Tribunners / Citizen Journalism
Retorika Fiskal di Padang Publik: Kuasa Bahasa dan Risiko Sentralisasi
Menteri Purbaya gebrak fiskal: Rp200 T digelontorkan, 200 penunggak pajak ditindak, retorika jadi alat kuasa negara.
Rommy Fibri Hardiyanto
- Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada,
- Ketua Lembaga Sensor Film 2020-2024,
- Dewan Pakar Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah
Riwayat Pendidikan
- LSPR Communication and Business Institute
- Universitas Gajah Mada
TRIBUNNEWS.COM - Pada pekan pertamanya menjabat, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung menendang pintu kas negara. Ia menggelontorkan Rp200 triliun ke bank-bank BUMN untuk mempercepat penyaluran kredit, lalu menindak 200 penunggak pajak besar dengan nilai puluhan triliun rupiah. “Saya diberi ruang tampil apa adanya,” ujarnya di DPR dengan senyum tipis yang tak menutupi ketegasan langkahnya.
Gaya koboi ini bukan semata-teatrikal. Ia merepresentasikan cara baru pemerintah membingkai kebijakan fiskal—sebagai panggung politik yang sarat tekanan, kecepatan, dan kalkulasi publik. Di ruang publik hari ini, kebijakan fiskal tidak lagi sekadar kerja teknokratis, melainkan juga praktik komunikasi yang membentuk persepsi, memengaruhi opini, dan menanamkan kepercayaan.
Bahasa sebagai Alat Kuasa
Bahasa kebijakan kini berfungsi lebih dari sekadar sarana penyampaian informasi; ia menjadi alat pembentuk realitas sosial. Pemerintah bukan hanya menyusun anggaran, tetapi juga merangkai narasi: siapa yang dilibatkan, siapa yang dikritik, dan bagaimana masa depan ekonomi dibayangkan.
Dalam pandangan Chad Wickman (2012) dalam bukunya Writing in Science in the English Renaissance, retorika adalah cara manusia mengatur bahasa secara kreatif sehingga pengetahuan dan makna bisa lahir dari proses komunikasi itu sendiri. Pandangan ini mengingatkan bahwa kebijakan tidak hidup dari angka semata, melainkan dari bahasa yang menarasikannya.
Ketika pemerintah menyebut “subsidi tepat sasaran”, istilah itu tidaklah netral. Ia membentuk cara pandang masyarakat terhadap siapa yang layak dibantu, siapa yang tidak, dan bagaimana negara menjalankan perannya. Bahasa seperti ini dapat mengubah persepsi risiko menjadi peluang, bahkan menggeser posisi negara dari pelindung rakyat menjadi pengelola kesejahteraan yang efisien. Bahasa kebijakan, dengan demikian, bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga alat kuasa.
Membangun Hegemoni Melalui Fiskal
Retorika fiskal bekerja melalui tiga pilar utama: kredibilitas yang dibangun lewat rekam jejak dan konsistensi, emosi yang digugah melalui narasi kesejahteraan, serta logika yang disusun dari data dan proyeksi fiskal. Namun, ia juga beroperasi di medan konflik makna yang dikelola secara strategis.
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dalam Hegemony and Socialist Strategy (1985) menyebut hegemoni sebagai cara wacana politik mengorganisasi makna sosial dalam kesatuan yang bersifat sementara dan dapat berubah. Kekuasaan, dengan demikian, tidak hanya berdiri di atas dominasi, tetapi juga pada kemampuan membentuk konsensus. Dalam konteks fiskal, pidato anggaran dan pernyataan menteri menjadi sarana pembentukan blok makna: siapa yang dianggap “kita”, siapa “mereka”, dan bagaimana oposisi fiskal diposisikan agar tetap dalam koridor demokrasi.
Narasi Pinjaman dan Bayangan Sentralisasi
Dinamika ini tampak pada terbitnya PP Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat. Regulasi ini membuka peluang bagi pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD untuk mengajukan pinjaman langsung ke pusat guna mendukung pembangunan infrastruktur, layanan publik, atau pemulihan pascabencana.
Namun di balik narasi “dukungan pembangunan”, tersimpan kekhawatiran akan jebakan fiskal. Pemda yang mengajukan pinjaman harus memenuhi sejumlah rasio keuangan, tidak memiliki tunggakan, dan mendapat persetujuan DPRD. Sementara itu, pemangkasan transfer ke daerah (TKD) hingga 24,7 persen pada 2026 membuat ruang fiskal Pemda makin sempit. Dalam kondisi seperti ini, retorika “pinjaman pembangunan” dapat bergeser menjadi “utang yang membebani”.
Sejumlah lembaga mengingatkan potensi resentralisasi fiskal yang dapat menggerus semangat otonomi daerah. Ketika Pemda harus memohon pinjaman ke pusat dan membayar cicilannya dari APBD, ruang fiskal untuk layanan dasar—pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial—bisa tertekan. Dalam situasi demikian, retorika fiskal yang semula menggugah harapan justru berisiko menumbuhkan rasa cemas baru.
Persuasi dan Akuntabilitas Publik
Dalam perspektif komunikasi politik, persuasi publik idealnya berangkat dari kejujuran dan keterbukaan. Pakar Komunikasi Politik UGM, Nyarwi Ahmad, mengingatkan bahwa persuasi yang sehat tidak bertumpu pada retorika yang bombastis, melainkan pada argumentasi yang rasional dan data yang dapat diverifikasi oleh publik. Dengan kata lain, efektivitas komunikasi kebijakan bukan diukur dari seberapa keras pesan disuarakan, melainkan seberapa jujur dan terbuka ia diuji oleh masyarakat.
Kebijakan fiskal yang disampaikan dengan gaya komunikatif memang memikat perhatian, tetapi harus berpijak pada logika publik yang dapat diuji. Retorika yang baik tidak berhenti pada penampilan, melainkan berakar pada substansi. Sebab, ketika bahasa kebijakan terlalu cepat melompat pada solusi tanpa membuka ruang deliberasi, risiko sentralisasi makna—dan pada akhirnya kekuasaan—menjadi nyata.
Menjaga Ruang Makna dan Demokrasi Fiskal
Bagi publik, yang dibutuhkan bukan sekadar janji angka atau jargon pertumbuhan, tetapi kejelasan arah dan keterbukaan data. Gaya komunikasi yang jernih, terbuka, dan konsisten memperkuat legitimasi kebijakan fiskal. Dalam ekosistem demokrasi, oposisi fiskal berperan penting sebagai penguji narasi: memperjelas trade-off, memperkuat akuntabilitas, dan menjaga ruang debat tetap sehat.
Retorika fiskal, pada akhirnya, bukan semata seni berbicara—melainkan praktik tanggung jawab. Ketika publik mampu membaca angka, memahami narasi, dan merasakan empati terhadap dampak kebijakan, retorika telah menjalankan fungsinya: membangun kepercayaan, membuka partisipasi, dan menjaga demokrasi tetap hidup di padang kebijakan yang luas dan berdebu.***
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
| Menkeu Tahan Kenaikan Cukai, Ketua Komisi X DPR: Ada 6 Juta Pekerja yang Akan Terselamatkan |
|
|---|
| Asosiasi Garment dan Textile Indonesia Sambangi Kantor Menkeu Purbaya, Ini yang Dibahas |
|
|---|
| Audiensi dengan Purbaya, Asosiasi Garmen dan Tekstil Usul Roadmap Penguatan Daya Saing |
|
|---|
| Agus Pambagio Ingatkan Pemerintah Adanya Risiko Geopolitik di Balik Isu Whoosh |
|
|---|
| Wakil Ketua DPD Tamsil Linrung Ajak Menkeu Supervisi Kemandirian Fiskal Daerah |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.