Minggu, 9 November 2025

Para Perempuan Wukirsari Satukan Gerak Jaga Batik Warisan Leluhur, di Tengah Kekhawatiran Regenerasi

Inilah cerita para perempuan-perempuan penjaga batik di Wukirsari. Semangat melesarikan di tengah kekhawatiran regenerasi.

|
Editor: Suci BangunDS
Tribunnews.com/Garudea Prabawati
PEREMPUAN PEMBATIK WUKIRSARI - Seorang pembatik di Kampung Batik Giriloyo, Jalan Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saat menorehkan malam panas menggunakan canting di atas pola batik, Senin (20/10/2025). Kampung Batik Giriloyo bagian dari Desa Wisata Wukirsari penerima kebaikan program dari PT Astra International Tbk. yakni Desa Sejahtera Astra tahun 2023. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Garudea Prabawati

TRIBUNNEWS.COM - “Melestarikan batik tulis itu ibarat menjaga seorang nenek cantik, harus dirawat sedemikian rupa supaya tetap hidup abadi bersinar.”

Nazula Mubarokah, seorang pembatik muda, berbincang hangat dengan Tribunnews.com, di Kampung Batik Giriloyo, di Jalan Giriloyo, Karang Kulon, Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (21/10/2025).

Di usianya yang masih muda, Nazula menjadi bagian dari generasi penerus yang menjaga napas tradisi membatik di Wukirsari, sebuah destinasi wisata budaya yang namanya telah menggema hingga mancanegara.

Kampung Batik Giriloyo, merupakan pusat eduwisata pelestarian budaya, khususnya batik tulis, bagian dari Desa Wisata Wukirsari, berlokasi kurang lebih 17 kilometer (km) ke arah selatan Kota Yogyakarta.

Menurut pantauan Tribunnews.com di lapangan, secara geografis, Wukirsari, terletak di kaki perbukitan yang menjulang, seolah dipangku oleh para leluhur, mengingat lokasinya yang sangat dekat dengan Kompleks Makam Raja-Raja Mataram. 

Nazula bercerita, bahwa sejak abad ke-17, keterampilan membatik yang awalnya terbatas di lingkungan keraton perlahan menyebar ke masyarakat Imogiri. 

Proses panjang, transfer ilmu membatik sejak Kerajaan Mataram tahun 1634 ini mengakar kuat, diwariskan secara turun-temurun, menjadikan Wukirsari sebagai sentra batik tulis klasik.

Nazula mengatakan awalnya para pengrajin batik, termasuk sang ibu, tidak memperoleh kemampuan tersebut melalui pendidikan formal, melainkan dengan cara melihat, meniru, dan berlatih dari orang tua mereka terdahulu hingga akhirnya mahir membatik.

Pada masa awal, kemampuan warga Giriloyo hanya terbatas pada proses membatik, belum pada menjangkau ranah pemasaran. 

Akibatnya, para pembatik hanya berperan sebagai buruh yang menjual batik mentah kepada para juragan di kota.

Kondisi semakin menyedihkan usai gempa bumi besar yang melanda Yogyakarta pada tahun 2006, membuat pengrajin batik Wukirsari terpuruk, khususnya secara ekonomi. 

Namun, setelah gempa, berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga pihak lainnya hadir membantu proses pemulihan. 

Melalui dukungan tersebut, lanjut Nazula, masyarakat Giriloyo, Wukirsari perlahan bangkit kembali dan mulai mengembangkan sentra batik secara lebih mandiri, hingga saat ini.

Menyulam Warisan Leluhur Lewat Canting

WISATAWAN ASING DI WUKIRSARI - Wisatawan asing asal Kanada saat praktik membuat batik, dipandu pengrajin batik di Kampung Batik Giriloyo, Jalan Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (Tribunnews.com/Garudea Prabawati)
WISATAWAN ASING DI WUKIRSARI - Wisatawan asing asal Kanada saat praktik membuat batik, dipandu pengrajin batik di Kampung Batik Giriloyo, Jalan Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (20/10/2025). (Tribunnews.com/Garudea Prabawati)

“Batik seolah telah mengalir di dalam darah saya, darah kami semua warga Wukirsari, setiap guratan malam di atas kain bukan sekadar karya seni, melainkan napas leluhur,” kata Nazula.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved