Bencana Kemanusiaan di Sudan: RSF Kuasai El-Fasher, Ribuan Warga Sipil Hilang dan Dibantai
Ribuan warga sipil tewas dan hilang usai RSF merebut El-Fasher, Darfur Utara. Dunia desak gencatan senjata dan akses bantuan segera.
Ringkasan Berita:
- Situasi di Sudan kian memburuk setelah Pasukan Dukungan Cepat (RSF) merebut kota El-Fasher, Darfur Utara.
- Ribuan warga sipil dilaporkan hilang, dibunuh, atau melarikan diri ke padang pasir tanpa makanan dan perlindungan.
- Adanya eksekusi massal dan kekerasan seksual, sementara citra satelit menunjukkan bukti pembersihan etnis.
- PBB memperingatkan kekejaman ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan internasional.
TRIBUNNEWS.COM - Situasi kemanusiaan di Sudan memburuk.
Baru-baru ini, Pasukan Dukungan Cepat (RSF) atau pasukan paramiliter yang sebelumnya dioperasikan oleh Pemerintah Sudan merebut kota El-Fasher, ibu kota Darfur Utara.
Ribuan warga sipil dilaporkan hilang, dibunuh, atau melarikan diri ke padang pasir dalam kondisi kelaparan dan tanpa perlindungan.
Menurut laporan Al Jazeera, pengambilalihan El-Fasher terjadi setelah pengepungan selama 18 bulan yang menyebabkan kelaparan dan kekurangan pasokan medis.
Puluhan ribu warga masih terjebak di kota itu, sementara ribuan lainnya melarikan diri ke Tawila dan daerah sekitar.
Caroline Bouvard, direktur Solidarites International untuk Sudan, mengatakan pihaknya kehilangan kontak dengan banyak warga di El-Fasher sejak kota itu dikuasai RSF.
“Kami terus mendengar laporan tentang warga yang terjebak di jalan atau di desa-desa yang tidak bisa diakses karena alasan keamanan,” ujarnya.
Warga yang berhasil melarikan diri menceritakan kekerasan brutal, termasuk eksekusi massal, penyiksaan, dan kekerasan seksual.
Arab News melaporkan, beberapa orang dipaksa membayar tebusan untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Banyak yang kini tinggal di kamp-kamp pengungsi seperti Al-Dabbah dan Tawila tanpa makanan, air, dan tempat tinggal yang layak.
Jaringan Dokter Sudan menyebut sedikitnya 1.500 orang tewas dalam dua hari saat warga mencoba melarikan diri dari El-Fasher.
“Ini adalah genosida nyata berdasarkan etnis,” kata juru bicara Tasneem Al-Amin.
Baca juga: El Fasher Jatuh ke Tangan RSF, Ribuan Warga Sudan Selamatkan Diri di Tengah Pembantaian Brutal
Citra satelit yang dianalisis oleh Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale menunjukkan adanya bukti pembunuhan massal dan pembersihan etnis terhadap kelompok Fur, Zaghawa, dan Berti.
Video yang beredar juga memperlihatkan pasukan RSF menembaki warga sipil tak bersenjata dan melakukan kekerasan terhadap perempuan serta anak-anak.
BBC News melaporkan bahwa meski pemimpin RSF, Mohamed Hamdan Dagalo, berjanji menyelidiki pelanggaran tersebut, tidak jelas sejauh mana ia mengendalikan pasukannya, yang terdiri dari milisi dan tentara bayaran dari Chad dan Sudan Selatan.
Kantor HAM PBB memperingatkan bahwa kekerasan di El-Fasher dapat digolongkan sebagai kejahatan internasional.
Setidaknya 25 perempuan dilaporkan diperkosa secara massal di tempat penampungan dekat Universitas El-Fasher.
Organisasi kemanusiaan seperti Relief International dan Médecins Sans Frontières (MSF) menyebut situasi di kamp-kamp pengungsian “mengerikan”.
Rumah sakit kewalahan, dan banyak pasien meninggal karena penyakit yang seharusnya bisa dicegah.
Amerika Serikat, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir mengutuk pembantaian di El-Fasher.
“RSF harus menghentikan kekerasan etnis. Tragedi di El Geneina tidak boleh terulang,” tulis Departemen Luar Negeri AS di X.
Menurut PBB, lebih dari 150.000 orang tewas sejak perang pecah pada April 2023 antara RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF).
Sekitar 12 juta warga terpaksa mengungsi, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia.
“Tanpa akses kemanusiaan dan rute aman, seluruh komunitas di Darfur bisa hancur,” ujar Shahd Hammou dari Center for Civilians in Conflict kepada Arab News.
Mengenal Pasukan Dukungan Cepat (RSF)
Baca juga: Kebrutalan RSF Bantai Rakyat Sudan Dapat Kecaman Dunia, 1.500 Orang Dilaporkan Tewas
RSF (Rapid Support Forces) adalah pasukan paramiliter yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal dengan julukan “Hemedti”.
RSF awalnya dibentuk dari milisi Janjaweed, kelompok bersenjata yang beroperasi di wilayah Darfur pada awal 2000-an dan dituduh melakukan kejahatan perang serta pembersihan etnis terhadap kelompok non-Arab.
Di bawah pemerintahan diktator Omar al-Bashir, Janjaweed dilegalkan menjadi RSF pada tahun 2013 untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontakan dan menjaga keamanan perbatasan.
RSF kemudian tumbuh menjadi kekuatan militer yang sangat besar dan kaya, karena menguasai tambang emas serta jaringan ekonomi sendiri — bahkan lebih independen dari tentara reguler.
Setelah revolusi 2019 yang menggulingkan al-Bashir, RSF menjadi bagian dari pemerintahan sementara dan bersekutu dengan tentara nasional (SAF), sebelum akhirnya berselisih tajam dengan mereka pada 2023.
Mengenal Angkatan Bersenjata Sudan (SAF)
SAF (Sudanese Armed Forces) adalah militer resmi Sudan, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala negara de facto sejak kudeta 2021.
SAF merupakan institusi militer utama yang sudah ada sejak kemerdekaan Sudan pada 1956.
Tentara ini memiliki kekuasaan politik besar, terutama setelah sering menggulingkan pemerintahan sipil melalui kudeta, termasuk rezim Omar al-Bashir (1989–2019) dan pemerintahan transisi sipil (2021).
SAF berupaya mempertahankan statusnya sebagai satu-satunya kekuatan bersenjata nasional dan menolak struktur otonom RSF.
Al-Burhan menuduh RSF berusaha merebut kekuasaan dan menghancurkan negara, sementara SAF mengklaim berjuang untuk menjaga kesatuan dan kedaulatan Sudan.
Singkatnya, RSF adalah kekuatan paramiliter kaya dan otonom yang lahir dari milisi Darfur, sedangkan SAF adalah militer resmi Sudan yang memegang kendali pemerintahan nasional.
Persaingan antara keduanya — dua jenderal, dua kekuatan, dua ambisi — menjadi penyebab utama perang saudara Sudan yang dimulai pada April 2023.
Akar Konflik RSF dan SAF
Akar konflik di Sudan, khususnya antara Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), terletak pada perebutan kekuasaan, ketegangan etnis, serta kendali sumber daya yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Konflik terbaru pecah pada April 2023 setelah perselisihan antara dua jenderal kuat: Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin SAF sekaligus kepala negara de facto, dan Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, komandan RSF.
Keduanya sebelumnya merupakan sekutu dalam kudeta militer tahun 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil pasca revolusi 2019, namun kemudian berselisih terkait rencana integrasi RSF ke dalam tentara nasional.
RSF sendiri berakar dari milisi Janjaweed, kelompok yang dituduh melakukan genosida terhadap etnis non-Arab di Darfur pada awal 2000-an di bawah rezim Omar al-Bashir.
Milisi itu kemudian dilegalkan menjadi RSF dan diberi kekuatan ekonomi serta militer besar, menjadikannya semacam “negara dalam negara” yang sulit dikendalikan.
Selain perebutan kekuasaan, konflik ini juga dilatarbelakangi oleh persaingan etnis dan sumber daya alam.
Wilayah Darfur kaya akan emas, lahan subur, dan jalur perdagangan penting. RSF didominasi oleh etnis Arab, sementara korban utama kekerasan berasal dari kelompok non-Arab seperti Fur, Zaghawa, dan Berti, yang kini menghadapi ancaman pembersihan etnis.
Baca juga: Apa Itu RSF? Militan yang Lakukan Pembunuhan Sadis, Tewaskan 1.500 Warga Sudan Selama 3 Hari
Upaya transisi menuju pemerintahan sipil setelah tumbangnya al-Bashir sempat memunculkan harapan, namun kudeta tahun 2021 oleh SAF dan RSF menggagalkan proses tersebut.
Ketika negosiasi internasional berusaha mendorong pembentukan pemerintahan sipil baru, rivalitas Burhan dan Hemedti justru memicu perang terbuka yang kini melumpuhkan negara itu.
Konflik juga diperparah oleh campur tangan asing.
RSF diduga mendapat dukungan senjata dan dana dari Uni Emirat Arab melalui Chad, sementara SAF disokong oleh Mesir dan memiliki hubungan dengan Rusia, termasuk dalam pembicaraan soal pangkalan laut di Laut Merah.
Persaingan geopolitik ini membuat perang semakin sulit dihentikan.
Secara keseluruhan, krisis Sudan bukan sekadar pertarungan dua jenderal, melainkan warisan panjang perang etnis, kesenjangan ekonomi, dan intervensi luar negeri yang membuat negara itu terus terjebak dalam siklus kekerasan sejak era al-Bashir.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)
| Barbie Kumalasari Larang Nikita Mirzani Ajukan Banding usai Divonis 4 Tahun Penjara, Ini Alasannya |
|
|---|
| Sedih Onad Terjerat Narkoba, Denny Sumargo Kenang Momen Pertama Kali Bertemu Suami Beby Prisillia |
|
|---|
| Iran Bersumpah Tak Akan Setop Produksi Uranium Meski Dikepung Barat, Sinyal Perang Timteng Berkobar? |
|
|---|
| Sosok Bripda Waldi, Pelaku Pembunuhan Dosen Wanita di Jambi, Sakit Hati Ajakan Balikan Ditolak |
|
|---|
| Prakiraan Cuaca BMKG Jawa Tengah Hari Ini Senin, 3 November 2025: Semarang hingga Surakarta Hujan |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.