Sabtu, 8 November 2025

Soroti Pergeseran Sistem Demokrasi di Indonesia, Bamsoet: Kehilangan Roh Pancasila

Demokrasi Pancasila sejatinya bukan sekadar sistem pemilihan langsung, tetapi sistem yang menempatkan musyawarah sebagai inti

Editor: Content Writer
Istimewa
BERI KULIAH UMUM - Bambang Soesatyo sedang mengajar mata kuliah "Pancasila" Program Sarjana (S1) di Kampus Universitas Borobudur Jakarta, Senin (03/11/2025). 

TRIBUNNEWS.COM - Bambang Soesatyo, mengingatkan sistem demokrasi Indonesia tengah menghadapi tantangan serius akibat praktik politik transaksional dan menguatnya dominasi oligarki. Transaksi kekuasaan, politik uang, dan pembagian jabatan menjadi ciri utama praktik politik paska reformasi.

Kondisi tersebut membuat demokrasi kehilangan roh ideologisnya sebagai perwujudan demokrasi Pancasila yang berlandaskan musyawarah, kebijaksanaan, dan tanggung jawab moral pemimpin terhadap rakyat.

“Kita telah jauh bergeser dari nilai sila Keempat Pancasila, yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi yang kita jalankan sekarang sering kehilangan hikmat dan kebijaksanaan karena lebih didorong oleh kepentingan pragmatis,” ujar Bamsoet saat mengajar mata kuliah "Pancasila" Program Sarjana (S1) di Kampus Universitas Borobudur Jakarta, Senin (03/11/2025).

Ia menegaskan, demokrasi Pancasila sejatinya bukan sekadar sistem pemilihan langsung, tetapi sistem yang menempatkan musyawarah sebagai inti pengambilan keputusan, serta menjamin keseimbangan antara hak individu dan kepentingan kolektif bangsa.

Prinsip tersebut seharusnya diterjemahkan ke dalam sistem politik yang deliberatif, partisipatif, dan berbasis kebijakan publik yang rasional, bukan pada transaksi ekonomi-politik.

Namun, realitas politik yang terjadi justru menunjukkan arah sebaliknya. Biaya politik di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Baca juga: Catatan Politik Bamsoet: Langkah Awal Pemulihan Sektor Industri dan UMKM

Data KPK dan LIPI memperkirakan, biaya kampanye untuk menjadi kepala daerah bisa mencapai antara Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Sementara untuk kursi DPR RI berkisar Rp 5 miliar hingga Rp 50 miliar. 

“Biaya politik yang setinggi itu memaksa calon mencari sponsor, dan sponsor inilah yang kemudian meminta imbalan dalam bentuk proyek, proteksi, regulasi, atau jabatan. Maka lahirlah sistem yang dikendalikan oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan ekonomi dan berkuasa,” kata Bamsoet.

Anggota DPR RI ini pun menjelaskan, struktur politik yang mahal telah menjadikan demokrasi sebagai 'ladang investasi' bagi para pemodal. Rakyat hanya menjadi penonton dalam pesta demokrasi, sementara kebijakan negara ditentukan oleh mereka yang punya kekuatan finansial.

Fenomena ini memperkuat oligarki yang tumbuh subur di balik layar kekuasaan. Padahal, demokrasi Pancasila menolak segala bentuk dominasi ekonomi maupun politik yang menindas kedaulatan rakyat. 

"Demokrasi Pancasila bukan sistem yang anti modern, melainkan sistem yang menempatkan etika dan moralitas sebagai fondasi. Prinsip musyawarah dalam sila Keempat dapat diadaptasi ke dalam mekanisme demokrasi modern melalui dialog publik, forum kebijakan terbuka, hingga citizen assemblies yang melibatkan masyarakat dalam perumusan keputusan strategis," urai Bamsoet.

Lebih lanjut Bamsoet memaparkan, langkah konkret menuju demokrasi Pancasila harus dimulai dari reformasi pendanaan politik dan pembenahan internal partai. Negara perlu menanggung sebagian biaya operasional partai politik agar tidak bergantung pada konglomerat atau kelompok bisnis.

Baca juga: Bamsoet Dorong Pemerintah Jaga Keseimbangan antara Efisiensi dan Demokrasi

Di sisi lain, partai politik harus diwajibkan melakukan kaderisasi secara terbuka dan transparan, serta membangun program politik berbasis kepentingan rakyat, bukan kepentingan pemodal.

Selain itu, penting pula menjaga independensi partai politik. Idealnya pengurus partai politik tidak seharusnya menjadi menteri atau pejabat eksekutif. Ketika seseorang yang menjadi pengurus partai politik duduk di kabinet dia harus monoloyalitas ke Presiden tidak lagi ke partai.

Jika dia tetap merangkap pengurus partai, maka garis batas antara partai dan pemerintah menjadi kabur. Bisa jadi, loyalitas yang bersangkutan tetap ke partai dimana mereka berasal dan bukan kepada Presiden. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved