Sherly Tjoanda Akan Beri 1 Hektare Lahan untuk 1 Keluarga Terdampak Tambang: Saya Paham Mereka Marah
Sherly Tjoanda mengatakan dirinya sangat memahami kemarahan masyarakat yang lahannya diambil untuk tambang tetapi tidak diberi ganti rugi yang layak.
Ringkasan Berita:
- Sherly Tjoanda mengatakan program satu hektare untuk satu keluarga merupakan bentuk ganti rugi dari negara kepada pemegang lahan yang terdampak tambang
- Ada juga program dari pemerintah melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) untuk pemanfaatan lahan milik negara yang kemudian bisa diberikan kepada masyarakat
- Sherly Tjoanda menegaskan bahwa dirinya akan menepati janjinya untuk mewujudkan program satu hektare untuk satu keluarga yang terdampak tambang
TRIBUNNEWS.COM - Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, mengungkapkan dirinya mempunyai program memberikan satu hektare kepada satu keluarga yang lahannya diambil untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Hal tersebut ia sampaikan ketika menanggapi terkait isu pertambangan di Maluku Utara yang sebelumnya menjadi sorotan setelah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) merilis laporan terkait kekacauan tata kelola pertambangan di Halmahera, Maluku Utara.
Kekacauan yang dimaksud itu mulai dari tumpang tindih perizinan, dugaan manipulasi batas wilayah, benturan kepentingan antar perusahaan, hingga kriminalisasi terhadap masyarakat yang berusaha mempertahankan ruang hidup mereka.
Dalam laporan JATAM bertajuk 'Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera', yang terbit pada 10 November 2025, mengungkap pusat kehidupan adat yang berubah menjadi arena benturan korporasi tambang, jaringan modal-politik, dan aparat negara.
Di mana, masuknya industri nikel itu telah mengusir warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, dari ruang hidup mereka sendiri, karena hutan adat digunduli, sungai utama tercemar lumpur merah, dan lahan pangan tradisional hilang.
Bahkan, protes damai warga dibalas dengan kriminalisasi, penangkapan, intimidasi, hingga vonis penjara bagi pejuang lingkungan. Tercatat setidaknya ada 27 warga Maba Sangaji ditangkap dan 11 di antaranya menjadi tersangka.
Negara pun dinilai lebih banyak absen dalam pengawasan, bahkan justru berpihak kepada modal dan mengabaikan penderitaan rakyat hingga kerusakan lingkungan.
Menanggapi terkait isu pertambangan tersebut, Sherly tak menampik bahwa masyarakat Maluku Utara memang kehilangan lahan akibat tambang itu.
Akan tetapi, dia mengatakan bahwa program satu hektare untuk satu keluarga itu merupakan bentuk ganti rugi dari negara kepada pemegang lahan, meskipun saat ini program tersebut masih dilakukan pendalaman secara teknis.
"Saya berencana untuk membagi setiap satu hektare kepada satu keluarga, untuk mereka yang selama ini hidup lahan adatnya diambil untuk kemudian dikonversi menjadi IUP dari pusat, akan kita inventariskan dan kita ganti," ungkapnya dalam program Rosi Kompas TV, dikutip pada Jumat (21/11/2025).
Selain itu, kata Sherly, ada juga program dari pemerintah melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) untuk pemanfaatan lahan milik negara yang kemudian bisa diberikan kepada masyarakat.
Baca juga: Sherly Tjoanda Klaim Punya Perusahaan Tambang Jauh sebelum Jadi Gubernur, Kini Lepaskan Kepengurusan
"Kita akan menggantikan untuk memastikan bahwa mereka ada income (pemasukan)," katanya.
"Karena bagi kita, kalau di Maluku Utara, tanah itu adalah penghasilan, tanah itu yang bisa diwariskan, tanah itu tumbuh kelapa, tumbuh cengkeh, tumbuh pala, sumber penghasilan mereka itu, kalau petani ya harus memiliki tanah," sambung Sherly.
Oleh karena itu, Sherly sangat memahami kemarahan masyarakat yang lahannya diambil untuk tambang tetapi tidak diberi ganti rugi yang layak.
"Saya sangat memahami ketika mereka marah karena sumber penghasilan mereka, penghidupan mereka tiba-tiba diambil tanpa ada kompensasi yang layak dan mereka marah, itu saya pahami dan sebagai pemerintah kami akan hadir untuk menggantikan itu," paparnya.
Sherly pun menegaskan bahwa dirinya akan menepati janjinya untuk mewujudkan programnya tersebut.
"Saya selalu mengeksekusi apa yang saya janjikan dan masyarakat Maluku Utara tahu itu," tegasnya.
Sherly Tjoanda Janjikan Diversifikasi Ekonomi Tak Tergantung Tambang
Sherly menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara ditopang oleh industri pertambangan.
Namun, dia menjanjikan akan ada diversifikasi ekonomi untuk masa depan Maluku Utara.
Diversifikasi ekonomi merupakan strategi untuk mengembangkan ekonomi dari ketergantungan pada satu sektor atau komoditas menjadi berbagai sektor yang lebih luas, seperti industri, jasa, pariwisata, dan teknologi.
"Memang pertumbuhan ekonomi saat ini kuartal tiga 39 persen itu mayoritas dari industri pertambangan. Masa depan Maluku Utara itu kita harus melakukan diversifikasi karena pertambangan ini kan jangka pendek."
"Kita tidak boleh tergantung pada ekstraktif, kita lihat apa yang terjadi 15 tahun sudah lewat Maluku Utara fokus kepada ekstraktif, nothing happened. Bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tidak inklusif, tidak pemerataan sebenarnya juga karena salahnya kita, kita tidak menyiapkan infrastruktur untuk itu," ujar Sherly.
Adapun, dalam laporan JATAM setebal 59 halaman tersebut, dalam dua dekade terakhir, Halmahera, terutama wilayah tengah dan timurnya memang mengalami transformasi paling dramatis akibat penetrasi industri tambang nikel berskala besar.
Hal ini didorong oleh kebijakan nasional hilirisasi nikel serta promosi kawasan industri berbasis mineral, yang mendorong investasi raksasa dan perubahan struktural ruang hidup masyarakat adat di kawasan ini.
Halmahera Timur merupakan kabupaten pesisir di bagian timur Pulau Halmahera yang terdiri dari gugusan desa-desa adat yang sudah sejak lama menggantungkan hidup pada hutan, kebun campuran, dan jaringan sungai sebagai penyangga pangan, budaya, dan identitas lokal.
Sebelum masuknya industri tambang, masyarakat di Maba Sangaji, Wasile, dan sekitarnya, hidup dari sagu, pala, kelapa, perikanan, dan hasil hutan non kayu.
Ruang hidup yang didasari pengetahuan adat inilah yang menjadi pondasi ekonomi dan ekosistem berkelanjutan di wilayah timur Halmahera.
Transformasi radikal kemudian terjadi seiring ekspansi tambang nikel dan logam dasar sejak akhir 1990-an hingga Halmahera Timur pun berubah menjadi ladang konsesi mega proyek dengan tumpang tindih izin pertambangan, perubahan tapal batas administratif, dan pembelahan ruang hidup menjadi wilayah industri, serta pemukiman warga yang tergusur dari tanah adat.
Tatanan sosial, ekologi, dan budaya lokal juga mengalami tekanan hebat akibat perubahan orientasi pembangunan dan akumulasi modal.
Kini, Halmahera Timur menjadi salah satu titik panas konflik pertambangan nikel di Indonesia. Wilayah ini bukan hanya menjadi arena ekspansi perusahaan-perusahaan raksasa, mulai dari PT Aneka Tambang (Antam), PT Weda Bay Nickel, dan sejumlah perusahaan lainnya, tetapi juga menjadi ladang perebutan modal transnasional, jaringan lokal, dan aparatur negara.
(Tribunnews.com/Rifqah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.