Kamis, 13 November 2025

GREAT Institute: Pemerintah Perlu Negosiasi Ulang Kebijakan Tarif Trump

Barang impor dari Indonesia dikenakan tarif 19 persen, sementara barang impor dari Amerika dikenakan tarif 0 persen.

Penulis: Erik S
Istimewa
NEGOSIASI TARIF DAGANG- Ketua Dewan Direktur GREAT Institute Dr Syahganda Nainggolan mengapresiasi hasil negosiasi Prabowo Subianto dan Donald Trump terkait tarif dagang 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-  Presiden Prabowo diberitakan berhasil melakukan negosiasi tarif dagang Indonesia-Amerika dalam akun media sosial milik Presiden Donald Trump pada hari Rabu pagi waktu Indonesia (16/7/2025).

Barang impor dari Indonesia dikenakan tarif 19 persen, sementara barang impor dari Amerika dikenakan tarif 0 persen.

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute Dr Syahganda Nainggolan mengapresiasi hasil negosiasi Prabowo dan Trump. Namun, kebijakan tarif tersebut masih jauh untuk dikatakan sebagai kebijakan yang free and fair bagi Indonesia.

“Informasi mengenai kebijakan tarif tersebut masih dikatakan simpang siur mengingat sebelumnya Indonesia dikenakan tarif baseline sebesar 10 persen, sebagaimana yang diberlakukan untuk semua negara. Berarti sebenarnya kita dikenakan total tarif sebesar 29 persen,” ucap Syahganda dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).

Baca juga: AS Pangkas Tarif Impor Produk Indonesia Jadi 19 Persen, Pasar Bereaksi Positif

Meskipun Presiden Prabowo Subianto menyatakan telah berupaya keras dalam bernegosiasi untuk menurunkan tarif resiprokal dari sebelumnya 32 persen, GREAT Institute memandang bahwa kebijakan ini tetap tidak mencerminkan prinsip perdagangan yang adil dan saling menguntungkan. Hal yang tidak adil adalah, komoditas dari Amerika Serikat masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai tarif tambahan, seiring komitmen Indonesia dalam membuka akses pasar secara penuh untuk produk-produk energi, agrikultur, dan manufaktur asal AS. 

“Kebijakan ini menunjukkan posisi Indonesia dan Amerika yang asimetrik, ini berpotensi menciptakan distorsi dalam perdagangan, di mana produsen domestik Indonesia menghadapi hambatan tarif, sementara produsen AS menikmati akses bebas hambatan,” ujar alumni Universitas Indonesia itu.

Presiden Prabowo sendiri dalam pernyataannya sendiri menyampaikan bahwa ia baru akan puas jika tarif menjadi 0 persen suatu pernyataan yang menunjukkan ketegasan beliau dalam memperjuangkan kepentingan nasional di tengah tekanan global.

“Saya baru puas jika tarif menjadi 0 persen,” ujar Prabowo.

Bagi Indonesia, tarif ini bukan sekadar angka. Tarif 19% ini langsung berdampak pada daya saing sektor-sektor industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan produk perikanan, yang proporsinya sebesar 38?ri total ekspor ke AS. 

Kenaikan biaya akibat tarif akan memaksa banyak pelaku usaha untuk mengurangi produksi, menahan ekspansi, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Hal ini diperkirakan mengingat bahwa posisi ekspor Indonesia ke AS saat ini relatif lebih kecil dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam (20%) dan Meksiko (30%), sehingga secara teoritis masih terdapat ruang untuk mengambil pangsa pasar dari negara-negara tersebut.

Namun, peluang tersebut bersifat terbatas dan bersyarat. Tanpa peningkatan produktivitas, efisiensi logistik, dan perbaikan struktur biaya, Indonesia tetap berisiko kalah bersaing meskipun tarifnya secara relatif lebih rendah. 

“Kapasitas manufaktur domestik kita saat ini belum dirancang untuk ekspansi cepat di tengah ketidakpastian soal tarif dan menurunnya permintaan global. Jika tidak disertai dengan strategi industrialisasi jangka panjang, peluang tersebut dapat berubah menjadi tekanan baru, terutama dalam bentuk persaingan biaya tenaga kerja, ketergantungan pada bahan baku impor, dan ketidakpastian kebijakan perdagangan global, dan tentunya ini akan memperlambat target pencapaian pertumbuhan 8 persen sesuai janji politik Prabowo kepada rakyat Indonesia,” lanjut Syahganda.

Lebih jauh lagi, kebijakan sepihak soal tarif barang impor 0 persen dari Amerika ini tidak selaras dengan agenda industrialisasi nasional yang menjadi prioritas pemerintahan Presiden Prabowo. Visi Indonesia Emas 2045 menekankan pentingnya membangun basis industri yang berdaya saing global dan memiliki kemandirian teknologi. Namun, dengan bebasnya produk industri AS masuk ke Indonesia, ada potensi percepatan dominasi produk impor dari AS, yang termasuk sektor otomotif, pertanian, sampai energi. 

“Bagi industri nasional yang tengah berada dalam tahap penguatan kapasitas dan daya saing, struktur perdagangan yang timpang seperti ini dapat memperlambat proses akumulasi teknologi dan melemahkan potensi tumbuhnya basis manufaktur yang mandiri. Hal ini dapat menekan pelaku usaha lokal sehingga ruang bagi industrialisasi nasional pun semakin menyempit,” ujarnya.

Oleh karena itu, GREAT Institute menyarankan kepada Pemerintah untuk melakukan negosiasi ulang dengan Amerika dengan regulasi yang transparan, terdokumentasi dengan baik, serta penuh dengan perhitungan ekonomi yang menguntungkan kita.

“Kami mendukung Presiden Prabowo untuk bernegosiasi lebih lanjut dengan Presiden Trump untuk mencapai tarif resiprokal yang lebih rendah dan adil, serta mendokumentasikan tiap kesepakatan dengan jelas transparan demi komitmen bersama dan iklim usaha yang lebih baik,” tutup Syahganda.

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved