Jumat, 21 November 2025

Revisi UU TNI

Sosok 2 Advokat Perempuan Gabung Tim Gugat UU TNI ke MK, Persoalkan Tentara Rangkap Jabatan Sipil

Ada 2 tambahan pemohon yang ikut menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi, menguji materi aturan tentara rangkap jabatan sipil

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
SIDANG UU TNI - Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kiri) bersama Hakim Anggota Arief Hidayat (tengah) dan Daniel Yusmic (kanan) memimpin sidang lanjutan uji formil dan materi Undang-Undang Nomor 3 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) Tahun 2025 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (23/6/2025). Ada 2 tambahan pemohon yang ikut menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi, menguji materi aturan tentara rangkap jabatan sipil 
Ringkasan Berita:
  • Ada 2 tambahan pemohon yang ikut menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi
  • Keduanya ingin MK menguji materi aturan tentara rangkap jabatan sipil
  • Bertambahnya dua advokat ini semakin memperkuat kualifikasi gugatan terhadap UU TNI yang dinilai menimbulkan ambiguitas itu

 

TRIBUNNEWS.COM - Dua advokat perempuan, Marina Ria Aritonang dan Yosephine Chrisan Eclesia Tamba, resmi bergabung dalam tim kuasa hukum yang mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Keduanya tercantum sebagai bagian dari tim hukum dalam permohonan terbaru yang didaftarkan para pemohon, sebagaimana terekam dalam laman MK.

Kehadiran dua sosok advokat ini menambah perhatian publik, terutama karena keduanya datang dari latar profesional yang berbeda namun sama-sama aktif mengadvokasi isu pelayanan publik, ketenagakerjaan, hingga tata kelola lembaga negara.

Otomatis dengan perkara yang terdaftar dengan nomor 209/PUU-XXIII/2025, keduanya bergabung dengan dua pemohon sebelumnya yakni Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara Louk Fanggi.

Marina Ria Aritonang

Dalam dokumen resmi dan profil profesionalnya, Marina Ria Aritonang, S.E., S.H., M.H., tercatat sebagai advokat yang tergabung di bawah organisasi profesi advokat serta aktif menangani perkara publik.

Profil LinkedIn Marina menampilkan gelar akademik ganda, yaitu Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum, dan Magister Hukum.

Riwayat pendidikan magister ditempuh di Universitas Bina Bangsa.

Ia juga mengelola halaman Facebook profesional “Law Ria Aritonang,” yang menampilkan aktivitasnya sebagai penasihat hukum pada sejumlah klien dan lembaga.

Pada permohonan uji materi UU TNI, Marina tercatat sebagai salah satu kuasa hukum yang mendampingi pemohon.

Keterlibatannya menegaskan posisi advokat perempuan dalam isu strategis yang berkaitan dengan tata kelola institusi pertahanan dan relasi sipil–militer.

Baca juga: Hakim MK Asrul Sani Ingin Tahu Alasan Pemohon Gugat UU TNI, Syamsul Tetap Ngotot

Yosephine Chrisan Eclesia Tamba

Nama Yosephine Chrisan Eclesia Tamba juga tercantum dalam berkas yang disampaikan kepada MK.

Dokumen perkara lain yang dapat diakses publik menunjukkan bahwa Yosephine memiliki rekam jejak panjang pernah aktif di organisasi profesi awak kabin penerbangan, termasuk keterlibatan dalam isu ketenagakerjaan.

Di luar itu, profil Instagram publik @yosephine_ecclesia menampilkan aktivitas profesional serta keterlibatannya dalam kampanye sosial.

Dalam unggahan LinkedIn yang dapat diakses publik, Yosephine menyebut pernah menempuh pendidikan hukum melalui Universitas Terbuka.

Ia memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Brawijaya, Malang.

Profil profesional Yosephine juga ditemukan pada direktori LinkedIn law practice, mengindikasikan kiprahnya di sektor jasa hukum yang semakin formal.

Ia tergabung dalam Khatulistiwa Law Firm.

Dengan kehadirannya dalam tim penggugat UU TNI, Yosephine menambah warna perspektif dari sisi advokasi publik dan pengalaman dalam isu tenaga kerja.

Pengujian UU TNI yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan sejumlah pasal yang dianggap memiliki potensi tumpang tindih dengan prinsip supremasi sipil dan pembagian kewenangan antar-lembaga negara.

Dalam siaran pers MK, keduanya disebut sebagai bagian dari kuasa hukum yang mendampingi pemohon sejak awal proses.

Keterlibatan dua advokat perempuan ini memperlihatkan bahwa isu pertahanan tidak lagi dipandang eksklusif, melainkan membuka ruang partisipasi lebih luas dari berbagai kalangan profesional hukum.

Adapun dalam sidang perbaikan pendahuluan pada Kamis (20/11/2025),  Syamsul menyatakan dua pemohon tambahan tersebut telah memenuhi kualifikasi untuk mengajukan uji materi UU TNI terhadap UUD 1945.

Baca juga: Sidang Perdana Uji Materi UU TNI Hari Ini, Poin-poin yang Digugat

Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang diuji berbunyi bahwa prajurit dapat menjabat di kementerian atau lembaga yang mengurusi koordinasi politik dan keamanan, pertahanan, kesekretariatan presiden dan militer presiden, intelijen negara, siber maupun sandi negara, lembaga ketahanan nasional, SAR nasional, narkotika nasional, pengelolaan perbatasan, kelautan dan perikanan, penanggulangan bencana, pemberantasan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan RI, dan Mahkamah Agung.

Syamsul menjelaskan bahwa ketentuan tersebut memberikan ruang kewenangan yang sangat luas kepada anggota TNI dan berpotensi berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia, terutama bagi masyarakat di Papua yang berada dalam wilayah NKRI.

"Menurut kami, norma pada ayat (2) pasal tersebut juga tidak tegas, sehingga menimbulkan ambiguitas terkait larangan, pengecualian, maupun batasannya," tegasnya.

Para Pemohon mempersoalkan Pasal 47 ayat (1) karena membuka opsi bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil tertentu tanpa perlu mengundurkan diri ataupun pensiun terlebih dahulu dari dinas keprajuritan.

SYAMSUL JAHIDIN - Pengacara konstitusional, Syamsul Jahidin penggugat pensiunan seumur hidup anggota DPR.
SYAMSUL JAHIDIN - Pengacara konstitusional, Syamsul Jahidin penggugat pensiunan seumur hidup anggota DPR. (Istimewa)

Syamsul menekankan bahwa masalah konstitusional muncul karena pasal tersebut tidak secara jelas membedakan lembaga yang berada dalam ranah pertahanan negara dengan institusi sipil administratif.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Jumat (7/11/2025) di ruang sidang MK, Syamsul menyampaikan bahwa berlakunya ketentuan ini justru bertentangan dengan kebijakan negara yang mendorong perluasan kesempatan kerja bagi seluruh warga negara.

Ia menyebut masyarakat sipil, termasuk para Pemohon, kini menghadapi meningkatnya angka pengangguran, PHK, serta kesulitan memperoleh pekerjaan layak, sementara prajurit TNI diberikan peluang mengisi posisi sipil tanpa prosedur yang sama seperti warga lainnya.

Menurut Para Pemohon, situasi tersebut tidak hanya mengganggu tata kelola ketenagakerjaan nasional, tetapi juga berpotensi memperbesar jumlah pengangguran baru, termasuk para lulusan perguruan tinggi.

Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip kesetaraan di depan hukum dan mencerminkan ketidakmampuan negara memenuhi mandat konstitusi bagi warganya.

Mereka menegaskan bahwa pemberian akses bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme yang transparan dan berbasis merit membuka peluang penyalahgunaan wewenang, melemahkan demokrasi, serta menggerus prinsip supremasi sipil.

Keberadaan prajurit aktif dalam birokrasi sipil juga dinilai dapat menimbulkan konflik kepentingan karena masih terikat pada struktur komando militer yang tidak sejalan dengan prinsip akuntabilitas layanan publik.

Ketentuan tersebut, lanjut Para Pemohon, dapat menurunkan netralitas birokrasi dan menghambat reformasi tata kelola pemerintahan.

Di sisi lain, pemberian keistimewaan kepada prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa prosedur setara dengan warga sipil berpotensi menimbulkan perlakuan diskriminatif dalam sistem ketatanegaraan.

Dalam petitum, para pemohon meminta MK menyatakan bahwa Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Alternatif lain, mereka memohon agar pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yakni berlaku hanya jika dimaknai bahwa prajurit boleh menduduki jabatan yang benar-benar berada dalam ranah keamanan dan pertahanan negara seperti Dewan Pertahanan Nasional, intelijen, siber dan sandi negara, lembaga ketahanan nasional, SAR, pengelola perbatasan, penanganan bencana, penanggulangan terorisme, Kejaksaan RI, dan Mahkamah Agung.

Sidang ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra bersama Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.

Menjelang penutupan sidang, Saldi menjelaskan bahwa Majelis Panel akan membawa permohonan tersebut ke Rapat Permusyawaratan Hakim.

“Nanti sembilan Hakim Konstitusi, sedikitnya tujuh di antaranya, akan menentukan apakah perkara ini perlu dilanjutkan ke tahap pembuktian atau diputus tanpa pembuktian. Semua aspek akan dipertimbangkan oleh Mahkamah,” ujar Saldi.

Baca juga: Lagi-lagi UU TNI Digugat ke MK, Syamsul Soroti Penempatan Militer di Jabatan Sipil

(Tribunnews.com/ Chrysnha)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved