Sabtu, 27 September 2025

APERSI: Rumah Subsidi 18 Meter Lebih Tepat Dibangun di Kota Penyangga

Apersi menilai rumah dengan luas bangunan 18 meter persegi lebih cocok dibangun di kota-kota penyangga, bukan di pusat kota.

Endrapta Pramudhiaz/Tribunnews.com
RUMAH SUBSIDI MINI - Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Deddy Indrasetiawan ketika berbincang bersama wartawan di kantor DPP APERSI, Otista Raya, Jakarta Timur, Jumat (20/6/2025). Ia menilai rumah dengan luas bangunan 18 meter persegi lebih cocok dibangun di kota-kota penyangga, bukan di pusat kota. Dok: Endrapta Pramudhiaz 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Deddy Indrasetiawan menilai rumah dengan luas bangunan 18 meter persegi lebih cocok dibangun di kota-kota penyangga, bukan di pusat kota.

Penilaian ini muncul seiring dengan rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menggodok aturan baru mengenai pengurangan batas minimum luas tanah dan bangunan untuk rumah subsidi agar bisa dibangun di pusat kota.

Baca juga: Apersi Minta Kementerian PKP Perjelas Kriteria Pengembang Nakal di Penyediaan Rumah Bersubsidi

Dalam draf Keputusan Menteri (Kepmen) yang sedang disusun, luas minimal tanah rumah subsidi yang semula 60 meter persegi diusulkan turun menjadi 25 meter persegi dan luas bangunan dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi.

Menurut Deddy, rumah subsidi dengan ukuran sekecil itu tidak cocok dibangun di pusat kota, tetapi lebih baik di kota penyangga.

Ia memandang rumah subsidi dengan luas seperti itu bisa dibangun di kota metropolitan yang jumlah penduduknya rata-rata 1 juta, bukan kota megapolitan yang di atas 5 juta.

"Rata-rata 1 juta (penduduk di kota) metropolitan itu penyanggah ibu kota kan," kata Deddy kepada wartawan di kantor DPP APERSI, Otista Raya, Jakarta Timur, Jumat (20/6/2025).

Jika rumah berukuran 18 meter persegi tetap ingin dibangun di pusat kota, maka skemanya dinilai bukan berupa rumah subsidi, melainkan rumah komersial.

Lalu, jika rumah berukuran 18 meter persegi tetap ingin dibangun di pusat kota, lebih cocok diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Tanggung (MBT), bukan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Baca juga: Cicilan Rumah Subsidi 18 Meter di Perkotaan Rp600 Ribu, Pemerintah: Tak Cocok untuk Pasutri 2 Anak

Harga rumah untuk segmen MBT ini diperkirakan di bawah Rp 500 juta, dengan catatan tanahnya merupakan aset milik pemerintah.

Dalam skema tersebut, pemerintah dapat bekerja sama dengan pengembang untuk urusan tanahnya.

Sementara itu, masyarakat bisa memperoleh rumah tersebut melalui sistem hak pakai dengan masa berlaku antara 60 hingga 90 tahun.

Konsep tersebut, kata Deddy, sudah diterapkan oleh salah satu apartemen di Jakarta. Ia pun melihat peluang agar hal serupa bisa diterapkan untuk rumah tapak.

"Nah, itu bisa jadi satu terobosan kalau anak milenial atau masyarakat memang ingin punya rumah di tengah kota. Kan ramai sekarang (tanah di) tengah kota ini mahal," ujar Deddy.

Tanah Jadi Isu Utama

Saat acara International Conference on Infrastructure di Jakarta, Rabu (12/6/2025), Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah mengatakan bahwa permasalahan utama sektor perumahan adalah ketersediaan dan harga tanah.

Baca juga: Dirjen Kementerian PKP Sebut Rumah Subsidi Mini di Kota Cocok untuk Pasutri Satu Anak

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan