Jumat, 14 November 2025
Tujuan Terkait

Gelar Pahlawan Nasional

Getir Hidup Anak Korban Tanjung Priok 1984: Beasiswa Hangus, PNS Ditolak karena Nama ‘Biki'

Stigma nama Biki merenggut beasiswa, karier, dan ketenangan. Lia Biki masih dihantui luka peristiwa Tanjung Priok 1984.

|
TRIBUNNEWS/IMANUEL NICOLAS MANAFE
PERISTIWA TANJUNG PRIOK - Nur Dahlia Biki, anak dari tokoh masyarakat dan aktivis Islam H. Muhammad Amir Biki diwawancarai secara eksklusif dengan Tribun Network di kediamannya di kawasan Kebon Bawang, Tanjung Priok, Selasa (11/11/2025). Nur Dahlia mengisahkan tentang bagaimana kehidupan keluarganya pascagugurnya sang ayah oleh aparat di era Rezim Orde Baru dalam Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984. TRIBUNNEWS/IMANUEL NICOLAS MANAFE 

Ringkasan Berita:
  • Nama “Biki” jadi stigma, beasiswa pupus, karier pemerintahan digembok, hidup penuh diskriminasi.
  • Lia Biki, anak Amir Biki, masih merasakan teror dan trauma puluhan tahun pasca tragedi.
  • Proses hukum pasca-Reformasi berakhir mengecewakan, keluarga korban terus mencari keadilan yang tak kunjung datang.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kerudung hitam dan batik cokelat menutupi tubuh Lia Biki saat menyambut tamu di rumah peninggalan ayahnya di bilangan Jalan Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa siang (11/11/2025).

Senyumnya ramah, namun perlahan memudar ketika ia mulai bercerita tentang getir hidup yang dialami sejak sang ayah, Amir Biki, tewas dalam peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984.

Kisah itu bukan hanya merenggut nyawa Amir Biki, tetapi juga meninggalkan stigma panjang bagi keluarganya.

Luka Lia hanya bisa dimengerti bila kita kembali menapaki jejak kerusuhan yang menggores sejarah kelam Orde Baru.

Nur Dahlia Biki, atau Lia Biki, kini berusia 48 tahun. Anak kedua dari pasangan Amir Biki dan Hj. Dewi Wardah ini tumbuh dengan bayang-bayang tragedi yang menewaskan sang ayah.

Sejak kecil ia sudah merasakan stigma sosial yang melekat pada nama keluarganya, dan hingga dewasa pengalaman getir itu terus membentuk jalan hidupnya.

Jejak Darah yang Tak Terhapus

Kerusuhan Tanjung Priok pada 12 September 1984 menjadi salah satu babak kelam dalam sejarah politik Indonesia di era Presiden Soeharto. Menurut catatan Komnas HAM, sedikitnya 79 orang menjadi korban: 55 orang terluka dan 23 lainnya tewas.

Ketegangan bermula dari insiden di Musala Assa’addah, Koja, Jakarta Utara, ketika pamflet berisi kritik terhadap kebijakan Orde Baru ditempel di dinding musala.

Seorang Babinsa bernama Sersan Hermanu meminta agar pamflet itu dicopot.

Namun, tindakan Hermanu yang masuk ke musala tanpa melepas sepatu lars dan mengacungkan pistol membuat warga marah. Sepeda motor Hermanu dibakar massa, dan aparat Kodim 0502 Jakarta Utara menangkap empat orang.

Atas penangkapan itu, Amir Biki dipercaya warga untuk memperjuangkan pembebasan mereka. Sebagai pemimpin Forum Studi dan Komunikasi 66, ia mendatangi Kodim 0502.

Namun, usahanya sia-sia. Penolakan aparat membuat kekecewaan warga semakin besar, dan dukungan terhadap Amir pun menguat.

“Almarhum itu kan dulu salah satu tokoh di Tanjung Priok. Jadi di Priok ini kan multietnis, banyak sekali kalau misalnya ada masalah suku A dengan suku B, datangnya ke sini. Atau ada masalah apapun lah gitu ke sini, jadi memang salah satu tokoh di Tanjung Priok,” kenang Lia Biki.

Baca juga: Mengintip Rumah Cendana: Tempat Soeharto Dulu Berkumpul, Kini Ditinggal Anak-anaknya

Pada malam 12 September 1984, Amir bersama tokoh lain menggelar ceramah yang menyinggung penangkapan empat warga dan kebijakan pemerintah terhadap kelompok Islam. Ribuan orang berkumpul, berharap ada jawaban atas tuntutan mereka.

Versi aparat, seperti disampaikan Panglima Kodam Jaya Mayjen TNI Try Sutrisno dan Panglima ABRI sekaligus Panglima Kopkamtib Jenderal TNI L.B. Moerdani, menyebut demonstran membawa senjata tajam dan bensin sehingga tembakan peringatan dilepaskan.

Halaman 1/3

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved