Sabtu, 22 November 2025

Koalisi Masyarakat Desak Prabowo Tunda Pelaksanaan UU KUHAP

Presiden Prabowo Subianto didesak untuk menunda pelaksanaan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan DPR.

Tribun Jabar/Gani Kurniawan
TOLAK KUHAP - Ratusan mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Unisba (KBMU) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Rabu (19/11/2025). Dalam aksinya, mereka menyuarakan penolakan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai disahkan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. 

Ringkasan Berita:
  • Minta Prabowo terbitkan Perppu tentang penundaan pemberlakuan KUHAP
  • KUHAP baru membuka ruang penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum
  • Prediksi pelaksanaan KUHAP pada 2 Januari 2026 tidak dapat terkontrol

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menunda pelaksanaan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan DPR RI.

Pengesahan UU KUHP dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa 18 November 2025.

“Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto harus menunda pelaksanaan KUHAP baru yang telah disahkan,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya selaku bagian dari koalisi, dalam keterangannya, Kamis (20/11/2025).

Pihak koalisi juga meminta agar Prabowo mengatur masa transisi minimal satu tahun sejak disahkan UU KUHAP dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu tentang penundaan pemberlakuan KUHAP.

Dimas menjelaskan, perubahan KUHAP menyuburkan praktik-praktik koruptif dan melanggengkan ketiadaan judicial scrutiny yang substansial untuk seluruh upaya paksa yang merenggut HAM warga negara.

Baca juga: Usai Pengesahan KUHAP, Komisi III DPR Segera Bahas RUU Penyesuaian Pidana

Buka Ruang Penyalahgunaan

Koalisi menilai sejumlah ketentuan dalam draf RUU KUHAP per 18 November 2025 membuka ruang penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum. 

Mereka menyoroti aturan penyadapan dalam Pasal 136 ayat (2) yang memberi kewenangan luas kepada penyidik tanpa batasan jenis tindak pidana maupun mekanisme pengamanan.

Termasuk ketiadaan penegasan bahwa penyadapan belum dapat dilakukan sebelum lahirnya UU Penyadapan. 

Selain itu, ketentuan pemblokiran rekening dan data elektronik dalam Pasal 140 ayat (2) juga mendapat kritik.

Baca juga: DPR Harus Minta Maaf, BEM Undip Layangkan Somasi 3x24 Jam Imbas Pencatutan Dukung RUU KUHAP

Pasal tersebut memungkinkan tindakan tanpa izin hakim, cukup berdasar “penilaian penyidik”, yang dianggap sangat subjektif dan rawan disalahgunakan.

Kekhawatiran serupa muncul pada aturan penyitaan dalam Pasal 44 yang memperbolehkan penyitaan benda bergerak tanpa izin pengadilan dengan alasan “kondisi mendesak” yang tidak memiliki parameter objektif. 

Mekanisme penangkapan dan penahanan juga dinilai tidak berubah secara fundamental dari KUHAP 1981.

Sekaligus memuat alasan penahanan baru yang subjektif seperti “memberikan informasi tidak sesuai fakta”. 

Koalisi turut mengkritik inkonsistensi pengaturan teknik investigasi khusus dalam Pasal 16 KUHAP, ketidakjelasan mekanisme restorative justice pada tahap penyelidikan, serta perluasan kewenangan Polri sebagai penyidik utama yang dinilai dapat mengurangi independensi PPNS dan penyidik tertentu. 

“Oleh karena betapa sulit dan teknis sekali pembahasan RUU KUHAP, termasuk bahkan bagi aparat penegak hukum sendiri juga belum tentu memiliki pemahaman yang jelas soal RUU KUHAP ini,” kata Dimas.

“Maka sangat besar kemungkinan pelaksanaan RUU KUHAP ini mulai pada 2 Januari 2026 tidak dapat terkontrol dengan baik di berbagai wilayah cakupan negara Indonesia yang sangat luas,” pungkasnya.

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved