Tribunners / Citizen Journalism
Realisme Politik dan Penegakan Hukum Pemilu
Keadilan pemilu butuh hukum responsif. Politik hukum harus bebas intervensi demi demokrasi yang substansial.
Meskipun Gakkumdu dirancang untuk menangani perkara secara cepat dan terpadu, implementasinya di lapangan menghadapi berbagai tantangan, baik secara administratif maupun penafsiran norma hukum.
Durasi penanganan yang sangat singkat, dari laporan hingga putusan pengadilan, seringkali tidak sebanding dengan kompleksitas kasus yang ditangani.
Kekurangan bukti, ketidaksesuaian keterangan saksi, atau kesalahan administrasi lainnya dapat menyebabkan berkas dikembalikan oleh kejaksaan kepada penyidik, yang pada akhirnya perkara menjadi kedaluwarsa.
Banyak perhatian dan kontroversi seputar ilmu hukum kontemporer yang berakar pada krisis otoritas yang telah mengguncang institusi-institusi publik.
Kritik atas hukum selalu ditujukan, tidak memadainya hukum sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif. Perkembangan hukum dalam pandangan Nonet dan Selznick dibagi menjadi tiga periode hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif.
Pemilu menyediakan apa yang disebut sebagai sistem keadilan pemilu guna memastikan pemilu dapat berjalan secara luber dan jurdil.
Sistem keadilan pemilu tersebut merupakan elemen penting dalam menjamin keadilan.
Sistem keadilan pemilu mencakup elemen pencegahan dan mekanisme penyelesaian pelanggaran pemilu.
Dalam realitas, hukum kerap tunduk pada kekuasaan politik, disampaikan Nonet dan Selznick mengindikasikan, dalam situasi di mana hukum memiliki sifat represif, hukum menjadi tunduk pada kekuasaan politik.
Artinya, kekuasaan politik mengendalikan hukum, dan hukum digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.
Ketika hukum berfungsi represif, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum pidana pemilu (Bawaslu, Polri, Kejaksaan dan Pengadilan) akan tergerus secara fundamental.
Akibatnya, kualitas demokrasi merosot menjadi demokrasi prosedural semata, tanpa substansi keadilan.
Praktik politik uang dan manipulasi rekapitulasi suara akan semakin merajalela karena pelakunya tidak dapat dihukum, dan hal ini merusak soko guru demokrasi.
Dalam beberapa literatur, politik uang acapkali disebut sebagai korupsi elektoral. Dikatakan demikian, sebab politik uang adalah perbuatan curang dalam pemilu yang hakikatnya sama dengan korupsi.
Diskursus tentang hukum responsif dekat dengan gagasan hukum progresif yang dikembangkan Satjipto Rahardjo.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
| Budi Arie Ingin Gabung Gerindra, Pakar: Realistis, Jadi Relawan Sering Diabaikan Kekuatan Politiknya |
|
|---|
| Mengapa Projo Tak Jadi Parpol seperti NasDem Dulu? Ini Analisis Pengamat |
|
|---|
| Sikap Politik Projo: Sukseskan Prabowo pada Pemilu 2029 Tanpa Gibran Rakabuming Raka |
|
|---|
| Projo Disarankan Melebur ke PSI Jika Ingin "Diakui" Pemerintahan Prabowo |
|
|---|
| Rakernas PP AMMDI Dibuka Sekjen Golkar, Bahas Peran Strategis Dai dalam Dakwah Politik |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.