Rabu, 13 Agustus 2025

Pemain Sirkus dan Kehidupannya

Kementerian HAM Ungkap Ada Dugaan Kekerasan Fisik Hingga Perbudakan Modern di Sirkus OCI

Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) mengungkap ada dugaan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM dalam kasus mantan pemain sirkus OCI.

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Ilham Rian Pratama
SIRKUS OCI - Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Kementerian HAM Munafrizal Manan di Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Rabu (7/5/2025). Ia mengungkap ada dugaan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM dalam kasus mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI). 

Namun, pihak teradu tidak mengungkap hasil penelusuran tersebut kepada pemain sirkus OCI dengan pertimbangan akan menimbulkan stigma dan dampak negatif. 

Hal ini dibantah oleh pengadu atau korban yang menyampaikan bahwa mereka tidak pernah diberitahu hasil penelusuran asal usul pemain sirkus OCI. 

Selain itu, pengadu tidak berkeberatan atas dampak yang timbul apabila hasil penelusuran kebenaran asal usul diungkap.

“Ditemukan ada konsistensi keterangan bentuk peristiwa yang dialami pengadu yang disampaikan kepada Komnas HAM di tahun 1997 dan yang disampaikan pengadu kepada Kementerian Hak Asasi Manusia di tahun 2025,” ujar Munafrizal.

Meski pihak teradu menyatakan bahwa OCI dan Taman Safari Indonesia (TSI) adalah entitas terpisah, temuan Kementerian HAM menunjukkan adanya keterkaitan faktual antara keduanya, di antaranya: 

1. Pendiri dan pemilik OCI adalah HM dan keluarga yang juga merupakan pendiri dan pemilik dari TSI

2. Ada pemain sirkus OCI yang diperbantukan sebagai pemain untuk pertunjukan di TSI, sebagaimana disampaikan salah satu pengadu dan dibuktikan dengan foto penampilannya di pertunjukan TSI serta terkonfirmasi dari penyampaian oleh pihak TSI

3. TSI yang didirikan sejak tahun 1981 di Cisarua, Kabupaten Bogor terletak tidak jauh dari rumah HM yang dijadikan tempat tinggal dan sanggar latihan bagi pemain sirkus OCI

Munafrizal mengatakan, kompleksitas kasus ini tidak hanya terletak pada panjangnya rentang waktu peristiwa, penetapan subyek hukum, dan aspek pembuktian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga pada kerentanan korban yang sebagian besar masih mengalami dampak sosial dan psikologis hingga kini.

“Upaya pengaduan yang dilakukan, termasuk ke Kementerian hak asasi manusia serta permintaan tindak lanjut oleh Komisi XIII DPR RI dan Komnas Perempuan, mencerminkan keinginan kuat para pengadu untuk memperoleh keadilan dan pengakuan atas penderitaan mereka,” tutur Munafrizal. 

Munafrizal menegaskan, aspek pembuktian menjadi tantangan utama lantaran keterbatasan akses terhadap dokumen-dokumen penting yang berada di bawah kendali OCI. 

Sedangkan, Kementerian HAM tidak memiliki otoritas pro-justitia untuk melakukan pemeriksaan atau penyitaan dokumen, pemanggilan paksa, maupun tindakan investigatif lain yang bersifat memaksa. 

“Hal ini menyebabkan proses verifikasi atas fakta-fakta yang disampaikan menjadi sangat terbatas, bergantung sepenuhnya pada kemauan dan kesukarelaan pihak-pihak untuk membuka informasi,” katanya.

Dengan kondisi tersebut, kasus ini seolah berada di persimpangan antara masa lalu yang belum tuntas dan tuntutan keadilan di masa kini yang belum terwujud. 

Oleh karena itu, pendekatan bersifat multidimensi yang melibatkan kombinasi aspek hukum, sosial, psikologis, dan etis menjadi penting digunakan.

“Dengan adanya kompleksitas kasus ini sebagaimana dikemukakan di atas, munculnya usulan tentang pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk melakukan pendalaman lebih lanjut yang bersifat investigatif dapat saja dipertimbangkan,” kata Munafrizal.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan