Pakar Hukum Kehutanan Minta Audit Data Sawit Jadi Isu Strategis, Bukan Sekadar Administratif
Pakar soroti upaya pemerintah menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Ringkasan Berita:
- Upaya pemerintah menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) penting untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam.
- Satgas PKH diketahui dibentuk untuk mengembalikan penguasaan negara atas hutan yang dikuasai secara ilegal, dengan fokus pada penertiban perambahan dan tambang ilegal.
- Namun, perlu kehati-hatian dan ketepatan data agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum maupun dampak negatif bagi investasi nasional.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah berupaya menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) penting untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam.
Satgas PKH diketahui dibentuk untuk mengembalikan penguasaan negara atas hutan yang dikuasai secara ilegal, dengan fokus pada penertiban perambahan dan tambang ilegal.
Satgas ini bekerja dengan pendekatan hukum tegas, operasi gabungan lintas lembaga, dan penekanan pada penguasaan kembali lahan, pemulihan ekologis, serta memastikan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat.
Namun, menurut pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar, Sadino, perlu kehati-hatian dan ketepatan data agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum maupun dampak negatif bagi investasi nasional.
Doktor Hukum--dengan disertasi yang menyoroti tata kelola kawasan hutan dan legalitas penguasaan lahan-- itu mengutip data dari Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama PT Agrinas Palma Nusantara pada 23 September 2025 silam.
Dalam rapat tersebut, ada ketidaksesuaian antara klaim Satgas PKH dan kondisi lapangan.
Dari total 833.413 hektare lahan yang diserahkan kepada Agrinas dalam Tahap I–III, hanya 61 persen yang tertanami sawit, sementara 39 persen sisanya merupakan lahan kosong.
Menurut Sadino, tindakan Satgas PKH menguasai kembali lahan kosong tidak sah jika didasarkan pada Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, karena pasal itu hanya berlaku untuk kebun sawit yang telah terbangun.
"Secara hukum, lahan kosong atau semak belukar tidak bisa dikategorikan sebagai kebun yang telah terbangun. Jika Satgas tetap menggunakan pasal ini, maka terjadi error in objecto, dan menyebabkan data kebun tidak valid" ujar Sadino, Minggu (26/10/2025).
Karena itu jugalah, dia menilai data yang digunakan Satgas PKH tidak bisa dijadikan dasar langsung untuk penetapan denda.
Berdasarkan PP No. 24 Tahun 2021 dan PP No. 45 Tahun 2025 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, perhitungan denda administratif seharusnya didasarkan pada luas kebun terbangun dan status kawasan hutan.
"Jika denda dihitung dari total lahan 100 persen padahal yang tertanami hanya 61%, maka denda itu berlebih dan cacat hukum,” kata Sadino
Sadino menambahkan, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mewajibkan setiap keputusan pemerintah didasarkan pada data yang akurat.
"Kalau data tidak akurat tapi tetap dijadikan dasar kebijakan, itu bisa termasuk maladministrasi. Apalagi jika ketidakakuratan itu disengaja untuk mengejar target luasan atau PNBP, maka termasuk penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Untuk mencegah kesalahan kebijakan, Sadino mendorong penerapan verifikasi berlapis (multi-layered verification).
| Peneliti UI Ingatkan Pemerintah Perlu Berhati-hati Menentukan Arah Kebijakan Energi Berbasis Sawit |
|
|---|
| Pakar Nilai Kehadiran Prabowo dalam Penyerahan Rp13 Triliun sebagai Wujud Komitmen Berantas Korupsi |
|
|---|
| Kebijakan B50 Berpotensi Matikan Industri Sawit, Pemerintah Diminta Pertimbangkan Secara Matang |
|
|---|
| Roy Suryo Sindir Jokowi: Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM Harusnya 17 Agustus, Kenapa Mundur? |
|
|---|
| Strategi Industri Tambang Jalankan Usaha yang Berdampak Positif ke Warga |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.