Gelar Pahlawan Nasional
Putri Gus Dur Anita Wahid: Diktator dan Pahlawan Tak Bisa Disematkan Pada Sosok yang Sama
Anita Wahid menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ungkap masa kecil kerap terima telepon ancman.
Ringkasan Berita:
- Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berpotensi menghapus memori kejahatan masa lalu
- Kenang masa kecil di era Orde Baru penuh tekanan
- Penghargaan pahlawan seharusnya diberikan bukan karena jabatan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivis Jaringan Gusdurian, Anita Wahid menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto.
Anita menilai, gelar pahlawan tidak dapat disematkan kepada sosok yang meninggalkan jejak panjang pelanggaran hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan represi politik.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi ‘Pahlawan atau Pelanggar? Bongkar Warisan Kelam Soeharto‘ di kawasan Blok M, Jakarta, Sabtu (8/11/2025).
“Kalau kita melihat tiga hal ini, maka sebenarnya ada satu kata yang lebih dekat ke situ dibandingkan pahlawan, yaitu diktator. Diktator dan pahlawan itu enggak bisa disematkan pada satu orang yang sama. Enggak matching,” kata Anita Wahid.
Menurut putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto justru berpotensi menghapus memori kolektif bangsa terhadap kejahatan masa lalu.
Baca juga: Terkait Gelar Pahlawan Nasional, Soeharto dan Gus Dur Disebut Punya Jasa Besar bagi Petani
Apalagi, selama ini melekat bahwa rezim Orde Baru menjalankan pemerintahan dengan gaya otoritarianisme.
“Itu bahaya banget karena akan mengubah semua memori kolektif kita terhadap kejahatan-kejahatan masa lalu,” ujarnya.
Kenang Hidup Penuh Tekanan
Anita mengenang masa kecilnya di era Orde Baru yang penuh tekanan dan intimidasi terhadap keluarga Gus Dur.
Dia mengisahkan bagaimana dirinya saat masih duduk di bangku sekolah menengah, kerap menerima ancaman melalui sambungan telepon rumah.
Baca juga: Menyorot Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto dan Gus Dur
“Setiap sore antara pukul 15.00 sampai 17.00, selalu ada telepon ke rumah. Begitu aku angkat, suara laki-laki di seberang bilang keras banget, ‘Heh! Bilang sama bapakmu, suruh dia diam! Kalau dia enggak diam, nanti saya kirim kado gede, isinya kepala bapakmu’,” ungkap Anita.
Ancaman itu, kata dia, berlangsung hampir setiap hari ketika Gus Dur masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU dan berselisih dengan penguasa kala itu.
“Bayangin diterima oleh anak umur 12–13 tahun. Itu trauma banget. Tapi lama-lama aku sama adikku malah ngelawakin aja, karena mau gimana lagi,” ujar Anita.
Meski mencoba menertawakan, pengalaman itu meninggalkan bekas mendalam baginya serta keluarga.
“Enggak ada anak di negara ini yang seharusnya diperlakukan seperti itu,” ucapnya.
Dia juga mengingat masa di mana keluarganya kerap diingatkan Gus Dur untuk bersiap jika sewaktu-waktu harus melarikan diri keluar negeri karena ancaman keselamatan.
“Bapak sering bilang, ‘Kita siap-siap ya untuk kabur. Enggak usah bawa apa-apa, yang di badan aja.’ Padahal Bapak kan orangnya santai banget. Kalau sampai ngomong seserius itu, berarti situasinya memang genting banget,” ungkap dia.
Dia pun menegaskan, bangsa Indonesia kerap memaafkan pelaku pelanggaran masa lalu tanpa menegakkan akuntabilitas.
Padahal, kedua hal itu harus berjalan beriringan agar kesalahan serupa tidak terulang.
“Akuntabilitas itu penting, karena dari situlah kita belajar mana yang boleh dan tidak boleh terjadi lagi di negara ini,” ujarnya.
Dia juga mengingatkan, warisan otoritarianisme Soeharto telah merusak institusi demokrasi dan membungkam kebebasan publik, termasuk pers dan aktivis.
“Zaman itu, kita bahkan enggak berani ngomong ke teman sendiri, apalagi mempertanyakan apa yang terjadi di negara ini. Semua orang bisa saling lapor demi keselamatannya,” kata Anita.
Tak Pernah Berjuang Demi Penghargaan
Anita juga menyinggung bahwa ayahnya, Gus Dur, tidak pernah berjuang demi penghargaan atau gelar apa pun.
“Gus Dur enggak pernah dikenal karena beliau presiden. Tapi karena he was standing with the people, berdiri bersama rakyat, membela rakyatnya. Itu yang membuat beliau dicintai,” ujar Anita.
Dia menilai, penghargaan pahlawan seharusnya diberikan bukan karena jabatan, melainkan karena jasa nyata bagi kemanusiaan dan bangsa.
“Tapi coba tanya, berapa dari kita yang bisa bilang mau meneruskan apa yang Soeharto lakukan tanpa ada agenda memperkaya diri?” ucapnya.
Soeharto masuk dalam daftar 49 nama yang diajukan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) untuk menerima gelar Pahlawan Nasional.
Dari jumlah itu, ada 24 nama diprioritaskan untuk disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Jumlah akhir penerima gelar pahlawan nasional akan ditetapkan Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) jelang peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025.
Pengumuman nama-nama pahlawan nasional kemungkinan akan disampaikan pada Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.