Kasus Suap Ekspor CPO
Hakim Agam Syarif Berharap Divonis Ringan dalam Kasus Suap CPO, Sebut Diri Sapu Kotor
Hakim nonaktif Agam Syarif Baharuddin berharap majelis hakim memberikan vonis ringan terhadap dirinya.
Ringkasan Berita:
- Minta divonis ringan dengan alasan usia
- Minta pertimbangkan rasa kemanusiaan
- Berharap sapu kotor bisa membersihkan dirinya
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim nonaktif Agam Syarif Baharuddin berharap majelis hakim memberikan vonis ringan terhadap dirinya.
Agam Syarif merupakan terdakwa kasus suap vonis bebas korporasi dalam korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Kuasa hukum Agam, Dali Munthe saat membacakan pembelaan mengatakan kliennya saat ini sudah berusia 56 tahun.
Agam dituntut 12 tahun penjara dan ancaman pidana tambahan 5 tahun penjara jika tidak dapat membayar uang pengganti senilai Rp 6,2 miliar.
Melihat ancaman hukuman tersebut, Dali Munthe mengatakan tidak akan berdampak baik bagi kesehatan kliennya.
Baca juga: Marcella Cs Minta Dibebaskan dari Dakwaan Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO
“Terdakwa sudah berusia 56 tahun yang rentan terhadap penyakit,” kata Dali Munthe dalam sidang pleidoi di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).
Dali Munthe pun memberikan pendapat, hukuman merupakan alat untuk merehabilitasi pelaku pidana agar kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
Baca juga: Eks Wakil Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta Dituntut 15 Tahun Penjara Terkait Suap Vonis Lepas CPO
“Seharusnya terdakwa dihukum dengan pidana penjara ringan sebagai alat rehabilitasi agar sembuh dan kembali dalam kehidupan bermasyarakat, bukan malah membiarkan terdakwa hidup selamanya di penjara,” ucap dia.
Ia pun berpendapat ancaman hukuman 17 tahun penjara yang diberikan jaksa penuntut umum seakan menjadi ajang balas dendam.
“Karena itu, kami memohon putusan yang adil dan mengandung rasa kemanusiaan bagi terdakwa,” katanya.
Perumpamaan Sapu Kotor
Dalam kesempatan tersebut Agam Syarif Baharudin pun memberikan perumpamaan tentang sapu kotor.
"Ini semacam auto kritik buat diri saya dan untuk kita semua. Saya ingat dulu kuliah ilmu negara, ada ungkapan begini, sapu itu kotor tapi bisa membersihkan," kata Agam.
Ia lantas menyebut beberapa bulan lalu dirinya sebagai 'sapu' yang kotor, tapi masih bisa dibersihkan.
"Saya beberapa bulan yang lalu adalah sapu yang kotor, tapi saya bisa membersihkan," ucapnya.
Lanjut dia, di luar sana masih banyak sapu yang kotor.
"Saya berharap semoga, sapu yang kotor itu bisa membersihkan dirinya atau dibersihkan atau diganti oleh sapu-sapu yang bersih," ucapnya.
Awal Mula Suap Hakim
Peristiwa berawal dari tiga korporasi besar yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group divonis lepas Djuyamto Cs.
Padahal tiga korporasi tersebut dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 17,7 triliun di kasus persetujuan ekspor CPO atau minyak goreng.
Ketiga terdakwa korporasi dituntut membayar uang pengganti berbeda-beda.
- PT Wilmar Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619 atau (Rp 11,8 triliun)
- Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti Rp 937.558.181.691,26 atau (Rp 937,5 miliar)
- Musim Mas Group dituntut membayar uang pengganti Rp 4.890.938.943.794,1 atau (Rp 4,8 triliun)
Uang pengganti itu dituntut Jaksa agar dibayarkan ketiga korporasi lantaran dalam kasus korupsi CPO negara mengalami kerugian sebesar Rp 17,7 triliun.
Tapi bukannya divonis bersalah, majelis hakim Pengadilan Negeri jakarta Pusat yang terdiri dari Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin justru memutus 3 terdakwa korporasi dengan vonis lepas atau ontslag pada Maret 2025.
Tak puas dengan putusan ini, Kejagung langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Sejalan dengan upaya hukum itu, Kejagung juga melakukan rangkaian penyelidikan pasca adanya vonis lepas yang diputus ketiga hakim tersebut.
Hasilnya Kejagung menangkap tiga majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut dan menetapkannya sebagai tersangka kasus suap vonis lepas.
Kemudian eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan turut jadi tersangka.
Dalam kasus ini, jaksa mendakwa lima hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dengan total nilai mencapai Rp 40 miliar.
Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
Kemudian, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.