Jumat, 22 Agustus 2025

Pemilu 2024

Lima 'Bocoran' Denny Indrayana Soal Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Pemilu

Mantan Wamenkumham Denny Indrayana memprediksi arah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem Pemilu legislatif.

dok. Kompas.com
Pakar hukum tata negara Prof Dr Denny Indrayana. Mantan Wamenkumham Denny Indrayana memprediksi arah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem Pemilu legislatif. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wamenkumham Denny Indrayana memprediksi arah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem Pemilu legislatif.

Sebagaimana diketahui, MK dikabarkan akan mengumumkan putusan terkait gugatan perubahan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup pada Kamis (15/6/2023).

"Saya sendiri berpendapat, putusan MK seharusnya menolak menentukan sistem pemilu legislatif mana yang konstitusional, dan mestinya diterapkan," ujarnya dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Selasa (13/6/2023).

Menurutnya, sistem pileg adalah open legal policy, dan merupakan kewenangan pembentuk UU yakni Presiden, DPR, dan DPD dalam penentuannya.

Denny berpendapat, sistem pemilu berubah menjadi proporsional tertutup akan menimbulkan kekacauan, bahkan ditakutkan berujung penundaan pemilu.

Alasannya adalah persiapan pemilu dengan sistem yang ada saat ini sudah berjalan.

"Oleh karena itulah saya mendorong MK tidak mengubah sistem pemilu menjadi tertutup. Agar MK tidak tergoda mengambil kewenangan lembaga legislatif, dan mendorong kita ke jalan buntu konstitusi, yang berpotensi menyebabkan pemilu jadi tertunda," katanya.

Baca juga: MK Bakal Putuskan Sistem Pemilu, Politikus Gerindra Berharap Bocoran Denny Indrayana Tidak Benar

"Meskipun, secara pribadi, sebagai bacaleg Partai Demokrat nomor urut 1 di Dapil Kalsel 2, saya justru, diuntungkan jika sistem tertutup yang diputuskan MK."

"Hal demikian sekaligus menegaskan, sama sekali tidak ada motif politik pribadi ketika saya mengadvokasi putusan MK seperti sekarang, tetap proporsional terbuka."

Berikut lima prediksi Denny Indrayana soal arah putusan MK terkait sistem pemilu:

1. Tidak dapat diterima, karena para pemohon tidak punya legal standing. Artinya sistem pileg tetap proporsional terbuka, tidak ada perubahan.

2. Menolak seluruhnya, karena permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk dikabulkan. Artinya sistem pileg tetap proporsional terbuka, tidak ada perubahan.

3. Mengabulkan seluruhnya, artinya sistem pileg berubah menjadi proporsional tertutup, tinggal apakah akan langsung diterapkan pada pemilu 2024, atau ditunda pelaksanaannya.

Kalau MK, mencari jalan kompromi antara berbagai kepentingan politik, maka putusannya akan mengabulkan seluruh permohonan, yang artinya mengganti sistem proporsional terbuka menjadi tertutup, namun diberlakukan untuk pemilu selanjutnya, tidak langsung berlaku di 2024.

4. Mengabulkan sebagian, yaitu ketika memutuskan sistem campuran (hybrid) antara penerapan proporsional tertutup yang memperhatikan nomor urut, sambil tetap memperhitungkan suara terbanyak (terbuka), yang akan diterapkan pada pemilu 2024, atau ditunda pelaksanaannya.

5. Mengabulkan sebagian, yaitu ketika memutuskan sistem campuran (hybrid) berdasarkan levelnya, misalnya proporsional tertutup untuk DPR RI, dan terbuka untuk tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, atau sebaliknya, yang akan diterapkan pada pemilu 2024, atau ditunda pelaksanaannya.

Diputus hari Kamis

Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menggelar sidang pengucapan putusan sistem Pemilu apakah tetap proporsional terbuka atau berubah menjadi tertutup, pada Kamis (15/6/2023).

Jadwal sidang putusan perkara 144/PUU-XX/2022 juga telah tercantum pada laman mkri.id dan dibenarkan oleh Juru Bicara MK Fajar Laksono.

Perihal ini, Ketua Dewan Koordinasi Wilayah (DKW) Garda Bangsa PKB DKI Jakarta, Adnan Mubarak menyambut penyegeraan pembacaan putusan MK soal pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, agar polemik di publik tak berlarut.

"Kami mengapresiasi baik apa yang telah dijadwalkan oleh MK untuk segera membacakan putusan terkait sidang pengujian undang-undang pemilu. Agar tidak terlalu berlarut-larut lagi dan makin menjadi polemik di masyarakat luas," kata Adnan di kantor PKB DKI Jakarta, Senin (12/6/2023).

Dirinya berharap putusan MK nanti tak cuma memberi penilaian akhir terhadap sistem pemilu yang sesuai UUD 1945, tapi juga memberikan solusi pelaksanaan sistem pemilu yang terbuka dan demokratis.

PKB pun kata Adnan berharap MK memutus sistem Pemilu tetap proporsional terbuka agar membuat para caleg dan kader potensial partai politik bisa fokus di Pemilu 2024.

"Garda Bangsa PKB Jakarta juga berharap putusan MK pada kali ini tetap dengan sistem (proporsional) terbuka, agar semua caleg, termasuk beberapa kader potensial kami dan termasuk saya juga bisa fokus (di Pemilu 2024)," ungkapnya.

Sebagai informasi MK akan memutus perkara nomor 144/PUU-XX/2022 terkait uji materiil sistem Pemilu pada Kamis (15/6/2023).

MK juga telah mengirimkan jadwal sidang kepada pihak pemerintah, DPR dan pihak terkait dalam gugatan tersebut untuk hadir di persidangan yang digelar di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta Pusat pukul 9.30 WIB.

"Para pihak pemerintah, DPR, pihak terkait, semuanya dikasih surat panggilan untuk hadir sidang. Hari ini, untuk perkara 114 itu sudah diagendakan nanti pengucapan putusan hari Kamis tanggal 15 Juni, jam 9.30 WIB di Ruang Sidang Pleno bersama dengan beberapa putusan yang lain," kata Jubir MK Fajar Laksono.

Peneliti BRIN: Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Lebih Baik

Pemilu dengan sistem proporsional tertutup lebih baik dibanding terbuka.

Hal ini disampaikan oleh Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro.

Alasannya, kata Siti Zuhro, berdasarkan hasil dari penelitian dan evaluasi Pemilu 2019.

Menurutnya, ada kekeliruan perihal anggapan buruknya sistem pemilu proporsional tertutup.

Hal ini ia sampaikan dalam webinar yang digelar Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Rabu (7/6/2023).

Hasil penelitian yang dilakukan Siti Zuhro menunjukkan tujuan penerapan proporsional terbuka yang dianggap akan memberikan ruang pemilih untuk memilih calonnya tidak benar-benar terwujud.

"Argumen bahwa proporsional terbuka akan mendorong pemilih untuk memilih wakilnya atas dasar preferensi atau pengetahuannya, ternyata juga tidak terbukti," kata Siti.

Bahkan, lanjutnya, sebagian besar pemilih justru kesulitan dalam menentukan pilihan. Masyarakat juga ia sebut kurang punya preferensi sehingga pada akhirnya hanya memilih lambang partai atau calon nomor urut satu.

Pada kasus Pemilu 2019, jelas Siti Zuhro, dari 575 kursi yang diperebutkan, hampir 63 persen jatuh pada caleg dengan nomor urut satu.

Meski tidak menutup kemungkinan juga calon nomor urut bawah atau lebih dari lima berpotensi menang jika mendapatkan suara terbanyak di internal partai pada suatu daerah pemilihan. Namun, mayoritas pemilih tetap memilih calon dengan nomor urut teratas.

"Ternyata dari sisi positifnya menunjukkan bahwa kebaikan proporsional terbuka masih kalah jauh dibandingkan dengan kebaikan proporsional tertutup," ujar Siti.

"Jadi, ini sama sekali tidak ada nuansa politik ya karena ini tahun politik, tapi ini hasil kajian tahun 2019, jadi segera setelah pemilu," tambahnya. 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan