Gelar Pahlawan Nasional
Politisi Muda Golkar Minta Publik Objektif dan Proporsional Respons Gelar Pahlawan untuk Soeharto
M. Fauzan Irvan menekankan dalam menilai tokoh bangsa, masyarakat perlu memisahkan antara kesalahan manusiawi dengan kontribusi kepada negara.
Ringkasan Berita:
- Politisi muda Golkar M. Fauzan Irvan menilai Soeharto layak mendapat gelar Pahlawan Nasional karena kontribusinya besar dalam menjaga keutuhan NKRI dan membangun fondasi pembangunan nasional.
- Fauzan menegaskan Partai Golkar tetap relevan dan demokratis.
- Ia menyerukan agar publik menilai pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto secara objektif.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Politisi muda Partai Golkar Jakarta, M. Fauzan Irvan, angkat bicara terkait polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.
Dalam pandangannya, Soeharto memiliki jasa besar bagi bangsa Indonesia, baik sebagai prajurit TNI maupun sebagai kepala negara yang memimpin pada masa transisi pasca-Orde Lama.
Pernyataan itu disampaikan Fauzan dalam Dialog Nasional bertema “Layakkah Soeharto Mendapat Gelar Pahlawan Nasional”, yang digelar di Pejaten, Jakarta Barat, Selasa (11/11/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional 2025.
Menurut Fauzan, perdebatan mengenai layak tidaknya Soeharto memperoleh gelar Pahlawan Nasional sebaiknya dilihat secara objektif dan proporsional, dengan mempertimbangkan kontribusi historis dan jasa yang telah diberikan semasa hidupnya.
“Setiap pemimpin pasti punya kelebihan dan kekurangan. Tidak ada yang sempurna, bahkan dalam konteks sejarah bangsa, Soeharto memiliki peran penting yang tidak bisa dihapuskan begitu saja,” ujar Fauzan.
Baca juga: Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Pro dan Kontra Menggema di Dunia Maya
Dalam kesempatan itu, Fauzan juga menyinggung posisi Partai Golkar yang kerap dilekatkan dengan masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Ia menegaskan bahwa meski sering dikaitkan dengan rezim otoriter, hingga kini Partai Golkar tetap menjadi salah satu partai paling relevan dan demokratis di Indonesia.
“Fakta di lapangan menunjukkan, sejak reformasi hingga hari ini, Golkar tetap eksis. Bahkan, selalu berada di posisi satu atau dua dalam elektabilitas nasional. Itu artinya, masyarakat masih menaruh kepercayaan dan kecintaan terhadap Partai Golkar,” ungkapnya.
Fauzan menilai, keberlangsungan dan daya tahan Golkar dalam kancah politik nasional menunjukkan bahwa partai tersebut mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Ia mencontohkan banyaknya kader muda yang kini mendapat posisi penting di pemerintahan.
“Lihat saja, banyak menteri muda yang berasal dari Golkar. Bahkan ada yang baru berusia 32 tahun. Ini bukti nyata bahwa Golkar memberi ruang bagi generasi muda untuk berperan aktif,” katanya.
Menurutnya, Golkar adalah partai yang terbuka dan demokratis karena tidak menganut sistem politik berbasis keluarga atau dinasti. Siapa pun, tanpa melihat latar belakang, bisa berkembang di partai tersebut selama memiliki kemampuan dan komitmen.
“Golkar itu partai yang mengakomodasi semua latar belakang. Dari Papua sampai Aceh, dari anak pejabat sampai rakyat biasa, semua bisa tumbuh di partai ini. Tidak ada sentralisasi keluarga,” ujarnya.
Terkait dengan Soeharto, Fauzan menekankan bahwa dalam menilai seorang tokoh bangsa, masyarakat perlu memisahkan antara kesalahan manusiawi dengan kontribusi besar yang diberikan kepada negara.
Ia menyebut, Soeharto tidak bisa dilepaskan dari peran pentingnya dalam sejarah Indonesia, terutama dalam menjaga keutuhan NKRI.
“Soeharto adalah prajurit terbaik yang pernah dimiliki TNI. Ia berperan penting dalam operasi Trikora yang membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda,” ujar Fauzan.
Selain itu, Soeharto juga dianggap berperan sentral dalam penumpasan pemberontakan G30S/PKI dan memulihkan stabilitas nasional pada masa yang penuh gejolak. Menurut Fauzan, tanpa langkah tegas yang diambil Soeharto saat itu, ideologi komunis mungkin masih mengancam dasar negara Pancasila hingga kini.
“Kalau tidak ada tindakan dari Soeharto dalam peristiwa G30S/PKI, mungkin hari ini kita tidak lagi mengenal Pancasila sebagai ideologi bangsa. Ini fakta sejarah,” tegasnya.
Fauzan juga menyoroti bahwa selama memimpin, Soeharto berhasil membangun fondasi ekonomi dan infrastruktur nasional yang kuat, sekaligus menumbuhkan semangat stabilitas pembangunan di berbagai sektor.
“Kita tidak menutup mata bahwa ada pelanggaran atau kesalahan, tapi kontribusi dan hasil nyata pembangunan di masa itu tidak bisa dihapuskan. Banyak generasi yang menikmati hasilnya hingga sekarang,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Fauzan menjelaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional bukanlah keputusan sepihak, melainkan melalui proses panjang dan berlapis. Proses tersebut melibatkan pemerintah daerah, akademisi, tokoh masyarakat, hingga kementerian terkait.
“Sebelum keputusan sampai ke presiden, ada tim peneliti, akademisi, dan tokoh masyarakat yang mengkaji secara mendalam. Jadi tidak mungkin seseorang langsung ditetapkan tanpa prosedur,” jelasnya.
Menurut Fauzan, jika semua prosedur telah dilalui dan rekomendasi diberikan secara resmi, maka penolakan terhadap hasil tersebut justru dapat dianggap menentang proses demokrasi yang sah.
“Kalau sudah melalui mekanisme formal dan riset yang melibatkan banyak pihak, maka keputusan itu seharusnya dihormati. Menolak hasil kajian akademik dan administratif berarti menolak proses demokratis yang sudah dijalankan,” katanya.
Ia mencontohkan proses serupa yang juga tengah diperjuangkan untuk Sultan Hamid II, perancang lambang negara Garuda Pancasila, yang hingga kini masih dalam kajian untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional.
Lebih lanjut, Fauzan mengajak masyarakat untuk lebih objektif dalam menilai jasa para tokoh bangsa. Menurutnya, setiap pemimpin memiliki sisi baik dan buruk, namun yang terpenting adalah warisan perjuangan dan kontribusi bagi kemajuan negara.
“Kita tidak sedang membicarakan dosa pribadi, tapi kontribusi terhadap negara. Soeharto adalah bagian dari sejarah panjang bangsa ini. Ia punya andil besar dalam menjaga keutuhan Indonesia,” pungkasnya.
Fauzan berharap, perdebatan mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak dijadikan alat politik atau sentimen masa lalu, melainkan dijadikan refleksi untuk menilai secara adil jasa para tokoh dalam membangun bangsa.(Wahyu Aji)
Gelar Pahlawan Nasional
| Wakil Ketua Umum NasDem Minta Publik Legawa Terima Kenyataan Soeharto jadi Pahlawan Nasional |
|---|
| Komnas HAM Keberatan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Melukai Korban dan Keluarga Pelanggaran HAM |
|---|
| Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Mengenang Jasa ‘The Smiling General’ |
|---|
| Meski Banyak Pertentangan, Pengamat Nilai Kecil Kemungkinan Gelar Pahlawan Nasional Soeharto Dicabut |
|---|
| Pimpinan Ponpes Buntet Harap Gelar Pahlawan Nasional Jadi Berkah bagi Indonesia |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.