Sabtu, 16 Agustus 2025

Diskualifikasi Massal Pilkada Barito Utara, Komisi II DPR Duga Ada Pembiaran Bawaslu

Dede Yusuf kritik diskualifikasi Pilkada Barito Utara, sebut ada pembiaran politik uang dan lemahnya pengawasan Bawaslu.

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Glery Lazuardi
Tribunnews.com/Chaerul Umam
RUU POLITIK - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menyoroti kasus diskualifikasi massal Pilkada Barito Utara sebagai krisis demokrasi lokal. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendiskualifikasi seluruh pasangan calon dalam Pilkada Barito Utara sebagai sinyal kuat adanya persoalan serius dalam penyelenggaraan Pilkada di daerah.

“Jelas bagi kami sangat memperihatinkan, di mana MK dalam putusannya memerintahkan agar dilaksanakan pemilihan suara ulang atau PSU dan mendiskualifikasi dua pasangan di Barito Utara. Padahal kita pahami, ketersediaan anggaran negara dan daerah sangat terbatas,” kata Dede saat dikonfirmasi, Kamis (15/5/2025).

Baca juga: Habib Rizieq Singgung Ormas Preman, Dede Yusuf: Pemerintah Bisa Tinjau Ulang Izinnya

Dede menyebut secara regulasi, Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah telah memiliki aturan yang progresif terkait praktik politik uang. Namun, ia menduga terdapat pembiaran oleh pengawas pemilu di tingkat lokal.

“Kalau dari sistem atau regulasi sudah cukup progresif di UU Pemilihan Kepala Daerah terkait politik uang. Cukup keras, di mana si pemberi dan si penerima uang dua-duanya akan diberikan sanksi pidana pemilu," jelasnya

"Dengan nilai money politics sebesar itu kemungkinan ada pembiaran dan fungsi pencegahan yang tidak dilakukan oleh penyelenggara, dalam hal ini Bawaslu,” sambungnya.

Lebih lanjut, ia menyinggung lemahnya fungsi Sentra Gakkumdu. Baginya, kinerja mereka masih belum maksimal dalam fungsi pengawasan.

 

“Komisi II akan terus mengevaluasi pelaksanaan Pilkada ini secara menyeluruh baik dari sisi penyelenggaraan, penyelenggara, dan regulasi-regulasi yang kita nilai sudah tidak efektif, contoh terkait keberadaan Sentra Gakkumdu. Kejadian di Barito Utara tidak akan terjadi apabila Sentra Gakkumdu-nya berjalan maksimal,” jelasnya.

Menurutnya, kejadian seperti di Barito Utara sangat mungkin berdampak buruk terhadap stabilitas politik lokal dan kepercayaan publik. 

“Di beberapa daerah yang kemarin melaksanakan PSU, hasil pengamatan kita banyak gelombang protes dari elemen masyarakat, dan itu semua menyebabkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara berkurang,” pungkasnya.

Baca juga: Dede Yusuf Prihatin Hasil PSU Pilkada Digugat Lagi ke MK: Ini Catatan Sangat Buruk Bagi Demokrasi

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi semua pasangan calon bupati dan wakil dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 di Kabupaten Barito Utara

Kedua paslon yakni nomor urut 1, H Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo atau Gogo-Helo. Palson nomor urut 2, Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya

Putusan ini berbuntut pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus melakukan pelaksanaan pilkada ulang dalam jangka waktu 90 hari dengan pasangan calon (paslon) yang baru.

"Menyatakan diskualifikasi pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 1 dan pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2 dari kepesertaan dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati barito Utara Tahun 2024," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (14/5/2025).

Dalam pertimbangannya, hakim konstituisi Guntutr Hamzah mengatakan bahwa Mahkamah menemukan bukti adanya praktik politik uang (money politics) yang masif pada kedua pasangan calon.

“Berdasarkan rangkaian bukti dan fakta hukum persidangan, Mahkamah menemukan fakta adanya pembelian suara pemilih untuk memenangkan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 2 dengan nilai sampai dengan Rp16.000.000 untuk satu pemilih," jelas Guntur dalam sidang yang terigstrasi dengan nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini.

"Bahkan, Saksi Santi Parida Dewi menerangkan telah menerima total uang Rp64.000.000 untuk satu keluarga,” sambungnya. 

Tidak hanya paslon nomor urut 2, praktik serupa juga ditemukan pada pasangan calon nomor urut 1. 

Mahkamah menemukan bukti bahwa suara pemilih dibeli dengan nilai hingga Rp6.500.000 untuk satu pemilih, disertai janji akan diberangkatkan umrah apabila menang. 

Fakta tersebut disampaikan oleh Saksi Edy Rakhman yang mengaku menerima total uang sebesar Rp19.500.000 untuk satu keluarga.

Praktik politik uang tersebut diketahui terjadi di TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah, dan TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru. 

Menurut Mahkamah, tindakan tersebut memberikan dampak signifikan terhadap hasil perolehan suara dalam pemungutan suara ulang (PSU) yang dilakukan.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan