UU Pemilu
Rapat di DPR, Patrialis Akbar Tegaskan Putusan MK Soal Pemilu Nasional dan Lokal Langgar Konstitusi
Patrialis Akbar, mengkritik keras putusan MK yang memutuskan pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Penulis:
Chaerul Umam
Editor:
Wahyu Aji
Dengan demikian, MK tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan atau mengubah substansi UUD.
"Apapun yang dilakukan oleh MK, rujukannya haruslah UUD 1945. MK tidak diberi kewenangan untuk merubah Konstitusi. Yang berhak merubah Konstitusi hanyalah MPR. Jika MK sampai merubah substansi UUD, maka MK justru melanggar Konstitusi itu sendiri," ucap Patrialis.
Ia juga menyentil pertimbangan hukum dalam putusan MK yang menyebutkan alasan teknis seperti beban kerja penyelenggara pemilu dan potensi kekosongan waktu.
"Ini adalah persoalan teknis, bukan konstitusional. Putusan MK semestinya tidak didasarkan pada alasan-alasan teknis seperti itu. MK seharusnya menjaga kemurnian Konstitusi, bukan mencampuradukkan tugasnya dengan pertimbangan pelaksanaan teknis," katanya.
Patrialis pun mengingatkan kembali bahwa MK harus berada di garda terdepan dalam menjaga konstitusionalitas negara, dan tidak mengambil peran di luar kewenangan yang sudah diatur dalam konstitusi.
"Serahkan saja kepada lembaga yang memang sudah diberikan fungsi dan kewenangannya oleh UUD, jangan MK yang malah melampaui batas," tandasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak dalam waktu yang bersamaan.
Ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap: pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.
Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI.
Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
MK menyatakan bahwa pelaksanaan serentak dalam satu waktu untuk seluruh jenis pemilu menimbulkan banyak persoalan, seperti beban berat penyelenggara pemilu, penurunan kualitas tahapan, serta kerumitan logistik dan teknis.
“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
MK menilai ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban melaksanakan seluruh pemilu pada waktu yang sama.
Karena itu, MK memberi penafsiran baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap: pertama untuk pemilu nasional, lalu beberapa waktu setelahnya untuk pemilu lokal.
Baca juga: Komisi III DPR Undang Mantan Menkumham Hingga Komisioner KPU Bahas Putusan MK soal Pemisahan Pemilu
Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.
UU Pemilu
Wacana Evaluasi Pilkada, Model Asimetris Diusulkan Untuk Efisiensi dan Hindari Konflik Horisontal |
---|
Arteria Dahlan Usul Seluruh Hakim MK Dilaporkan ke Polisi Buntut Hapus Pemilu Serentak |
---|
Mahfud MD Sebut Putusan MK yang Berujung Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Inkonstitusional, Tapi Final |
---|
Singgung Evaluasi Total Pemilu, Cak Imin Dukung Pilkada Dipilih DPRD |
---|
Wamendagri: Efisiensi Dalam RUU Pemilu Jangan Sampai Mengorbankan Substansi Demokrasi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.