Para Perempuan Wukirsari Satukan Gerak Jaga Batik Warisan Leluhur, di Tengah Kekhawatiran Regenerasi
Inilah cerita para perempuan-perempuan penjaga batik di Wukirsari. Semangat melesarikan di tengah kekhawatiran regenerasi.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - “Melestarikan batik tulis itu ibarat menjaga seorang nenek cantik, harus dirawat sedemikian rupa supaya tetap hidup abadi bersinar.”
Nazula Mubarokah, seorang pembatik muda, berbincang hangat dengan Tribunnews.com, di Kampung Batik Giriloyo, di Jalan Giriloyo, Karang Kulon, Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (21/10/2025).
Di usianya yang masih muda, Nazula menjadi bagian dari generasi penerus yang menjaga napas tradisi membatik di Wukirsari, sebuah destinasi wisata budaya yang namanya telah menggema hingga mancanegara.
Kampung Batik Giriloyo, merupakan pusat eduwisata pelestarian budaya, khususnya batik tulis, bagian dari Desa Wisata Wukirsari, berlokasi kurang lebih 17 kilometer (km) ke arah selatan Kota Yogyakarta.
Menurut pantauan Tribunnews.com di lapangan, secara geografis, Wukirsari, terletak di kaki perbukitan yang menjulang, seolah dipangku oleh para leluhur, mengingat lokasinya yang sangat dekat dengan Kompleks Makam Raja-Raja Mataram.
Nazula bercerita, bahwa sejak abad ke-17, keterampilan membatik yang awalnya terbatas di lingkungan keraton perlahan menyebar ke masyarakat Imogiri.
Proses panjang, transfer ilmu membatik sejak Kerajaan Mataram tahun 1634 ini mengakar kuat, diwariskan secara turun-temurun, menjadikan Wukirsari sebagai sentra batik tulis klasik.
Nazula mengatakan awalnya para pengrajin batik, termasuk sang ibu, tidak memperoleh kemampuan tersebut melalui pendidikan formal, melainkan dengan cara melihat, meniru, dan berlatih dari orang tua mereka terdahulu hingga akhirnya mahir membatik.
Pada masa awal, kemampuan warga Giriloyo hanya terbatas pada proses membatik, belum pada menjangkau ranah pemasaran.
Akibatnya, para pembatik hanya berperan sebagai buruh yang menjual batik mentah kepada para juragan di kota.
Kondisi semakin menyedihkan usai gempa bumi besar yang melanda Yogyakarta pada tahun 2006, membuat pengrajin batik Wukirsari terpuruk, khususnya secara ekonomi.
Namun, setelah gempa, berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga pihak lainnya hadir membantu proses pemulihan.
Melalui dukungan tersebut, lanjut Nazula, masyarakat Giriloyo, Wukirsari perlahan bangkit kembali dan mulai mengembangkan sentra batik secara lebih mandiri, hingga saat ini.
Menyulam Warisan Leluhur Lewat Canting
“Batik seolah telah mengalir di dalam darah saya, darah kami semua warga Wukirsari, setiap guratan malam di atas kain bukan sekadar karya seni, melainkan napas leluhur,” kata Nazula.
Aroma malam dari tungku, desis lembut ujung canting di atas kain putih hingga liuk cantik pola batik sudah menjadi latar alami bagi keseharian perempuan berusia 22 tahun tersebut.
Motif favorit Nazula adalah Sido Asih, motif yang melambangkan harapan dan kasih sayang, dalam ikatan kekeluargaan.
“Coraknya anggun, dan maknanya dalam. Saya merasa setiap goresannya mengajarkan kelembutan dan ketulusan,” ujar Nazula.
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), ia sudah akrab dengan dunia batik.
Sang ibu adalah perajin batik yang kini juga menjadi pengurus di Kampung Batik Giriloyo, sosok pertama yang mengajarkan Nazula betapa batik dapat harmonis membersamai hidup.
Dari ibunya, Nazula belajar bahwa membatik bukan sekadar keterampilan tangan, melainkan warisan jiwa.
Menurutnya, keterampilannya membatik tulis terasa seperti ritual magis, sebuah perjumpaan antara kreativitas muda dan jejak leluhur yang masih hidup di setiap garis dan titik batik yang ia cipta.
“Saya membatik tulis sejak kecil, sejak SD. Saya sering membantu ibu saya untuk membatik, di situ saya mendapatkan pelajaran langsung, hingga akhirnya dapat bekerja bersama-sama dengan orang-orang hebat khususnya perempuan-perempuan gigih di Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari,” ungkap gadis lulusan Universitas Alma Ata, Yogyakarta ini.
Nazula mengaku, memiliki dorongan kuat untuk terus menjaga profesi pembatik tersebut demi kelestarian batik tulis Wukirsari.
Namun, ia tak menampik tantangan besar yang menghadang di depan mata, terlebih jika itu dihubungkan dengan ‘kuda-kuda’ bertahan hidup.
“Jika dilihat dari segi income-nya, penjualan produk batik tulis tentu terdapat tantangan tersendiri. Jadi tetap ada keinginan untuk punya income yang lain, pekerjaan lain, namun untuk melestarikan batik juga tetap terdorong untuk tetap terus bekerja di sini,” lanjutnya.
Nazula juga mengamini bahwa peran perempuan perajin batik tulis di Wukirsari sangat besar, khususnya untuk menunjang finansial keluarga.
Mencontoh sang ibu yang menjadi pembatik sejak muda dan kini menjadi pengurus di Kampung Batik Giriloyo.
Menurutnya jerih payah sang ibu menjadi pembatik, hasilnya secara finansial banyak membantu keluarganya untuk menyambung hidup, termasuk bagi dirinya, yang dapat menamatkan kuliah jenjang Strata 1 (S1).
Para perempuan perajin batik di Desa Wisata Wukirsari, bak menjadi penjaga warna dan corak, yang tidak hanya melekat di kain, namun juga dalam identitas budaya mereka.
Tantangan Krusial: Regenerasi Perajin Batik
Nazula, satu di antara perempuan pembatik di Kampung Batik Giriloyo yang menyulam harapan agar batik tulis Wukirsari tak sekadar tinggal cerita.
“90 persen pembatik di wilayah ini adalah perempuan. Jadi memang sudah turun temurun, di Wukirsari perempuan dianggap menjadi penyambung finansial keluarga lewat batik tulis, perempuan perajin batik juga dianggap lebih bagus membuat produk batik tulis dibandingkan pria,” ujar Ahmad Bahtiar (27), Sekretaris Pengelola Desa Wisata Wukirsari, saat berbincang dengan Tribunnews.com, di sela acara Workshop dan Lomba Jurnalisme Feature yang digelar PT Astra International Tbk. bersama Indonesian Institute of Journalism (IIJ), Senin (20/10/2025).
Namun siapa sangka keteguhan para perempuan pembatik di Wukirsari tersebut, kini berjalan beriringan dengan kekhawatiran kehilangan pewaris.
Siapa yang akan melanjutkan ketika tangan-tangan pembatik renta yang tak lagi kuat menggenggam canting?
Bahtiar menyebut sebuah data jumlah perajin batik di Desa Wisata Wukirsari yang menurun, dari 1.000 lebih perajin batik, kini turun menjadi 634 perajin batik tulis tradisional, tersebar di tiga padukuhan, yakni di Cengkehan, Karangkulon serta Giriloyo.
“Saya itu sedih karena anak-anak muda sudah tidak terlalu tertarik untuk melestarikan batik. Dilihat saja, ada Nazula, pembatik perempuan termuda, kalau laki-laki saya yang termuda, datanya menurun drastis,” ungkapnya dengan nada bergetar.
Bahtiar mengamati sebuah pola: banyak anak muda khususnya perempuan di Wukirsari bisa membatik sejak kecil, namun setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka memilih bekerja di pabrik garmen untuk mencari ‘uang saku untuk menikah’.
Setelah menikah dan punya anak, mereka tidak bisa meninggalkan anak mereka untuk melanjutkan bekerja di pabrik, dan akhirnya kembali membatik di rumah.
Bahtiar menegaskan bahwa bekerja dengan melestarikan batik tulis Wukirsari tentu tak bisa dipandandang dengan sebelah mata.
Kebanggaan menjadi landasan Bahtiar serta warga lainnya bekerja di Desa Wisata Wukirsari, secara finansial pendapatan dapat disyukuri, dan nantinya di akhir tahun bisa mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU) dari koperasi.
Diketahui dalam operasional Desa Wisata Wukirsari, terdapat Koperasi Jasa Kampung Batik Giriloyo yang menaungi 12 unit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) batik binaan.
Lewat Koperasi Jasa Kampung Batik Giriloyo, Desa Wisata Wukirsari telah berhasil mengembangkan identitas produksi batik tulis masing-masing UMKM binaan tersebut.
Gerakan Bersama ‘Bawah Tanah’
Semangat melestarikan batik di Wukirsari terlihat tak pernah padam, tampak dari binar mata Bahtiar.
Bahtiar menyebut segala upaya dilakukan, untuk terus mendorong keterlibatan generasi muda agar warisan budaya ini tetap hidup tak lekang oleh zaman.
Dirinya hingga pengurus Desa Wisata Wukirsari lainnya memulai gerakan ‘bawah tanah’ bersama untuk membangkitkan minat anak muda terhadap batik tulis Wukirsari.
“Kami banyak melakukan kegiatan peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Begitu mereka mulai tertarik, saya ajak terlibat, entah dalam digital marketing atau jadi pemandu wisata,” ujarnya.
Menurutnya, strategi itu cukup efektif meski belum menjangkau banyak kalangan.
Ia juga menempuh cara lain dengan mendelegasikan sejumlah pemuda mengikuti berbagai kegiatan di luar daerah agar mendapatkan pengalaman baru.
“Kita tanpa mengeluarkan banyak biaya pun bisa mengirimkan beberapa anak muda. Akhirnya mereka tertarik, walaupun memang belum banyak,” tambahnya.
Melalui langkah-langkah sederhana namun konsisten tersebut, Bahtiar berharap lebih banyak generasi muda Wukirsari tergerak menjaga sekaligus memajukan batik sebagai identitas dan daya tarik utama wisata di desanya.
Urgensi regenerasi perajin batik tulis diperlukan agar ‘harta karun’ di Wukirsari tersebut akan tetap lestari, dinikmati wisatawan, serta menghidupi warga desa.
Di sisi lain, menurut data yang dilaporkan Ketua Desa Wisata Wukirsari, Nur Ahmadi, Oktober 2025 lalu, sentra wisata budaya batik tulis tersebut mengalami lonjakan kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun.
Walaupun sempat digempur Pandemi Covid-19, dengan jumlah kunjungan wisatawan yang menurun drastis yakni sekitar 6.000 wisatawan pada 2020, padahal tahun 2019 jumlah wisatawan mencapai hampir 30.000 wisatawan.
Pihaknya mengatakan, segala rupa promosi dilakukan, termasuk berkolaborasi dengan influencer lokal, hingga akhirnya Desa Wisata Wukirsari kembali bangkit, dengan capaian kunjungan wisatawan yang terus mengalami kenaikan.
Berikut data kunjungan wisatawan per tahunnya dari 2022 - 2024:
- 2022: Hampir 25.000 wisatawan
- 2023: Lebih dari 40.000 wisatawan
- 2024: 45.000 wisatawan
Sehingga dapat dikatakan selama tiga tahun, Desa Wisata Wukirsari mampu menjaring sekitar 110.000 wisatawan, baik lokal juga mancanegara.
Sementara untuk data pendapatan dari pariwisata terdata sejak tahun 2009 hingga 2019, dengan rata-rata kunjungan wisatawan 29.000 per tahun, Desa Wisata Wukirsari mampu menghasilkan pendapatan rata-rata Rp2 Miliar per tahun.
Dengan karakter topografi yang khas serta potensi budaya yang adiluhung, wisatawan yang berwisata di Desa Wisata Wukirsari dapat memiliki pengalaman menikmati dan membuat batik tulis, sembari dimanjakan sajian hamparan hijau, sejauh mata memandang.
Rupa Kampung Batik Wukirsari Dipersolek Banyaknya Prestasi
Pesona Desa Wisata Wukirsari semakin dipersolek dengan capaian prestasi gemilang.
Terbaru, pada awal Juni ini, sentra batik tulis Desa Wukirsari resmi ditetapkan sebagai Kawasan Berbasis Kekayaan Intelektual Tahun 2025 oleh Kementerian Hukum Republik Indonesia (RI).
“Kelurahan Wukirsari adalah kebanggaan masyarakat Bantul. Potensi kerajinan tangan dan batik yang dimiliki desa ini merupakan kekayaan intelektual yang sangat berharga dan harus terus dijaga serta dikembangkan,” ujar Kepala Kanwil Kemenkum DIY, Agung Rektono Seto, yang tertulis di laman resmi jogja.kemenkum.go.id.
Pengakuan ini melengkapi predikat Best Tourism Village dari United Nation World Tourism Organization (UNWTO) sebuah lembaga promosi wisata dunia di bawah PBB, yang berhasil diraih Desa Wisata Wukirsari pada 2024.
"Sebelumnya kami juga menjuarai Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI kategori Desa Wisata Maju pada tahun 2023, dari 4.573 desa wisata yang mendaftar kami menduduki peringkat pertama dalam kategori Desa Wisata Maju," lanjut Bahtiar.
Prestasi itu beriringan juga dengan masuknya Wukirsari menjadi binaan Desa Sejahtera Astra (DSA) oleh PT Astra International Tbk tahun 2023.
Bahtiar menyebut dukungan PT Astra International Tbk sejalan dengan empat pilar korporasi, hadir dalam bentuk fisik (pembangunan limasan, landmark, gazebo) dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), termasuk pelatihan digital marketing dan pendampingan untuk sertifikasi desa wisata berkelanjutan (Indonesian Sustainable Tourism Council).
Selain batik, Wukirsari juga melestarikan warisan budaya lain, yakni gurah, pengobatan tradisional menggunakan akar sigundu.
Motif batik pun diabadikan untuk melestarikan tradisi Gurah, yang sudah didaftarkan ke Kemenkumham, menegaskan bahwa batik dan gurah menjadi bentuk kemandirian finansial bagi warga Wukirsari.
Bukti Sinergi Masyarakat dan Astra
Kemajuan pesat Desa Wisata Wukirsari, tidak lepas dari peran aktif masyarakat serta dukungan PT Astra International Tbk melalui program Desa Sejahtera Astra (DSA).
Head of Brand Communication PT Astra International Tbk, Yudha Prasetya, menjelaskan bahwa penghargaan tersebut bukan sekadar simbol prestasi, melainkan bentuk pengakuan atas kerja keras masyarakat dalam menjaga alam, tradisi, serta warisan budaya, sambil tetap terbuka terhadap perubahan.
“Penghargaan ini bukanlah sebatas penghargaan semata, namun juga sebuah pengakuan bagi kerja keras masyarakat yang sudah menjaga tradisi, kelestarian alam, dan warisan budaya sambil membuka diri pada perubahan,” ujar Yudha.
Yudha menambahkan melalui pendekatan community-based tourism, Desa Wisata Wukirsari mampu mengoptimalkan potensi lokal dan berkembang menjadi destinasi wisata edukatif kelas dunia.
Sementara konsep eco-tourism yang diterapkan berhasil memadukan nilai tradisi dan budaya dengan daya tarik wisata modern, sehingga setiap tahunnya desa ini dapat menjaring bahkan sampai puluhan ribu pengunjung.
Selain dikenal sebagai sentra batik tulis, Yudha menyebut Wukirsari kini juga tumbuh menjadi pusat ekonomi kreatif yang menghidupi lebih dari 600 pengrajin batik tulis serta ratusan pelaku UMKM.
"Keberhasilan ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi masyarakat dapat menggerakkan perubahan secara berkelanjutan," lanjut Yudha.
Pihaknya menambahkan, Astra merasa bangga dapat berkontribusi dalam proses berkembangnya Desa Wisata Wukirsari.
Program DSA mulai diluncurkan pada tahun 2018, Corporate Social Responsibility (CSR) ini berfokus pada pemberdayaan kewirausahaan berbasis potensi dan produk unggulan desa.
DSA melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, perguruan tinggi, komunitas, start-up, dan Kelompok Usaha Desa (KUD).
Tak hanya itu, Astra juga memiliki program lainnya yakni Kampung Berseri Astra (KBA), program yang diluncurkan sejak 2013, berbasis komunitas yang mengintegrasikan inisiatif empat pilar kontribusi keberlanjutan Astra dalam satu komunitas kampung, tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, cerdas, dan produktif.
“Kami di Astra bangga dapat ikut berkontribusi dalam berkembangnya Desa Wukirsari. Melalui program Kampung Berseri Astra, kami berupaya mendorong pembangunan desa yang berkelanjutan dan berbasis pada potensi masyarakat,” tutupnya.
Terdata, PT Astra International Tbk telah membina 84 Desa Sejahtera Astra baru dan 35 Kampung Berseri Astra baru, sehingga pada tahun 2024, total terdapat 1.515 DSA dan KBA yang telah dibina.
Regenerasi Batik lewat Pendekatan Ekonomi, Sosial dan Budaya
Sementara itu dalam wawancaranya dengan Tribunnews.com, pada Kamis (23/10/2025) lalu, Dr Muhammad Faisal Senior Research Association Usaha kecil Menengan (UKM) Center Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) menegaskan bahwa dunia batik menghadapi tantangan besar kehilangan generasi penerus.
“Urbanisasi, perubahan minat generasi muda, serta tekanan ekonomi global membuat keberlanjutan industri batik rakyat terancam,” ujarnya.
Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) mencatat, 15 persen perajin senior telah pensiun tanpa regenerasi yang memadai dalam lima tahun terakhir.
Tekanan diperparah oleh maraknya batik printing murah yang menggerus pasar batik cap dan tulis asli.
Data lainnya, Survei Asosiasi Perajin Batik Yogyakarta (APBY) pada 2023 menunjukkan, 60 persen dari sampel batik yang dijual di pasar-pasar wisata adalah batik printing non-tradisional.
Namun, menurut Faisal di balik tantangan tersebut, muncul gagasan bahwa regenerasi batik tidak bisa hanya didekati dari sisi ekonomi semata, melainkan juga harus berakar pada sosial dan budaya.
Kunci utama menjaga keberlangsungan perajin batik terletak pada upaya membangun ekosistem yang terintegrasi antara pendidikan, sosial, dan ekonomi, seperti halnya yang dilakukan PT Astra International Tbk di Wukirsari.
“Tugas kita itu membuat batik kembali menarik, bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi juga sosial dan budaya,” ujarnya.
Ia menilai, pendekatan sosial harus menjadi langkah pertama.
Batik, katanya, harus dikenalkan kembali kepada generasi muda sejak dini melalui jalur pendidikan formal.
“Kita bisa mulai dari kurikulum pendidikan, mungkin dari tingkat SD, SMP, hingga SMA. Batik seharusnya sudah diperkenalkan secara masif di sekolah,” ujarnya.
Dengan memasukkan batik ke dalam kurikulum, anak-anak tidak hanya belajar menggambar atau membatik, tetapi juga memahami filosofi, sejarah, dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap motif.
Langkah ini dipercaya akan menumbuhkan rasa bangga dan keterikatan emosional terhadap batik sebagai bagian dari identitas bangsa.
Selain pendidikan, aspek sosial juga perlu diperkuat melalui kebijakan publik. Pemerintah, misalnya, diharapkan dapat mendorong pemakaian batik tidak hanya pada momen-momen seremonial seperti Hari Batik Nasional, tetapi juga sebagai identitas pakaian kerja harian di lingkungan perkantoran, sekolah, dan lembaga publik.
“Kalau ekosistem sosialnya sudah terbentuk, maka aspek ekonomi akan mengikuti. Karena akan muncul kebutuhan pasar yang berkelanjutan,” tambahnya.
Dari sisi ekonomi, ekosistem batik yang hidup dan berakar pada budaya akan membuka peluang usaha baru bagi generasi muda, baik dalam bentuk produksi, desain, maupun pemasaran digital.
Pemerintah tinggal memperkuat sisi teknologi dan insentif, seperti dukungan alat produksi ramah lingkungan atau platform pemasaran berbasis digital.
Namun demikian, pihaknya mengingatkan agar ekosistem yang sudah tumbuh jangan sampai diserbu produk tiruan atau batik printing impor.
“Jangan sampai ketika ekosistemnya sudah terbentuk, justru batik yang beredar malah produk dari luar negeri seperti Cina. Itu akan mematikan perajin lokal,” tegasnya.
Hingga akhirnya regenerasi perajin batik tulis seperti halnya di Desa Wisata Wukirsari bukan sekadar soal mengganti yang tua dengan yang muda, tetapi tentang menciptakan ruang baru bagi anak muda untuk merasa bangga, kreatif, dan berdaya secara ekonomi melalui warisan leluhur.
Di antara mereka, sosok muda seperti Nazula dan Bahtiar membawa harapan baru bahwa seni batik tulis Wukirsari akan terus hidup di tangan generasi penerusnya.
(*)
PT Astra International Tbk
Yudha Prasetya
Meaningful
Desa Wukirsari
DIY
Kampung Berseri Astra (KBA)
Kampung Batik Giriloyo Wukirsari
SATU Indonesia Award
Desa Sejahtera Astra (DSA)
| Syarat Pendaftaran PPG Dalam Jabatan Kemenag Angkatan IV bagi Guru Madrasah 2025, Berikut Tahapannya |
|
|---|
| YouTube Hapus 700 Video Pelanggaran HAM Israel, Aktivis Palestina: Bukti Kejahatan Perang Dihapus |
|
|---|
| Soal Ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Guru: Begitu Meledak Langsung Kabur |
|
|---|
| Andrew Andika Bayar Kebutuhan Anak Tak Lewat Perantara Mantan Istri, Tengku Dewi: Nggak Masalah |
|
|---|
| Rismon Sianipar Tersangka, Sempat Labrak Ahli Forensik Pakai Aplikasi Gratisan Teliti Ijazah Jokowi |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.