APERSI: Rumah Subsidi 18 Meter Lebih Tepat Dibangun di Kota Penyangga
Apersi menilai rumah dengan luas bangunan 18 meter persegi lebih cocok dibangun di kota-kota penyangga, bukan di pusat kota.
Penulis:
Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor:
Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Deddy Indrasetiawan menilai rumah dengan luas bangunan 18 meter persegi lebih cocok dibangun di kota-kota penyangga, bukan di pusat kota.
Penilaian ini muncul seiring dengan rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menggodok aturan baru mengenai pengurangan batas minimum luas tanah dan bangunan untuk rumah subsidi agar bisa dibangun di pusat kota.
Baca juga: Apersi Minta Kementerian PKP Perjelas Kriteria Pengembang Nakal di Penyediaan Rumah Bersubsidi
Dalam draf Keputusan Menteri (Kepmen) yang sedang disusun, luas minimal tanah rumah subsidi yang semula 60 meter persegi diusulkan turun menjadi 25 meter persegi dan luas bangunan dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi.
Menurut Deddy, rumah subsidi dengan ukuran sekecil itu tidak cocok dibangun di pusat kota, tetapi lebih baik di kota penyangga.
Ia memandang rumah subsidi dengan luas seperti itu bisa dibangun di kota metropolitan yang jumlah penduduknya rata-rata 1 juta, bukan kota megapolitan yang di atas 5 juta.
"Rata-rata 1 juta (penduduk di kota) metropolitan itu penyanggah ibu kota kan," kata Deddy kepada wartawan di kantor DPP APERSI, Otista Raya, Jakarta Timur, Jumat (20/6/2025).
Jika rumah berukuran 18 meter persegi tetap ingin dibangun di pusat kota, maka skemanya dinilai bukan berupa rumah subsidi, melainkan rumah komersial.
Lalu, jika rumah berukuran 18 meter persegi tetap ingin dibangun di pusat kota, lebih cocok diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Tanggung (MBT), bukan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Baca juga: Cicilan Rumah Subsidi 18 Meter di Perkotaan Rp600 Ribu, Pemerintah: Tak Cocok untuk Pasutri 2 Anak
Harga rumah untuk segmen MBT ini diperkirakan di bawah Rp 500 juta, dengan catatan tanahnya merupakan aset milik pemerintah.
Dalam skema tersebut, pemerintah dapat bekerja sama dengan pengembang untuk urusan tanahnya.
Sementara itu, masyarakat bisa memperoleh rumah tersebut melalui sistem hak pakai dengan masa berlaku antara 60 hingga 90 tahun.
Konsep tersebut, kata Deddy, sudah diterapkan oleh salah satu apartemen di Jakarta. Ia pun melihat peluang agar hal serupa bisa diterapkan untuk rumah tapak.
"Nah, itu bisa jadi satu terobosan kalau anak milenial atau masyarakat memang ingin punya rumah di tengah kota. Kan ramai sekarang (tanah di) tengah kota ini mahal," ujar Deddy.
Tanah Jadi Isu Utama
Saat acara International Conference on Infrastructure di Jakarta, Rabu (12/6/2025), Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah mengatakan bahwa permasalahan utama sektor perumahan adalah ketersediaan dan harga tanah.
Baca juga: Dirjen Kementerian PKP Sebut Rumah Subsidi Mini di Kota Cocok untuk Pasutri Satu Anak
Kementerian PKP Ungkap Alasan Lippo Group Jadi yang Pertama Pamerkan Desain Rumah Subsidi di Kota |
![]() |
---|
Dirjen Kementerian PKP Ramal Cicilan Rumah Subsidi di Kota Hanya Rp 600-700 Ribu Per Bulan |
![]() |
---|
Rencana Kementerian PKP Kurangi Minimal Luas Rumah Subsidi Dinilai Langgar Standar Minimum Hunian |
![]() |
---|
Desain Rumah Subsidi di Perkotaan Banjir Respons Negatif, Kementerian PKP: Yang Positif Juga Banyak |
![]() |
---|
Luas Minimal Rumah Subsidi Dikurangi Jadi 18 Meter, Menteri Ara Klaim Tetap Layak Huni |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.