Jumat, 7 November 2025

Kesaksian Mengerikan dari El-Fasher: Mayat Bergelimpangan di Jalan saat RSF Ambil Alih Kekuasaan

Penyintas el-Fasher ungkap kisah mengerikan: mayat di jalan, keluarga terpisah, kelaparan parah usai kota dikuasai RSF.

Tangkap Layar Al Jazeera
KONFLIK DI SUDAN. Kengerian baru terungkap dari kota el-Fasher, Sudan barat. Para penyintas tiba di Tawila dan menceritakan kisah memilukan usai pengepungan selama 18 bulan berakhir dengan jatuhnya kota itu ke tangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Tangkap layar Al Jazeera, Selasa (4/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Kengerian di el-Fasher, Sudan Barat, terungkap setelah penyintas melarikan diri ke Tawila dan menggambarkan mayat bergelimpangan, kelaparan, serta keluarga yang terpisah.
  • Kota itu jatuh ke tangan RSF pada 26 Oktober setelah 18 bulan pengepungan. WHO mencatat ratusan pasien tewas di rumah sakit, sementara 70.000 warga mengungsi.
  • Citra satelit Universitas Yale menunjukkan puluhan lokasi jenazah dan tanah memerah akibat darah dan pembakaran.

TRIBUNNEWS.COM - Kengerian baru terungkap dari kota el-Fasher, Sudan barat.

Para penyintas tiba di Tawila dan menceritakan kisah memilukan usai pengepungan selama 18 bulan berakhir dengan jatuhnya kota itu ke tangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

Tawila adalah sebuah kota kecil di wilayah Darfur Utara, Sudan, yang terletak di antara el-Fasher dan Kutum.

Kota ini berada sekitar 60–70 kilometer barat daya dari el-Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara.

Secara geografis, Tawila terletak di daerah semi-gurun dan dikelilingi perbukitan berbatu khas lanskap Darfur.

Kota ini sering menjadi tempat pengungsian sementara bagi warga sipil akibat konflik antara Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan angkatan bersenjata Sudan (SAF).

Menurut laporan Al Jazeera pada Senin (3/11/2025), para pengungsi menggambarkan pemandangan mayat bergelimpangan di jalan, keluarga yang terpisah, serta hari-hari panjang tanpa makanan maupun air.

Fatima Yahya, salah satu penyintas, mengaku masih trauma setelah tiga hari kelaparan sebelum melarikan diri dari el-Fasher.

“Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana di jalanan, di dalam rumah, dan di gerbang rumah,” katanya kepada Al Jazeera.

Suami dan pamannya hilang, sementara banyak warga lainnya masih belum ditemukan.

RSF merebut el-Fasher pada 26 Oktober, menguasai kota besar terakhir yang sebelumnya berada di bawah kendali militer Sudan.

Kota yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa itu kini berubah menjadi kuburan massal akibat eksekusi singkat, penjarahan, dan kekerasan seksual yang meluas.

Baca juga: Bencana Kemanusiaan di Sudan: RSF Kuasai El-Fasher, Ribuan Warga Sipil Hilang dan Dibantai

Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale mengonfirmasi adanya sedikitnya 31 lokasi di mana objek menyerupai tubuh manusia terlihat dalam citra satelit setelah kota itu direbut.

Peneliti juga mencatat perubahan warna tanah menjadi kemerahan di beberapa area, diduga akibat darah dan pembakaran jenazah.

Farhat Said, penyintas lain, mengaku harus meninggalkan suaminya yang terluka parah akibat serangan artileri RSF.

Ia berjalan dua hari bersama anaknya menuju Tawila di bawah hujan peluru tanpa membawa harta apa pun.

“Saat penembakan makin berat, anak saya yang berusia 11 tahun memohon agar kami kabur."

"Tapi suami saya terlalu lemah untuk bergerak,” ujarnya.

Khadiga Abdalla, 46 tahun, juga menuturkan bagaimana warga bertahan hidup dengan sisa biji minyak yang biasa diberikan untuk ternak.

“Kami tidak makan sorgum selama enam bulan. Kami hanya makan ambaz,” katanya.

Anaknya kini dirawat karena trauma psikologis setelah menyaksikan kekerasan brutal di el-Fasher.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sedikitnya 460 pasien tewas saat RSF menyerang rumah sakit bersalin Saudi di el-Fasher.

Juru bicara WHO, Christian Lindmeier, mengatakan para tenaga medis juga menjadi korban penculikan dalam serangan tersebut.

Tim medis dari Dokter Lintas Batas di Tawila menemukan hampir semua anak di bawah lima tahun yang tiba di kamp pengungsian menderita malnutrisi berat.

Banyak penyintas juga mengalami luka tembak, penyiksaan, dan gangguan pencernaan akibat berbulan-bulan makan pakan ternak.

Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), sekitar 70.000 orang telah mengungsi dari el-Fasher sejak 26 Oktober.

Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibanding perkiraan semula karena sebagian besar warga diduga tewas atau ditahan RSF.

Baca juga: WHO Kutuk Pembantaian Pasien Rumah Sakit di Sudan, 460 Nyawa Dihabisi

Peneliti Universitas Yale mencatat bahwa tidak seperti serangan RSF sebelumnya di kamp pengungsian Zamzam pada April, tidak ada tanda-tanda eksodus massal dalam citra satelit terbaru dari el-Fasher.

“Mayoritas warga sipil tewas, ditangkap, atau bersembunyi,” tulis laporan itu.

Presiden Komite Palang Merah Internasional, Mirjana Spoljaric, menyebut situasi di el-Fasher “mengerikan” dan memperingatkan ribuan warga masih terjebak tanpa akses makanan atau bantuan medis.

Kecaman internasional terus berdatangan.

Paus Leo XIV menyerukan gencatan senjata segera dan pembukaan koridor kemanusiaan, sementara Senator AS Jim Risch meminta Washington menetapkan RSF sebagai “organisasi teroris asing.”

Al Jazeera melaporkan, RSF mengaku telah menangkap beberapa pejuang, termasuk komandan Abu Lulu yang muncul dalam video eksekusi yang telah diverifikasi oleh kantor berita Sanad.

Kini, ribuan penyintas yang selamat di kamp Tawila hidup dengan bantuan terbatas.

“Kami berdoa kepada Tuhan agar menolong kami,” kata Farhat Said, menggambarkan penderitaan ribuan orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka demi bertahan hidup.

Mengenal Pasukan Dukungan Cepat (RSF)

RSF (Rapid Support Forces) adalah pasukan paramiliter yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal dengan julukan “Hemedti”.

RSF awalnya dibentuk dari milisi Janjaweed, kelompok bersenjata yang beroperasi di wilayah Darfur pada awal 2000-an dan dituduh melakukan kejahatan perang serta pembersihan etnis terhadap kelompok non-Arab.

Di bawah pemerintahan diktator Omar al-Bashir, Janjaweed dilegalkan menjadi RSF pada tahun 2013 untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontakan dan menjaga keamanan perbatasan.

RSF kemudian tumbuh menjadi kekuatan militer yang sangat besar dan kaya, karena menguasai tambang emas serta jaringan ekonomi sendiri — bahkan lebih independen dari tentara reguler.

Setelah revolusi 2019 yang menggulingkan al-Bashir, RSF menjadi bagian dari pemerintahan sementara dan bersekutu dengan tentara nasional (SAF), sebelum akhirnya berselisih tajam dengan mereka pada 2023.

Mengenal Angkatan Bersenjata Sudan (SAF)

SAF (Sudanese Armed Forces) adalah militer resmi Sudan, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala negara de facto sejak kudeta 2021.

SAF merupakan institusi militer utama yang sudah ada sejak kemerdekaan Sudan pada 1956.

Tentara ini memiliki kekuasaan politik besar, terutama setelah sering menggulingkan pemerintahan sipil melalui kudeta, termasuk rezim Omar al-Bashir (1989–2019) dan pemerintahan transisi sipil (2021).

Baca juga: Bencana Kemanusiaan di Sudan: RSF Kuasai El-Fasher, Ribuan Warga Sipil Hilang dan Dibantai

SAF berupaya mempertahankan statusnya sebagai satu-satunya kekuatan bersenjata nasional dan menolak struktur otonom RSF.

Al-Burhan menuduh RSF berusaha merebut kekuasaan dan menghancurkan negara, sementara SAF mengklaim berjuang untuk menjaga kesatuan dan kedaulatan Sudan.
 
Singkatnya, RSF adalah kekuatan paramiliter kaya dan otonom yang lahir dari milisi Darfur, sedangkan SAF adalah militer resmi Sudan yang memegang kendali pemerintahan nasional.

Persaingan antara keduanya — dua jenderal, dua kekuatan, dua ambisi — menjadi penyebab utama perang saudara Sudan yang dimulai pada April 2023.

(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved