Sabtu, 1 November 2025

Kasus Suap Ekspor CPO

Hakim Djuyamto Dituntut 12 Tahun Penjara, Sang Istri Menangis Tersedu-sedu di Ruang Sidang

Setelah jaksa menuntut terdakwa Djuyamto dengan hukuman 12 tahun penjara. Dyah tampak menangis tersedu-sedu di persidangan

Tribunnews.com/Rahmat Nugraha
SIDANG SUAP HAKIM - Sidang kasus dugaan suap pengurusan perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) vonis lepas korporasi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (29/10/2025). Istri dari terdakwa Djuyamto yakni, Raden Ajeng Temenggung Dyah Ayu Kusumawijaya menangis suaminya dituntut 12 tahun penjara. 

"Membebankan pidana tambahan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 9,5 miliar dengan memperhitungkan aset terdakwa yang telah dilakukan penyitaan dalam penyidikan sebagaimana pembayaran uang pengganti berupa bangunan dan tanah," imbuh jaksa.

Lanjut jaksa dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti tersebut paling lama 1 bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap. Maka harta benda terdakwa dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. 

"Dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda lagi yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun," jelas jaksa.

Tuntutan tersebut serupa untuk terdakwa Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin. Namun keduanya dituntut uang pengganti lebih rendah Rp6,2 miliar.

Baca juga: Marcella Santoso Cs Didakwa Suap Hakim Rp40 Miliar di Kasus Korupsi CPO

Sementara itu hal yang memberatkan tuntutan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

"Perbuatan terdakwa telah menciderai kepercayaan masyarakat khususnya terhadap institusi lembaga peradilan. Terdakwa telah menikmati hasil tindak pidana suap," ungkap jaksa.

Sementara itu hal yang meringankan tuntutan terdakwa kooperatif dan mengakui perbuatannya. Terdakwa belum pernah dihukum.

Perbuatan para terdakwa melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sebagai informasi, tiga korporasi besar itu yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group yang sebelumnya dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 17,7 triliun di kasus persetujuan ekspor CPO atau minyak goreng.

Ketiga terdakwa korporasi dituntut membayar uang pengganti yang berbeda-beda. 

PT Wilmar Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619 atau (Rp 11,8 triliun), Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti Rp 937.558.181.691,26 atau (Rp 937,5 miliar), dan Musim Mas Group dituntut membayar uang pengganti Rp Rp 4.890.938.943.794,1 atau (Rp 4,8 triliun).

Uang pengganti itu dituntut oleh Jaksa agar dibayarkan oleh ketiga korporasi lantaran dalam kasus korupsi CPO negara mengalami kerugian sebesar Rp 17,7 triliun.

Tapi bukannya divonis bersalah, majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin justru memutus 3 terdakwa korporasi dengan vonis lepas atau ontslag pada Maret 2025 lalu.

Tak puas dengan putusan ini, Kejagung langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Baca juga: Marcella Santoso Cs Didakwa Suap Hakim Rp40 Miliar di Kasus Korupsi CPO

Sejalan dengan upaya hukum itu, Kejagung juga melakukan rangkaian penyelidikan pasca adanya vonis lepas yang diputus ketiga hakim tersebut. 

Hasilnya Kejagung menangkap tiga majelis hakim PN Jakpus tersebut dan menetapkannya sebagai tersangka kasus suap vonis lepas.

Kemudian eks Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan turut jadi tersangka.

 

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved