Sorot Pembatasan Impor BBM Non-subsidi, Akademisi Nilai Perlu Evaluasi untuk Perlindungan Konsumen
Kebijakan pembatasan impor BBM nonsubsidi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bagi perusahaan swasta melalui menuai sorotan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pembatasan impor BBM nonsubsidi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bagi perusahaan swasta melalui menuai sorotan.
Surat Edaran (SE) Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 tersebut dinilai menimbulkan dampak hukum terhadap konsumen.
Hal itu diungkapkan advokat sekaligus Akademisi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Latifah Attamimi.
Latifah adalah seorang advokat, auditor hukum, konsultan pajak, dan mediator.
Latifah juga merupakan Managing Partner di IPRI Law Firm.
Dia mengatakan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, surat edaran menteri tidak termasuk jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
"Meskipun demikian, surat edaran memiliki fungsi sebagai beleidsregel (peraturan kebijakan) yang bersifat internal administratif. Namun, ketika surat edaran menimbulkan akibat hukum terhadap masyarakat luas, maka secara prinsip ia harus tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principles of good governance)," kata Kandidat Doktor Ilmu Hukum di Universitas Bhayangkara tersebut dalam pesan yang diterima, Rabu (5/11/2025).
Latifah menegaskan bahwa tersebut sah secara administratif, tetapi belum memenuhi keadilan substantif.
“Karenanya, perlu dilakukan peninjauan agar kebijakan publik di sektor energi dapat mencerminkan prinsip-prinsip hukum perlindungan konsumen, keadilan sosial, dan keseimbangan kepentingan publik dan seperti ini menjadi pembelajaran dan tak akan terulang kembali sehingga Konsumen tidak dirugikan dan Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM tidak melanggar ketentuan tentang Perlindungan Konsumen,” kata dia.
Latifah menjelaskan, SE tersebut memiliki konsekuensi hukum bagi pelaku usaha dan konsumen di luar struktur internal kementerian.
"Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum faktual terhadap badan usaha swasta dan konsumen, sehingga secara materiil dapat diuji kesesuaiannya dengan undang-undang yang lebih tinggi, seperti UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Latifah menyoroti hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999.
Pasalnya, mengacu pasal tersebut, konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa; hak untuk memilih serta mendapatkan barang atau jasa sesuai nilai tukar dan kondisi yang dijanjikan; serta hak atas informasi yang benar.
Kebijakan pembatasan impor BBM, kata Latifah, menyebabkan berkurangnya kebebasan konsumen.
“Dengan berlakunya Surat Edaran ESDM tersebut, maka pihak yang dirugikan adalah Konsumen, dan Kementerian ESDM patut diduga telah melanggar Ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 4," kata dia.
Untuk itu, Latifah menyarankan agar pemerintah menerapkan pendekatan hukum yang lebih responsif dan partisipatif.
| Wamen ESDM Sebut Waste to Energy Kontribusi Nyata Bagi Ketahanan Energi |
|
|---|
| Setahun Kebijakan Pro-Rakyat di ESDM, Buka Puluhan Ribu Peluang Kerja |
|
|---|
| Transisi Energi Prorakyat dan Ramah Lingkungan, ESDM Perluas Program PLTSa, Biogas, dan Biomassa |
|
|---|
| Arah Baru Tata Kelola Migas, Warga Kini Jadi Bagian dari Produksi Energi Nasional |
|
|---|
| Bahlil: Kebijakan Impor BBM Tahun 2026 Berdasarkan Asas Keadilan dan Regulasi |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.