Kamis, 28 Agustus 2025

Perludem Minta Revisi UU MK Dihentikan

Titi menyoroti soal wacana perubahan syarat batas minimal usia hakim konstitusi dari 70 menjadi 55 tahun.

Ist
Sejumlah elemen Masyarakat Madani melakukan pernyataan sikap atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) yang memberhentikan dan melakukan penggantian terhadap Hakim Konstitusi Aswanto di Gedung Mahkamah Konsitusi, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2022). 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dihentikan.

Titi menyoroti soal wacana perubahan syarat batas minimal usia hakim konstitusi dari 70 menjadi 55 tahun.

Menurutnya, rencana perubahan usia terhadap hakim konstitusi akan begitu mudah dibaca publik sebagai upaya intervensi terhadap kemandirian MK.

"Revisi UU MK apalagi salah satunya substansi perubahan usia, akan mudah sekali dibaca publik sebagai intervensi terhadap kemandirian Mahkamah Konstitusi melalu upaya menganggu hakim-hakim dengan pendekatan usia," kata Titi, kepada Tribunnews.com usai diskusi publik bertajuk 'Ancaman Demokrasi: Dinasti Politik, Netralitas Penyelenggara Pemilu, dan Politisasi Yudisial', di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Depok, Jawa Barat, pada Senin (11/12/2023).

Titi kemudian mengatakan, kepercayaan publik terhadap MK harus dijaga. Terutama dengan tidak memunculkan kontroversi-kontroversi terkait peradilan konstitus8 itu.

Oleh karena itu, ia meminta agar wacana revisi UU MK dihentikan oleh DPR.

"Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah kontroversi yang lebih besar, saya kira sebaiknya revisi UU MK dihentikan, tidak dilanjutkan," kata Titi.

"Karena memang kalau dari sisi usia saya kira sudah selesai dengan UU yang lama, dan juga UU 7/2020 dan juga putusan MK yang sudah banyak menyangkut soal usia."

Lebih lanjut, Titi menuturkan, seharusnya DPR juga mempertimbangkan Putusan MK 81/PUU-XXI/2023.

"Ya seharusnya demikian (DPR pertimbangkan Putusan MK 81). Jadi kalaupun ada pemberlakuan untuk yang akan datang, tidak untuk menganggu yang sekarang sedang menjabat," katanya.

Baca juga: Tak Janjian Bertemu di GOR Badminton, Firli Bahuri Klaim Berulang Kali Minta SYL Pulang

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, draf revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) belum disetujui pemerintah.

Mahfud mengatakan, belum ada keputusan rapat tingkat satu. Dimana, pemerintah dan bersama seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Daerah (DPR) bersama-sama menandatangani terkait revisi UU MK tersebut.

Ia juga mengaku, telah mengkomunikasikan hal ini dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly.

 "Sampai sekarang ya saya sampaikan bahwa belum ada keputusan kemusyawaratan di tingkat satu, sehingga belum bisa, kan kita belum tanda tangan. Saya merasa belum tanda tangan, pak Yasonna (red, Menteri Hukum dan HAM) merasa belum tanda tangan. Jadi ya saya sampaikan ke DPR," kata Mahfud, dalan konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (4/12/2023).

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan