Kamis, 6 November 2025

AS dan PBB Desak Gencatan Senjata Segera di Sudan Usai RSF Kuasai Kota el-Fasher

PBB dan AS menyerukan gencatan senjata segera di el-Fasher, Darfur Utara, setelah kota itu jatuh ke tangan RSF dan laporan kekejaman muncul.

Tangkap Layar Al Jazeera
KONFLIK DI SUDAN. Kengerian baru terungkap dari kota el-Fasher, Sudan barat. Para penyintas tiba di Tawila dan menceritakan kisah memilukan usai pengepungan selama 18 bulan berakhir dengan jatuhnya kota itu ke tangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Tangkap layar Al Jazeera, Selasa (4/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • PBB dan Amerika Serikat mendesak gencatan senjata segera di Sudan setelah Pasukan Dukungan Cepat (RSF) merebut kota el-Fasher, Darfur Utara.
  • Muncul banyak laporan kekejaman terhadap warga sipil. PBB memperingatkan risiko kekerasan etnis dan kekejaman massal meningkat, sementara AS tengah memediasi gencatan senjata kemanusiaan tiga bulan.
  • Sejak 2023, konflik telah menewaskan 40.000 orang dan memaksa 14 juta lainnya mengungsi.

TRIBUNNEWS.COM - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amerika Serikat (AS) mendesak dilakukannya gencatan senjata segera di Sudan.

Seruan itu terlontar setelah pasukan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) merebut kota el-Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara, pada Minggu (2/11/2025).

Menurut laporan BBC, setelah perebutan kota, muncul banyak laporan mengenai kekejaman terhadap warga sipil oleh RSF dan kelompok bersenjata sekutunya.

Dalam sidang Dewan Keamanan PBB, Asisten Sekretaris Jenderal untuk Afrika, Martha Ama Akyaa Pobee, memperingatkan bahwa situasi di Sudan memburuk drastis sejak pengarahan terakhirnya.

“Jatuhnya kota itu menandai perubahan signifikan dalam dinamika keamanan. Implikasinya bagi rakyat Sudan dan kawasan ini sangat besar,” ujar Pobee, dikutip dari Reuters.

Ia menegaskan bahwa el-Fasher, yang telah dikepung selama lebih dari 500 hari, kini menjadi simbol penderitaan rakyat Sudan di tengah kekerasan yang terus meluas.

Pobee juga menyoroti peningkatan pertempuran di wilayah Kordofan, terutama setelah kota strategis Barah di Kordofan Utara direbut oleh RSF pekan lalu.

“Risiko kekejaman massal, kekerasan etnis, dan pelanggaran hukum humaniter internasional masih sangat tinggi,” katanya.

Sementara itu, Amerika Serikat menyatakan sedang memediasi gencatan senjata kemanusiaan tiga bulan sebagai tahap awal menuju proses politik sembilan bulan.

“Kami menyusun rencana komprehensif dengan peta jalan yang jelas. Tahap pertama adalah gencatan senjata kemanusiaan selama tiga bulan,” ujar Massad Boulos, Penasihat Senior Washington untuk Urusan Arab dan Afrika, dikutip dari Al Jazeera.

Menurut BBC, AS bekerja sama dengan Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab dalam kelompok yang dikenal sebagai Quad untuk menengahi perdamaian di Sudan.

Baca juga: Krisis di Sudan Semakin Meluas, Bencana Pangan Sudah Terjadi di Kota El-Fasher

Keempat negara itu sebelumnya telah menyerukan gencatan senjata kemanusiaan guna memungkinkan penyaluran bantuan ke seluruh wilayah.

Laporan dan rekaman video menunjukkan dugaan kekejaman RSF terhadap warga sipil, termasuk pemukulan, pembunuhan, dan serangan seksual, menurut kesaksian warga dan pekerja kemanusiaan.

“Kekejaman yang telah kita saksikan sama sekali tidak dapat diterima,” tegas Boulos.

PBB memperkirakan konflik yang telah berlangsung sejak April 2023 itu telah menewaskan lebih dari 40.000 orang dan memaksa 14 juta lainnya mengungsi, menjadikannya krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini.

Menurut laporan Al Jazeera, sebagian besar wilayah Sudan kini berada di ambang kelaparan karena blokade bantuan dan kehancuran infrastruktur akibat perang.

Mengenal Pasukan Dukungan Cepat (RSF)

RSF (Rapid Support Forces) adalah pasukan paramiliter yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal dengan julukan “Hemedti”.

RSF awalnya dibentuk dari milisi Janjaweed, kelompok bersenjata yang beroperasi di wilayah Darfur pada awal 2000-an dan dituduh melakukan kejahatan perang serta pembersihan etnis terhadap kelompok non-Arab.

Di bawah pemerintahan diktator Omar al-Bashir, Janjaweed dilegalkan menjadi RSF pada tahun 2013 untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontakan dan menjaga keamanan perbatasan.

RSF kemudian tumbuh menjadi kekuatan militer yang sangat besar dan kaya, karena menguasai tambang emas serta jaringan ekonomi sendiri — bahkan lebih independen dari tentara reguler.

Setelah revolusi 2019 yang menggulingkan al-Bashir, RSF menjadi bagian dari pemerintahan sementara dan bersekutu dengan tentara nasional (SAF), sebelum akhirnya berselisih tajam dengan mereka pada 2023.

Mengenal Angkatan Bersenjata Sudan (SAF)

SAF (Sudanese Armed Forces) adalah militer resmi Sudan, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala negara de facto sejak kudeta 2021.

SAF merupakan institusi militer utama yang sudah ada sejak kemerdekaan Sudan pada 1956.

Tentara ini memiliki kekuasaan politik besar, terutama setelah sering menggulingkan pemerintahan sipil melalui kudeta, termasuk rezim Omar al-Bashir (1989–2019) dan pemerintahan transisi sipil (2021).

SAF berupaya mempertahankan statusnya sebagai satu-satunya kekuatan bersenjata nasional dan menolak struktur otonom RSF.

Al-Burhan menuduh RSF berusaha merebut kekuasaan dan menghancurkan negara, sementara SAF mengklaim berjuang untuk menjaga kesatuan dan kedaulatan Sudan.
 
Singkatnya, RSF adalah kekuatan paramiliter kaya dan otonom yang lahir dari milisi Darfur, sedangkan SAF adalah militer resmi Sudan yang memegang kendali pemerintahan nasional.

Persaingan antara keduanya — dua jenderal, dua kekuatan, dua ambisi — menjadi penyebab utama perang saudara Sudan yang dimulai pada April 2023.

Akar Konflik RSF dan SAF

Akar konflik di Sudan, khususnya antara Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), terletak pada perebutan kekuasaan, ketegangan etnis, serta kendali sumber daya yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Konflik terbaru pecah pada April 2023 setelah perselisihan antara dua jenderal kuat: Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin SAF sekaligus kepala negara de facto, dan Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, komandan RSF.

Keduanya sebelumnya merupakan sekutu dalam kudeta militer tahun 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil pasca revolusi 2019, namun kemudian berselisih terkait rencana integrasi RSF ke dalam tentara nasional.

Baca juga: Apa Itu RSF? Militan yang Lakukan Pembunuhan Sadis, Tewaskan 1.500 Warga Sudan Selama 3 Hari

RSF sendiri berakar dari milisi Janjaweed, kelompok yang dituduh melakukan genosida terhadap etnis non-Arab di Darfur pada awal 2000-an di bawah rezim Omar al-Bashir.

Milisi itu kemudian dilegalkan menjadi RSF dan diberi kekuatan ekonomi serta militer besar, menjadikannya semacam “negara dalam negara” yang sulit dikendalikan.

Selain perebutan kekuasaan, konflik ini juga dilatarbelakangi oleh persaingan etnis dan sumber daya alam.

Wilayah Darfur kaya akan emas, lahan subur, dan jalur perdagangan penting. RSF didominasi oleh etnis Arab, sementara korban utama kekerasan berasal dari kelompok non-Arab seperti Fur, Zaghawa, dan Berti, yang kini menghadapi ancaman pembersihan etnis.

Upaya transisi menuju pemerintahan sipil setelah tumbangnya al-Bashir sempat memunculkan harapan, namun kudeta tahun 2021 oleh SAF dan RSF menggagalkan proses tersebut.

Ketika negosiasi internasional berusaha mendorong pembentukan pemerintahan sipil baru, rivalitas Burhan dan Hemedti justru memicu perang terbuka yang kini melumpuhkan negara itu.

Konflik juga diperparah oleh campur tangan asing.

RSF diduga mendapat dukungan senjata dan dana dari Uni Emirat Arab melalui Chad, sementara SAF disokong oleh Mesir dan memiliki hubungan dengan Rusia, termasuk dalam pembicaraan soal pangkalan laut di Laut Merah.

Baca juga: WHO Kutuk Pembantaian Pasien Rumah Sakit di Sudan, 460 Nyawa Dihabisi

Persaingan geopolitik ini membuat perang semakin sulit dihentikan.

Secara keseluruhan, krisis Sudan bukan sekadar pertarungan dua jenderal, melainkan warisan panjang perang etnis, kesenjangan ekonomi, dan intervensi luar negeri yang membuat negara itu terus terjebak dalam siklus kekerasan sejak era al-Bashir.

(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved