Selasa, 9 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Quo Vadis RKUHAP: Peran Strategis Jaksa Terpinggirkan?

jaksa seyogyanya memiliki kewenangan yang cukup untuk menilai, menguji, dan bahkan memperdalam proses penyidikan sejak awal.

HandOut/IST
ANALIS HUKUM - Analis hukum, IGN Agung Y Endrawan SH MH CCFA. Agung, menulis opininya terkait revisi kitab undang-undang hukum acara pidana, merupakan seorang praktisi hukum, mantan analis Senior Hukum OJK, Mantan Direktur Kebijakan Bakamla, dan Mahasiswa S3 Kebijakan Publik. 

Sebagai penuntut umum, jaksa tidak hanya berfungsi sebagai pihak yang hadir di ruang sidang, tetapi juga memikul tanggung jawab membuktikan kebenaran materiil secara utuh.

Oleh sebab itu, jaksa seyogyanya memiliki kewenangan yang cukup untuk menilai, menguji, dan bahkan memperdalam proses penyidikan sejak awal.

Sayangnya, dalam draf RKUHAP, peran strategis ini justru dipinggirkan.

Berbagai negara dengan sistem hukum modern memberikan peran sentral kepada jaksa.

Di negara civil law seperti Jepang, Jerman, dan Belanda, jaksa tidak hanya memimpin penyidikan tetapi juga memiliki otoritas penuh untuk mengarahkan jalannya perkara.

Di negara common law seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura, jaksa bahkan dapat melanjutkan atau menghentikan perkara secara independen tanpa intervensi kepolisian.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan draf RKUHAP yang justru membatasi ruang gerak jaksa.

Proses akhir hanya dibatasi koordinasi dan konsultasi antara jaksa dan penyidik, tidak dibatasi oleh waktu, tanpa mekanisme penyelesaian jika terjadi kebuntuan. Ketika stagnasi terjadi, korban, tersangka, dan masyarakat umum terjebak dalam ketidakpastian hukum.

Jika keadaan stagnasi terjadi Jaksa dapat dianggap sebagai lembaga konsultatif bukan pengendali perkara. Padahal, dominus litis menuntut adanya kepastian siapa yang memiliki kendali akhir dalam proses hukum agar dapat disajikan dan dipertanggunjawabkan secara hukum di depan persidangan.

Lebih memprihatinkan lagi, kewenangan penyidikan oleh jaksa untuk tindak pidana khusus seperti korupsi  justru dihapus dalam draf RKUHAP. Ini menjadi ironi besar, mengingat Kejaksaan sedang gencar menangani kasus-kasus besar yang menyedot perhatian publik.

Dalam banyak negara, jaksa diberikan wewenang menyidik korupsi karena dinilai lebih independen, dan profesional.

Korupsi menyasar sistem kekuasaan dan memerlukan integritas penuh dalam penyelesaiannya. Hal ini akan menjadi pertanyaan terhadap keseriusan dalam memberantas korupsi jika dalam kenyataannya jaksa akan dilucuti kewenangannya.

Untuk itu, perlu diusulkan agar dalam penjelasan Pasal RKUHAP ditegaskan bahwa jaksa memiliki kewenangan menyidik tidak hanya untuk pelanggaran HAM berat, tetapi juga secara eksplisit untuk tindak pidana korupsi dan kejahatan strategis lainnya.

Hal ini penting demi menjaga kesinambungan harmonisasi antara UU Kejaksaan dan agenda reformasi sistem hukum.

Demikian pula dengan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Dalam praktik di Belanda (Bijzondere Opsporingsdiensten), Jepang (tokushu sōsakan), dan Singapura (enforcement officers), lembaga sejenis PPNS dapat menyampaikan berkas langsung ke kejaksaan tanpa harus melalui kepolisian.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan