Rabu, 27 Agustus 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Urgensi Pembaruan Hukum Acara Pidana

Agenda reformasi Hukum Acara Pidana melalui Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU HAP)

Editor: Glery Lazuardi
KOMPAS IMAGES/KURNIASARI AZIZA
I WAYAN SUDIRTA : Dr I Wayan Sudirta, SH, MH mengatakan perhatian para insan hukum salah satunya tertuju pada agenda reformasi Hukum Acara Pidana melalui Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) atau yang sering disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Upaya paksa penyitaan dan penggeledahan di lapangan seringkali menimbulkan permasalahan. beberapa penggeledahan dan penyitaan yang dilaksanakan oleh tim seringkali dilakukan terhadap barang yang tidak menjadi obyek sita (atau dilakukan penggeledahan). 

Hal ini melanggar hak asasi seseorang, karena harta atau benda yang seharusnya tidak berhubungan dengan dugaan tindak pidana dilakukan sita oleh penegak hukum. Pada prakteknya seringkali menimbulkan kerugian materiil dan immateriil bagi tersangka/terdakwa.

Penyalahgunaan ini tentu bertentangan dengan akuntabilitas dan merugikan kepentingan hukumnya. Pada kasus korupsi misalnya, seringkali penggeledahan yang berakhir pada penyitaan dilakukan terhadap barang-barang milik tersangka, yang selanjutnya dapat menggiring atau mempengaruhi opini publik.

KUHAP harus tegas melindungi HAM seseorang sampai diputus bersalah dan berkekuatan hukum tetap, maka penyitaan perlu diatur secara ketat. KUHAP misalnya perlu mengatur barang yang diajukan sita sebelum dilakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang milik tersangka/terdakwa.

c.    Penangkapan. Sebagaimana limitasi terkait dengan penahanan, maka pada prinsipnya penangkapan juga tidak boleh sampai berlarut-larut. Penetapan status hukum seseorang harus dilakukan segera dan memungkinkan untuk dilakukan berbagai pengajuan hak termasuk pelindungan saksi dan korban, pelindungan hukum, maupun mekanisme RJ.

8.    Pentingnya pengaturan tentang Upaya Hukum. KUHAP perlu menjamin hak seseorang untuk mengajukan upaya hukum secara terbuka dan sesuai dengan ketentuan, tidak boleh dibatasi oleh kekuasaan atau kewenangan yang tidak sah serta dijamin dengan sistem pemeriksaan yang terbuka, sah, adil, profesional, dan akuntabel.

Namun begitu pelaksanaannya perlu diatur secara tegas dan tidak boleh sembarangan dapat diajukan hingga berkali-kali. 

Secara seimbang pengajuan upaya hukum harus dapat juga dibatasi dengan undang-undang sehingga tidak boleh menyebabkan beban perkara yang juga menyebabkan kurangnya obyektivitas pemeriksaan itu sendiri.

9.    Hal lain yang masih perlu diatur dalam KUHAP. Selama ini terdapat beberapa hal dalma praktek yang masih memunculkan permasalahan atau perdebatan di lapangan yang selalu bersinggungan dengan kekosongan atau ketidakjelasan. Beberapa hal tersebut antara lain:

a.    Penyadapan
Pengaturan mengenai penyadapan ini memang masih akan membutuhkan UU khusus yang mengatur tentang penyadapan sesuai dengan Putusan MK.

Namun begitu, KUHAP dapat menegaskan pula kedudukan bukti Penyadapan sebagai barang bukti atau alat bukti yang sah sesuai dengan tugas dan kewenangan. 

Pada prinsipnya, penggunaan penyadapan tetap harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana prinsip pelindungan HAM dan Due Process of Law. Penyadapan dalam praktek masih tidak dimungkinkan untuk dijadikan alat bukti kecuali sebagai pendukung untuk mendapatkan alat bukti.

Oleh sebab itu pengaturannya harus diatur secara komprehensif. Dalam penggunaannya ke depan, alat bukti penyadapan termasuk alat bukti elektronik terkait lainnya harus diatur di dalam KUHAP sehingga tidak menimbulkan perdebatan mengenai kedudukannya.

b.    Pengelolaan barang sita dan rampasan yang saat ini dilakukan oleh Penuntut Umum dalam rangka memudahkan eksekusi maupun pengembaliannya terhadap terdakwa (dalam hal diputus demikian). Hal ini harus dipastikan untuk dapat menjamin seluruh akuntabilitas publik terimplementasi. 

c.    Salah satu perkembangan yang terjadi di lapangan, juga terkait dengan permasalahan penurunan nilai yang dapat merugikan negara atau para pihak.

Dalam hal ini KUHAP dapat menyediakan pula mekanisme yang jelas (seperti putusan sela atau penetapan) untuk dapat menjamin pemeliharaan mandiri atau melalui penjualan terhadap aset, dalam hal tindak pidana korupsi atau tindak pidana yang terkait dengan ekonomi dan memiliki korban dengan kriteria yang sangat jelas.

d.    Pengawasan terhadap upaya paksa (biro pengawasan penyidikan). Perkembangan selanjutnya adalah mengenai pentingnya pengaturan di KUHAP terkait dengan pengawasan selama penyidikan maupun penuntutan.

Hal ini karena penyidikan selama ini dianggap seringkali terjadi penyalahgunaan/ kesewenangan atau juga kesalahan prosedur yang berakibat pada pelanggaran etik. 

Pengawasan ini sangat penting mengingat penerapan prinsip due process of law yang mencerminkan akuntabilitas dan profesionalisme. Untuk mendorong pencegahan dan pengawasan terhadap penyalahgunaan kewenangan memang membutuhkan sistem pengawasan melekat dan pertanggungjawaban yang terukur.

e.    Pengaturan mengenai plea bargaining. Pada perkembangan hukum acara pidana, banyak pihak mengusulkan adanya sistem plea bargaining yang sebenarnya banyak digunakan pula pada negara yang menganut sistem hukum anglo saxon.

Sistem plea bargaining dinilai dapat mempercepat proses hukum dan menjadi alasan meringankan bagi pelaku yang mengakui kesalahan dan berupaya untuk memulihkan keadaan. Plea bargaining menjadi jalan pula bagi perkara tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan.

10.    Konsep Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Konsep Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan telah ada dalam draf RUU KUHAP sebelumnya.

Konsep Hakim Komisaris bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia dan mempermudah proses pidana yang seringkali terhambat dalam berbagai tahapan proses pidana yang dilakukan oleh aparat yang berbeda instansi, misalnya penyidik (Polri) dan penuntut umum (Kejaksaan) atau dengan pengadilan. 

Konsep ini sebenarnya timbul dari sistem hukum Eropa Kontinental yang bertujuan menemukan kebenaran sejati melalui kewenangan untuk pengawasan pelaksanaan segala upaya paksa. Konsep ini sebenarnya memberikan optimalisasi pada cabang yudikatif untuk melakukan kontrol terhadap aparat penegak hukum.

Namun begitu, konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini mendapatkan reaksi pro dan kontra karena dianggap dapat memberikan kontrol berlebihan dari pihak peradilan yang kini seringkali dipengaruhi oleh mafia peradilan.

Pengaturan ini memerlukan kajian yang lebih dalam atau lebih jauh tentang penerapannya, sehingga tidak kemudian menjadi kontraproduktif atau penyalahgunaan kewenangan.

Dari berbagai hal tersebut diatas, KUHAP tentu diharapkan dapat mencerminkan pelaksanaan KUHP yang lebih restoratif, rehabilitatif, restitutif, dan mencerminkan keadilan yang susbtantif dan proporsional.

Selama ini KUHAP 1981 dianggap sebagai karya agung namun sudah tidak lagi dapat menjamin pelindungan hak seseorang di muka hukum seiring dengan perkembangan hukum yang terjadi.

 Jaminan pelindungan hak seseorang dari penyalahgunaan ataupun ekses sistem peradilan (yang berlebihan) harus dapat diatur secara tegas sehingga dapat mendorong profesionalisme dan akuntabilitas sistem penegakan hukum dan peradilan pidana. Kini saatnya reformasi hukum pidana nasional dapat dijalankan secara penuh dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

KUHP dan KUHAP yang komprehensif akan dapat melindungi seluruh kepentingan bangsa dan negara.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan