi lapangan. 

Dari total 833.413 hektare lahan yang diserahkan kepada Agrinas dalam Tahap I–III, hanya 61 persen yang tertanami sawit, sementara 39 persen sisanya merupakan lahan kosong.

Menurut Sadino, tindakan Satgas PKH menguasai kembali lahan kosong tidak sah jika didasarkan pada Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, karena pasal itu hanya berlaku untuk kebun sawit yang telah terbangun. 

"Secara hukum, lahan kosong atau semak belukar tidak bisa dikategorikan sebagai kebun yang telah terbangun. Jika Satgas tetap menggunakan pasal ini, maka terjadi error in objecto, dan menyebabkan data kebun tidak valid" ujar Sadino, Minggu (26/10/2025).

Karena itu jugalah, dia menilai data yang digunakan Satgas PKH tidak bisa dijadikan dasar langsung untuk penetapan denda.

Berdasarkan PP No. 24 Tahun 2021 dan PP No. 45 Tahun 2025 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, perhitungan denda administratif seharusnya didasarkan pada luas kebun terbangun dan status kawasan hutan. 

"Jika denda dihitung dari total lahan 100 persen padahal yang tertanami hanya 61%, maka denda itu berlebih dan cacat hukum,” kata Sadino

Sadino menambahkan, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mewajibkan setiap keputusan pemerintah didasarkan pada data yang akurat. 

"Kalau data tidak akurat tapi tetap dijadikan dasar kebijakan, itu bisa termasuk maladministrasi. Apalagi jika ketidakakuratan itu disengaja untuk mengejar target luasan atau PNBP, maka termasuk penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.

Untuk mencegah kesalahan kebijakan, Sadino mendorong penerapan verifikasi berlapis (multi-layered verification). 

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved